PONDOK PESANTREN: ASAL-USUL, SISTEM dan
DINAMIKANYA DI INDONESIA
Oleh :
FATMAWATI EL-FAQIH
(Mahasiswa Pasca Sarjana UMM)
PENDAHULUAN
Pesantren mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita saat ini, karena banyak dari orang sekitar kita yang sudah banyak mengenalnya. Meskpin bukan satu-satunya, namun pesantren adalah bentuk pendidikan yang sudah mengakar sejak lama, yang sudah melembaga secara permanen di pedesaan. Pesantren dewasa ini juga mulai berkembang di lingkungan perkotaan, seperti fenomena kemunculan beberapa pesantren mahasiswa atau pelajar yang ada saat ini.
Kecenderungan ini menunjukkan, bahwa meskipun system pendidikan pesantren memiliki beberapa kelemahan, namun pesantren ternyata masih dianggap sebagai tempat yang yang paling efekif untuk mengenalkan ajaran Islam.
A. Asal-usul Pesantren
Secara garis besar, ada dua pendapat mengenai asal-usul pesantren. Pendapat pertama, yang mengatakan bahwa pesantren berasal dari tradisi pra Islam. Sementara pendapat kedua berpendapat, bahwa pesantren adalah model pendidikan yang berasal dari Islam.
Pendapat A. H Johns dan C. C Berg, yang menganalisis dari segi semantik kebahasaan, mungkin dianggap salah satu atau mewakili pendapat pertama. Istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, . . .Istilah tersebut berasal dari istilah Shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan, bahwa secara semantik pesantren lebih dekat ke tradisi pra Islam atau lebih tepatnya India.
F. Fokkens, menganggap desa perdikan sebagai sarana kesinambungan pesantren dengan lembaga keagamaan pra-Islam. Perdikan, adalah desa zaman pra-Islam hingga abad ke-19, yang dibebaskan membayar pajak dan kerja rodi. Pemberian bebas pajak dan kerja rodi ini karena keberadaan makam-makam penting. Pemeliharaan makam-makam keramat secara tradisional merupakan suatu tugas keagamaan. Keluarga tertentu, dan tidaklah mengherankan bila beberapa anggota keluarganya yang menjadi guru agama berpengaruh (terutama dalam mengajarkan Tasawuf dan Magi). Ketika itulah peranan mengajar orang-orang tersebut terlembaga dalam bentuk pesantren, yaitu ketika banyak orang yang berdatangan untuk belajar agama kepada keluarga perdikan, yang pada akhirnya terlembaga dan membentuk institusi pesantren.
Geertz (dalam Manfred Ziemek, 1986: 101) mendeskripsikan suasana kehidupan di pesantren, sebagai “ satu kompleks asrama siswa dikelilingi tembok yang berpusat pada suatu masjid, biasanya pada sebuah lapangan berhutan di ujung desa. Ada seorang guru agama yang biasanya disebut kyai, dan sejumlah siswa pria muda, kebanyakan mereka bujangan yang mengaji al-Qur’an, melakukan latihan-latihan mistik dan tampak pada umumnya meneruskan tradisi India yang terdapat sebelumnya, dengan hanya sedikit perubahan dan aksen bahasa Arab yang tidak sangat seksama, sehingga suasananya jauh lebih mengingatkan kepada India atau Persia ketimbang Arab atau Afrika Utara.
Mahmud Yunus cenderung kepada pendapat yang kedua. Ia menyatakan bahwa asal-usul pendidikan individual yang dipergunakan dalam pesantren serta pendidikan yang dimulai dengan pelajaran bahasa Arab, ternyata dapat ditemukan di Bagdad ketika pusat pemerintahan Islam. Tradisi menyerahkan tanah wakaf dalam Islam. Unsur-unsur lain dari sistem pesantren juga dapat ditemukan dalam kebudayaan Islam. Istilah pesantren memang bukan berasal dari bahasa Arab: yaitu funduk yaitu berarti pesanggrahan atau penginapan bagi orang yang bepergian. Agaknya terlalu simplistis kalau istilah yang bukan berasal dari Arab, lalu dikatakan bukan berasal dari Islam seperti pesantren ini.
Suprayo menilai perjalanan panjang pendidikan pesantren di Indonesia dapat ditelusuri melalui bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di langgar, masjid atau rumah-rumah penduduk dan guru ngaji yang bersangkutan. Perkembangan selanjutnya, lembaga-lembaga pendidikan yang pada mulanya tidak lebih sekedar berupa kumpulan anak-anak yang belajar pengetahuan agama pada tingkat dasar seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan semacamnya ini, berubah bentuk dan isinya. Lembaga-lembaga tersebut telah menjelma menjadi madrasah diniyah, kemudian berkembang menjadi pondok pesantren dan seterusnya dalam bentuk yang lebih akhir berupa madrasah yang bertingkat-tingkat.
Perkembangan ini belum final, karena masih ada kecenderungan mencari bentuk-bentuk baru yang lebih ideal menurut ukuran zaman dan tempatnya. Sebab, madrasah sudah menjadi sekolah umum, dan banyak pula lembaga pendidikan Islam yang dalam bentuk sekolah umum dan perguruan tinggi umum dengan label keislaman. Proses berdirinya sebuah pesantren biasanya diprakarsai sekelompok santri, yang mengadakan perhitungan dan memperkirakan kemungkinan kehidupan bersama para ustadz atau kyainya. Tidak jarang pesantren juga berdiri di atas inisiatif kyai untuk mengamalkan ilmunya, sehingga perlu membangun sebuah lembaga pendidikan. Atas dasar itu berdirilah sebuah pondok, tempat yang tetap untuk kehidupan bersama bagi para santri dengan para ustadz dan kyainya.
B. Bentuk-bentuk Pesantren
Bentuk-bentuk pesantren yang tersebar luas di Indonesia menurut Manfred mengandung unsur-unsur tertentu sebagai karakteristiknya, seperti kyai sebagai pendiri, pelaksana dan guru, santri sebagai murid yang diajar naskah-naskah Arab tentang faham (aqidah) Islam. Kyai dan santri tingal bersama-sama untuk masa yang lama, di mana terjadi proses belajar-mengajar. Sedangkan unsur fisik pesantren, yaitu masjid, langgar atau surau yang dikelilingi bangunan tempat tinggal kyai dan asrama untuk tempat tinggal dan belajar santri. Pesantren biasanya berada di batas sekitar desa dan berpisah atau dibatasi dengan pagar.
Unsur-unsur dan suasana pendidikan pesantren yang dianggap sebagai elemen pokok sebuah pesantren yaitu kyai, pondok, masjid, santri dan pengajian kitab klasik. Lima elemen ini merupakan unsur yang membedakan antara kegiatan pendidikan di masjid atau di langgar, sehingga elemen yang terakhir ini agaknya sekaligus membedakan antara pondok dan bukan pondok.
Seiring dengan lajunya perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti yang digambarkan Geertz dan Dhofier, pesantren dewasa ini dapat diklasifikasikan menjadi pesantren salafi, khalaf, kilat dan terintegrasi. Pembagian semacam ini sebagaimana berikut:
a). Pesantren salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab klasik, dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pembelajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode sorogan dan weton.
b). Pesantren khalafi yaitu pengajaran yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama dan juga memberikan pengetahuan tentang ketrampilan.
c). Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbetuk semacam training yang dalam waktu yang singkat dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah.
d). Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejujuran, sebagaimana yang terintegrasi. Santrinya kebanyakan berasal dari kalangan (anak) putus sekolah atau para pencari kerja.
C. Sistem Pendidikan Pesantren
Tiga hal yang akan diuraikan dalam sub ini, yang merupakan komponen yang sangat erat kaitannya dengan sistem pendidikan pesantren, yaitu tujuan, kurikulum (bahan ajar) dan metode pengajaran. Tujuan pendidikan pesantren adalah setiap maksud dan cita-cita yang ingin dicapai pesantren, terlepas apakah cita-cita tersebut tertulis atau hanya disampaikan secara lisan. Pendidikan dalam sebuah ditujukan untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin berakhlak dan keagamaan. Diharapkan bahwa para santri akan pulang ke masyarakat mereka sendiri-sendiri, untuk menjadi pemimpin yang tidak resmi atau kadang-kadang pemimpin resmi dari masyarakat.
Dewasa ini, pembinaan dan pengembangan pesantren di samping dilakukan secara intern, pemerintah juga turut ambil bagian dalam upaya pengembangan pesantren dengan memberikan bimbingan. Bimbingan dan pembinaan yang dilakukan pemerintah memiliki arah (tujuan) sebagai berikut:
1. Meningkatkan dan membantu pondok pesantren, dalam rangka membina dan mendinamisir pondok pesantren di seluruh Indonesia, sehingga mampu mencetak manusia Muslim selaku kader-kader penyuluh pembangunan (agen of development) yang bertaqwa, cakap berbudi luhur dan terampil bekerja, untuk membangun diri dan pembangunan dan keselamatan bangsa.
2. Menetapkan pondok pesantren dalam mata rantai keseluruhan sistem pendidikan nasional, baik pendidikan formal maupun non formal, dalam rangka membangun manusia seutuhnya dan masyarakat kecakapan sebagai tenaga pembangunan.
3. membina warga Negara agar berkepribadian Muslim sesuai ajaran Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi-segi agama, masyarakat dan Negara.
Sedangkan secara khusus, tujuan pembinaan dan pengembangan pesantren oleh pemerintah adalah:
1. Mendidik siswa atau santri menjadi anggota masyarakat, seorang Muslim yang bertagwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan dan sehat lahir dan bathin.
2. Mendidik siswa atau santri menjadi manusia Muslim dan kader-kader ulama serta mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh memiliki semangat wiraswasta serta mengamalkan syari’at Islam.
3. Mendidik siswa atau santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan bangsa dan negara.
4. Mendidik siswa atau santri agar dapat menjadi tenaga penyuluh pembangunan makro, regional dan nasional.
5. Mendidik siswa atau santri agar dapat menjadi tenaga yang cakap, terampil dalam berbagai sektor pembangunan spiritual.
6. Mendidik siswa atau santri agar dapat memberi bantuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka usaha pembangunan masyarakat Indonesia.
Meskipun lulusan pesantren pada akhirnya tidak seideal sebagaimana harapan-harapan di atas, namun pesantren telah membuktikan dirinya mampu membentuk dan mengembangkan kepribadian santri menjadi manusia-manusia yang mandiri, dan bertindak sebagai pelopor perubahan masyarakat. Pendek kata, berbagai nilai yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi standar kualitas para santrinya.
Pesantren dengan pola bersama antara santri dengan kyai dan masjid sebagai pusat aktifitas, merupakan sistem pendidikan yang khas yang tidak ada pada lembaga pendidikan manapun. Keunikan lain yang ada pada sistem pendidikan pesantren adalah metode pengajarannya. Meskpiun metode sebenarnya adalah sesuatu yang setiap kali dapat berkembang dan berubah, sesuai dengan penemuan-penemuan baru yang dianggap lebih sesuai untuk mengajarkan disiplin ilmu berbeda-beda. Metode pengajaran di pesantren umumnya secara agak seragam, adalah metode sorogan dan weton. Dan metode ini biasanya diberikan di pesantren.
D. Dinamika Pesantren
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke- 18. seiring dengan perjalanan waktu, pesantren sedikit demi sedikit maju, tumbuh dan berkembang sejalan dengan proses pembangunan dan dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa ada upaya-upaya yang dilakukan pesantren untuk mendinamisir, dirinya sejalan dengan tuntutan dan perubahan masyarakat.
Dinamika lembaga pendidikan Islam yang relative tua di Indonesia ini tampak dalam beberapa hal:
1. Peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren.
2. Kemampuan pesantren untuk selalu hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Dofier, Zamakhasyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. PT: LP3ES. Jakarta. 1984
Khozin. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia Rekonstruksi Sejarah untuk Aksi edisi Revisi. UMM Press. Malang. 2006
Suprayogo, Imam. Menelusuri Jejak Pendidikan Agama di Pedesaan Tarbiyah II/ V. UMM Press. Malang. 1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar