I.Untuk memperoleh akurasi dan validitas suatu hadist para ulama melakukan kritik sanad dan kritik matan. Jelaskan proses melakukan kritik sanad dan kritik matan.
Jawab:
a.Proses melakukan kritik sanad dengan beberapa langkah berikut :
1. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
Melalui kitab-kitab rijal al-hadist, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib susunan Ibn Hajar al-Asqalany, dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby. Melalui kitab tersebut dimaksudkan untuk mengetahui:
Apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis)
Apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan; kesezamanan pada masa hidupnya, dan guru murid dalam periwayatan hadist.
3Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasany, haddasana, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya. Jadi, suatu sanad hadist barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat (adil dan dhabith)
Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadist secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadist.
4. Cara yang paling mudah dan praktis untuk saat ini penelitian dengan tekhnologi yaitu penelusuran ketersambungan sanad melalui software maktabah syamilah.
b.Proses melakukan kritik matan secara garis besar adalah dengan perbandingan, dengan beberapa langkah berikut :
1.Menghimpun hadist-hadist yang terjalin dalam tema yang sama. Yang dimaksud sama adalah:
Mempunyai sumber sanad sama, baik riwayat bil-lafad maupun riwayat bil-ma’na.
Mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang.
Hadist dengan tema sama seperti tema aqidah, ibadah, muamalah dan lainnya.
Hadist yang pantas dibandingkan adalah yang sederajat tingkat kualitas sanadnya. Dengan melakukan perbandingan kita akan mengetahui bahwasanya ada beberapa hadis yang memiliki lafadz berbeda dengan makna yang sama, perbedaan lafadz pada matan hadist yang semakna karena telah terjadi periwayatan secara makna. Menurut muhaddisin, perbedaan lafad yang tidak mengakibatkan perbedaan makna dapat ditoleransi asalkan sanadnya sama-sama sahih.
2.Membandingkan matan hadist dengan ayat Al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dengan perbandingan ini kita bisa menentukan apabila ada matan hadist yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an haruslah ditinggalkan meskipun sanadnya shahih.
3.penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa.
Penelitian bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa objek:
struktur bahasa: artinya apakah susunan matan hadis yang diteliti sesuai dengan kaidah bahasa arab atau tidak?
Kata-kata yang digunakan dalam matan apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literature Arab modern?
Apakah matan hadist tersebut menggambarkan bahasa kenabian?
Menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, sama makna yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.
Dengan penelusuran bahasa, muhadditsin dapat membersihkan hadist Nabi dari pemalsuan hadis.
Setelah melakukan penelitian matan, maka dapat ditentukan matan yang shahih atau tidak. Matan yang dapat disebut shahih jika memenuhi kriteria berikut :
1.Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
2.Tidak bertentangan dengan hadist yang lebih kuat
3.Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah
4.Susunan pernyataanya menunjukkan cirri-ciri sabda kenabian
II. Ketika ditemukan secara lahiriyah adanya kontradiktif antara satu hadist dengan hadist yang lain, para ulama hadist memberikan tiga cara untuk menyelesaikannya, yaitu al-jam’, al-naskh, dan al-tarjih. Berikan masing-masing satu contoh tentang penyelesaian dengan cara al-jam’, al-naskh, dan al-tarjih.
Jawab:
1)Thariqah Al-Jami’, yaitu bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya, maka keduannya dikompromikan dan wajib diamalkan.
2)Thariqah At-Tarjih, yaitu bila hadist yang kontradiktif tersebut tidak memungkinkan untuk dikompromikan, maka:
Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita dahulukan yang nasikh lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang mansukh.
Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.
Contoh hadist yang kontradiktif :
Sabda Rasulullah SAW : “Tiada penyakit menular”, dan sabdanya dalam hadist lain “Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari dari singa.” Keduannya hadist shahih. Terhadap keduanya lalu diterapkan jalan tengah : bahwa sesungguhnya penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi Allah menjadikan pergaulan orang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularanya. Kadang-kadang hal itu tidak berlaku mutlak, seperti sebab lainnya. (penyelesaian tersebut merupakan bentuk hadist kontradiktif yang di ijma’ kemudian ditarjih)
Hadist berikut merupakan di antara hadist yang penyelesainya dengan al-Naskh.
Perintah Rasulullah kepada para sahabat untuk menghapal, menyampaikan dan menyebarkan hadist. Diantara sabda beliau:
“Mudah-Mudahan Allah menyinari seseorang yang mendengar ucapanku, lalu menghapal dan memahaminya, serta disampaikan kepada orang lain sebagaimana yang ia dengar. Karena, boleh jadi orang disampikan kepadanya, lebih paham dari orang yang mendengarnya sendiri” (HR Abu Dawud dan At-Turmidzi)
Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis hadist. Sabda beliau:
“ Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dari padaku, terkecuali al-Qur’an. Dan barang siapa telah menulis dari padaku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR Ahmad)
Setelah melarang, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis kembali hadist. Seperti sabda beliau:
“Tulislah, maka demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” (HR. Abu Dawud).
1.Hadist tentang penulisan hadist telah mengalami al-nash yang mana hadist yang membolehkan menjadikan dasar penghapusan terhadap larangan dan menjadikan pembolehan penulisan hadist.. Waallahu A’lam Bishawab
Sumber Referensi:
Al-Qaththan, Manna, (2004) Pengantar Studi Ilmu Hadist (Terj, Mifdhol Abdurrahman) Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.
As-Shalih, Subhi (2002) Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (terj, Tim Pustaka Firdaus) Jakarta: Pustaka Firdaus.
Bustamin dan M.Isa H.A.Salam. (2004). Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Rajawali Press.
Ismail, Syuhudi. (1988). Kaedah Keshahihan Sanad Hadist; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar