Periodesasi Pertumbuhan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia (PTAI)
Oleh: Ika Romika Mawaddati
NIM. 201010290211017
Keinginan umat Islam untuk mendirikan perguruan tinggi telah terbersit sejak Belanda bercokol di tanah air. Namun keinginan tersebut masih dalam bentuk rancangan dan tahapan agitasi. Hingga akhirnya keinginan tersebut terwujud dengan banyaknya PTAI di Indonesia yang telah berkembang hingga saat ini. Bagi umat Islam kehadiran lembaga pendidikan tinggi sangat penting guna menjaga eksistensi Islam di Indonesia sebagai agama Rahmatan lil Alamin. Bagaimana perjalanan munculnya PTAI hingga berkembang sampai sekarang? Berikut penjelasan singkat PTAI di Indonesia. Perjalanan PTAI Indonesia dapat diperiodesasikan dalam tiga periode:
1. Periode Perintisan (Pra Kemerdekaan ; 1930 – 1948 )
2. Periode Pertumbuhan (Pasca Kemerdekaan ; 1948 – 1957 )
3. Periode Perkembangan (Munculnya IAIN, STAIN dan UIN ; 1957 – sekarang )
Berikut penjelasan singkat mengenai ketiga periode tersebut:
1. Periode Perintisan (Pra Kemerdekaan ; 1930 – 1948 )
Pada periode ini, PTAI masih dalam bentuk wacana dan keinginan yang membuncah di kalangan tokoh muslim, wacana yang masih berbentuk hasutan mulai berkembang sejak 1930-an. Wacana ini semakin matang ketika Muhammadiyah dalam muktamar 1936 di Jakarta memutuskan mendirkan universitas Islam. Hanya, keseriusan ini baru sampai tahap agitasi. Pada 1938 Satiman Wirjosudjoyo dalam Pedoman Masyarakat No. 15 tahun IV melontarkan gagasan akan pentingnya lembaga pendidikan tinggi Islam.
Tepat tanggal 8 Juli 1945 bersamaan dengan peringatan Isra’Mi’raj Nabi Muhammad SAW 1364 H. Dengan bantuan Jepang, didirikanlah Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, di bawah pimpinan A. Kahar Muzakkir. STI adalah realisasi kerja dari Yayasan / Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam pimpinan Moh. Hatta dan M. Natsir. STI bertujuan untuk mengeluarkan alim ulama yang intelektual.
STI ternyata tidak bertahan lama di Jakarta, karena pada Desember 1945, sekutu di bawah pimpinan Jenderal Cristianson, menutup STI sementara waktu. Baru pada 10 April 1946 dibuka kembali dan dipindahkan ke Yogyakarta seiring berpindahnya ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Untuk perbaikan STI maka, pada November 1947 dibentuk panitia perbaikan STI untuk dikonversi menjadi universitas. Tepat pada 10 Maret 1948, STI berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan empat fakultas; Agama, Hukum, Pendidikan dan Ekonomi.
2. Periode Pertumbuhan (Pasca Kemerdekaan ; 1950 – 1957 )
Disebut periode pertumbuhan, karena setelah UII hadir di Yogyakarta, muncullah sekolah tinggi Islam lainnya. Sekolah tinggi yang berikutnya adalah Pertungguan Tinggi Islam Indonesia (PTII) di Solo tanggal 22 Januari 1950 yang dipelopori Moh. Adnan, Imam Ghozali dan Tirtodiningrat. Namun, satu tahun kemudian, pada 20 Februari 1951 PTII di Solo bergabung dengan UII Yogyakarta.
Dengan bergabungnya PTII dengan UII maka, di Yogyakarta ada dua universitas; UII dikelola kelompok Islam dan UGM oleh kelompok nasionalis. Sebagai bentuk penghargaan atas dua universitas tersebut, pemerintah menawarkan pe-negeri-an UII dan UGM. UGM menyambut baik tawaran itu dan menjadi negeri di bawah kementrian PP&K. Sedangkan, UII menerima dengan syarat harus di bawah kementrian agama. Akibatnya, hanya Fakultas Agama UII yang bisa dinegerikan. Hingga akhirnya Fakultas Agama menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) dengan PPN no.34 tahun 1950, dan resmi dibuka pada 26 September 1951.
Setelah PTAIN berdiri di Jogyakarta 1951, enam tahun kemudian berdiri pula Akademi Dinas Agama Islam (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan penetapan Menteri Agama no.1 tahun 1957 di Jakarta.Dari dua perguruan tinggi Islam inilah Institut Agama Islam (IAIN) lahir dan menjadi titik tolak perkembangan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia pada tahun-tahun berikutnya.
3. Periode Perkembangan (Munculnya IAIN, STAIN dan UIN ; 1957 – sekarang )
IAIN yang muncul atas bergabungnya PTAIN dan ADIA tahun 1957 merupakan wujud dari cita-cita kaum Muslimin sejak Belanda menjajah Indonesia dan menjadi awal berkembangnya sekolah tinggi Islam lainnya. Kemunculan pertama diawali di Aceh, pada akhir September 1959 Gubernur Aceh Hasjmy dan Menteri PP&K Dr. Prijono dan Menteri Agama Kyai Wahib Wahab melakukan perundingan untuk mendirikan Fakultas Agama Islam Negeri di Kampus Darussalam. Dengan proses yang berliku akhirnya Fakultas Agama Islam Negeri di Aceh berubah menjadi IAIN Aceh dan baru diresmikan tahun 1962.
Pada 9 Mei 1960 dikeluarkan peraturan Presiden no.11 tahun 1960 tentang pembentukan IAIN, hingga akhirnya IAIN yang terbentuk atas gabungan PTAIN di Jogyakarta dan ADIA di Jakarta baru diresmikan pada 24 Agustus 1960, di mana PTAIN Yogyakarta memiliki dua fakultas (Ushuluddin dan Syari’ah) sebagai induk. Sementara ADIA juga dua fakultas (Tarbiyah dan Adab) sebagi cabangnya.
Dari IAIN Yogyakarta inilah akhirnya berkembang cepat fakultas-fakultas cabang di kota-kota besar nusantara. Begitu pesatnya perkembangan tersebut, hingga akhirnya pemerintah mengeluarkan regulasi pembentukan IAIN mandiri. Pada 1963, dikeluarkan peraturan presiden yang memungkinkan didirikannya suatu IAIN yang terpisah dari pusat. Maka ADIA yang semula menjadi cabang IAIN Yogyakarta terlepas dari induknya dan menjadi IAIN kedua setelah Yogyakarta.
Bertepatan dengan lustrum pertamanya., menteri agama mengeluarkan keputusan no 26 tahun 1965 yang menyatakan bahwa terhitung sejak 1 Juli 1965, nama IAIN Yogyakarta dilengkapi dengan nama salah satu walisongo yaitu Sunan Kalijaga, dan IAIN Jakarta dengan Syarif Hidayatullah. Kini, terdapat 14 buah IAIN yang tersebar di berbagai pelosok tanah Air, termasuj IAIN terakhir di Sumatera Utara yang diresmikan Menteri Agama Mukti Ali tahun 1973.
Setelah IAIN berkembang cukup pesat, maka tahun 1997, Keputusan Presiden no. 11 tahun 1997 tentang pendirian Sekolah Tinggi Islam Negeri (STAIN), yang melepaskan fakultas-fakultas cabang IAIN menjadi 33 perguruan tinggi mandiri dan terlepas dari 14 induk IAIN yang ada. Dengan berlakunya keputusan tersebut, maka semua fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi di luar IAIN induk diintegrasikan ke dalam lembaga pendidikan baru yaitu STAIN. Hingga akhirnya sampai saat telah terbentuk sekitar 33 STAIN di Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, maka kebutuhan akan manusia-manusia cerdas juga semakin bertambah. Berdsarkan hal tersebut, IAIN / STAIN sebagi lahan pembetukan manusia cerdas yang berakhlaqul karimah berusaha memenuhi kebutuhan tersebut dengan terus berusaha memperbaiki kualitas pendidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan wacana konsep pengembangan IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Hingga akhirnya IAIN Jakarta telah merancang pengembanganya menjadi UIN yang telah dirancang sejak tahun 1990-an. Dan sekarang kita telah tahu bahwa IAIN Jakarta berubah menjadi UIN Syarif Hidayatullah kemudian IAIN Malang menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim.
Sumber Reverensi:
Khozin, (2006), Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Edisi Revisi), Malang: UMM Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar