Kamis, 20 Januari 2011

baca dapat ilmu loo....

STUDI HADIST
Dosen Pengampu : Drs. Abdul Haris, MA

Kegiatan Penelitian Sanad
(Melalui I’tibar dan Meneliti Pribadi Periwayat)


Oleh :
IKA ROMIKA MAWADDATI



PENDAHULUAN
Hadist adalah segala sesuatu; baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hadist berfungsi sebagai dasar hukum Islam setelah al-Qur’an. Karena fungsinya yang sangat krusial dalam pelaksanaan syariat Allah, maka setiap Muslim wajib mengamalkan hadist di setiap lini kehidupannya.
Sebelum hadist Nabi dihimpun dalam kitab-kitab hadist secara resmi dan massal, hadist Nabi pada umumnya diajarkan dan diriwayatkan secara lisan dan hafalan. Hal ini sangat sesuai dengan keadaan masyarakat Arab yang terkenal sangat kuat dalam bidang hafalannya. Walaupun begitu tidaklah berarti bahwa pada saat itu kegiatan pencatatan hadist tidak ada. Kalangan ulama pada masa itu cukup banyak yang membuat catatan hadist, tetapi kegiatan pencatatan seain masih dimaksudkan untuk kepentingan pribadi para pencatatnya, juga belum bersifat missal.1
Menurut pendapat mayoritas ulama, sejarah penulisan hadist dan penghimpunan resmi dan missal, dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, barulah terjadi atas perintah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Jadi, tenggang waktunya sekitar 90 tahun sesudah Nabi Wafat. Dalam masa yang cukup panjang ini, telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadist yang dilakukan oleh beberapa golongan dengan berbagai tujuan.
Atas kenyataan ini, maka ulama hadist dalam usahanya menghimpun hadist Nabi, selain harus melakukan perlawatan untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di berbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyeleksian terhadap semua hadist yang mereka himpunkan. Karena itu, proses penghimpunan hadist secara menyeluruh terpaksa mengalami waktu yang cukup panjang, yakni sekitar lebih dari satu abad.2
Terdapat dua unsur pokok dalam hadist, isi hadis dan urutan asal-usul hadist hingga dapat menunjukkan ketersambunganya kepada Rasulullah. Itu sebabnya dalam proses penelitiannya juga harus dilakukan kepada kedua unsur tersebut, penelitian terhadap matan dan sanad hadist. Hal tersebut dilakukan demi kehati-hatian dalam pengamalan hadist. Jangan sampai kita mengamalkan hadist yang ternyata hadist itu palsu. Untuk menfokuskan pembahasan, dalam makalah ini hanya membahas tentang kegiatan penelitian sanad melalui I’tibar dan meneliti pribadi periwayat.


PEMBAHASAN
A.Pengertian Sanad
Secara etimologi, sanad adalah “sandaran”, yang kita bersandar padanya. Maka surat hutang juga dinamai sanad. Dan berarti: “yang dapat dipegangi, dipercayai’. Kaki bukit atau gunung juga disebut sanad. Jama’nya Asnad dan Sanadat.
Sedangkan secara Terminologi dalam ahli hadist, sanad adalah: “Jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadist’. Apabila seseorang perawi berkata: “Dikabarkan kepadaku oleh Malik yang menerimanya dari Nafi’, yang menerimanya dari Abdullah ibn Umar, bahwa Rasul bersabda;….
Maka perkataan perawi itu dari “dikhabarkan kepadaku oleh Malik hingga sampai kepada bersabda Rasul SAW.” Dinamai Sanad.3

B.Keutamaan Sanad
Sanad hadist dinyatakan mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab utamanya dapat dilihat dari dua sisi. Yakni:
1.dilihat dari sisi kedudukan hadist dalam kesumberan ajaran Islam.
2.dilihat dari sisi sejarah hadist.
Dilihat dari sisi yang disebutkan pertama, sanad hadist sangat penting karena hadist merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Dari sisi yang disebutkan kedua, sanad hadist sangat penting karena dalam sejarah:
a.Pada zaman Nabi tidak seluruh hadist tertulis.
b.Sesudah zaman Nabi telah berkembang pemalsuan-pemalsuan hadist.
c.Penghimpunan (tadwin) hadist secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadist.4
Dikenali unsur yang harus ada pada Hadist, berupa rawi sanad dan matan. Rawi dan sanad dengan matannya merupakan kesatuan yang mutlak harus ada; ini beda dengan al-Qur’an. Teks al-Qur’an diyakini nuzul-nya karena sudah tuntas tertulis pada masa Nabi SAW. Sedang hadist proses tadwinnya panjang, sejak masa Nabi SAW dan baru selesai pada tahun 300-an Hijriyah.
Maka unsur atau faktor pemberita (perawi) dan proses periwayatanya (sanad) nyatanya satu, rawi dalam konotasi subyek riwayah, kalau diurut, mulai dari sahabat, tabi’in sampai dengan mudawin. Sanad konotasi penyandaran pemberitaan hadist (referensi), mulai dari mudawin, gurunya, begitu selanjutnya sampai rawi yang pertama kali menerima hadist, yang biasa disebut asal sanad.5
Sesungguhnya keutamaan sanad mengikuti hasil yang diperoleh darinya, dan hasil-hasil itulah yang sangat mulia dan sangat tinggi, yaitu hadist. Dengan sanadlah mana yang diterima, mana yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak. Dialah jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.
Abdullah Ibnul Mubarak berkata” Menerangkan sanad hadist, termasuk tugas agama. Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah setamsil orang yang menaiki loteng tanpa tangga.” Al-Hakim: “Andaikata tidak cukup sempurna adanya segolongan dari ahli-ahli hadist, memelihara sanad, pastilah lenyap tanda-tanda (lentera) Islam.”6. Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan ulama lain yang menyatakan keutamaan sanad yang tidak mungkin pemakalah tulis dalam makalah ini. Penjagaan sanad merupakan hal istimewa yang dimiliki oleh kaum muslimin yang tidak dimiliki kaum lainnya. Usaha tersebut merupakan upaya penjagaan dan penghargaan sejarah, sehingga tidak mudah untuk dirancang demi kepentingan pribadi.

C.Penelitian Sanad
Untuk mengetahui sebuah hadist itu asli atau aspal (asli tapi palsu) atau benar-benar palsu, maka paling tidak, ada tiga unsur dari hadist itu yang mesti diteliti hati-hati.
Matan atau materi hadist, ini tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, dengan hadist lain yang lebih kuat, atau dengan realita, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.
Sanad (sandaran yang dapat dipercaya, atau persambungan antara pembawa dan penerima hadist, atau antara rawi dengan Nabi), artinya, mereka itu secara real berjumpa atau saling berguru, dan hubungan mereka jelas, tidak meragukan.
Rawi (yang membawakan atau yang meriwayatkan hadist) yang syaratnya harus adil (muslim, baligh, jujur, tidak pernah dusta dan tidak pernah membiasakan dosa) dan hafizh (kuat hapalannya dan dpat dipertanggungjawabkan pribadi atau jati dirinya).7
Seperti yang telah pemakalah jelaskan sebelumnya, jika diantara tiga unsur yang harus diteliti tersebut di atas, hanya penelitian sanad dan pribadi periwayat saja yang dibahas dalam makalah ini. Sedangkan penelitian matan akan dijelaskan di makalah selanjutnya.
Kegiatan kritik atau penelitian sanad hadist bertjuan untuk mengetahui kualitas rangkaian sanad dalam hadist yang diteliti, apabila hadist yang diteliti memenuhi kriteriakesahihan sanad, hadist tersebut digolongkan sebagai hadist sahih.
Penelitian atau kritik sanad hadist, pada masa Rasulullah dan masa Khulafaur Rasyidin belum ditemukan. Hal itu dapat dipahami karena para periwayat hadist pada dua masa tersebut disepakati muhaddistin sebagai masa berkumpulnya periwayat hadist yang adil.8
Sebelum mengadakan penelitian sanad hadist, tentunya kita harus mengetahui criteria umum kesahihan sanad hadist. Unsur-unsur kaedah mayor kesahihan sanad hadist ialah:
1.Sanad bersambung.
2.Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil.
3.Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith.
4.Sanad hadist itu terhindar dari syudzudz.
5.Sanad hadist itu terhindar dari ‘illat.
Dengan demikian, suatu sanad hadist yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah hadist yang kualitas sanad-nya tidak sah.9
Mengenai cara penelitian sanad dan subyek pembawa berita (rawi) telah banyak ditulis di kitab-kitab para ulama. Jadi kita bisa mengetahui keadaan kualitas sanad dan rawi dari kitab-kitab tersebut. Karena ulama hadist ada yang secara khusus telah melakukan penelitian secara khusus dan mendalam terhadap masing-masing pribadi para periwayat. Hasil penelitian mereka dihimpun dalam berbagai kitab. Dengan begitu seseorang yang hendak meneliti kualitas sanad memerlukan “bantuan” dari berbagai kitab yang berisi tentang kualitas para periwayat hadist. Cara tersebut biasanya terkenal dengan istilah I’tibar.
1.Penelitian Sanad dengan I’tibar
I’tibar berarti mendapatkan informasi dari petunjuk literatur, baik kitab/diwan yang asli (Mushannaf, Musnad, Sunan dan Shahih), kitab Syarh dan kitab-kitab Fan yang memuat dalil-dalil hadist, serta mempelajari kitab-kitab yang memuat problematika Hadist.
Dengan mengetahui Diwan yang mengkoleksi suatu hadist, kita dapat mengetahui kualitas hadistnya, sebab menurut Ulama Muhadditsin disepakati, jenis kitab hadist menunjukkan kualitas hadist tertentu. Kitab al-jami’ al-Shahih berisi Hadist Shahih, Hasan dan Dhoif, tapi dhaifnya tidak sampai mawdhu’(rawi dusta), matruk (rawi tertuduh dusta), munkar (rawi fasiq dan atau jelek hafalannya).
Bila atas petunjuk diwan belum didapat informasi dan petunjuk yang jelas tentang kualitas hadist, perlu dilihat komentar kitab-kitab Syarh. Kitab ini merupakan komentar dan pembahasan secara meluas dan mendalam terhadap teks hadist yang tercantum pada diwan hadist asal dan terhadap hadist yang tercantum pada kitab kutipan (takhrij).
I’tibar (Studi literatur) lainnya dalam melihat kualitas hadist adalah dengan menelaah kitab-kitab fan tertentu (Tafsir, Tawhid,Fiqh, Tashawuf, Akhlaq) yang memuat dan menggunakan Hadist sebagai dalil pembahasannya. Apalagi kalau penulisnya termasuk yang ahli dibidangnya dan ahli hadist pula, dan lebih-lebih kalau kitabnya bersifat muqaranah dan pembahasan problematika. 10
Dengan melihat penjelasan dari kitab-kitab diwan ataupun fan, maka peneliti akan mengetahui ketersambungan atau tidak ketersambangunan sebuah sanad dalam hadist. Untuk mengetahui bersambung (dalam arti musnad) atau tidak bersambungnya suatu sanad, biasanya ulama hadist menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
a.Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b.Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
Melalui kitab-kitab rijal al-hadist, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib susunan Ibn Hajar al-Asqalany, dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby. Melalui kitab tersebut dimaksudkan untuk mengetahui:
1)Apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis)
2)Apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan; kesezamanan pada masa hidupnya, dan guru murid dalam periwayatan hadist.
c.Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasany, haddasana, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya. Jadi, suatu sanad hadist barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat (adil dan dhabith)
Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadist secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadist. 11

D.Meneliti Pribadi Periwayat
Riwayat menurut bahasa, ialah: “Memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain”.
Menurut ilmu hadist, ialah : “Memindahkan hadist dari seseorang guru kepada orang lain, atau mendewankannya ke dalam dewan hadist”.
Pemindah hadist itu, dinamai : Rawi. Rawi pertama, ialah Shahaby dan rawi terakhir, ialah : yang mendewankannya; umpamanya Bukhary. Beliau adalah perawi terakhir bagi kita.12
Jadi meneliti pribadi periwayat adalah penelitian terhadap sifat, akhlaq, dan segala hal yang bersangkutan dengan kepribadian para perawi ( nama-nama ulama’ yang tercantum dalam sanad suatu hadist). Dimaksudkan dalam hal ini, riwayat hidup bagi para rawi yang dijadikan sandaran dalam isnad hadist. Diantara yang dipandang penting meliputi:
1)Nama, gelar (kunyah dan laqab), keturunan dan penisbahannya.
2)Tempat, negeri, tanggal lahir dan meninggalnya bila mungkin. Apabila tidak mungkin masa hidupnya atau tahun meninggalnya.
3)Kepribadiannya, antara lain menyangkut amanah dan kepercayaan pihak lain, dapat dipercaya atau tidak.
4)Pikiran dan kekuatan hafalannya; sempurna/cukup kuat atau pernah mengalami perubahan (linglung).
5)Siapa saja guru-gurunya tempat pengambilan hadist dan siapa pula murid-murid yang meriwayatkan hadiss dari padanya.
6)Ke mana saja mengadakan perjalanan menuntut ilmu dan hadist.
7)Apa saja keistimewaan yang menonjol dan menjadi cirri khas baginya, sebaliknya apa saja cacat dan cela yang dapat dinilai sebagai kelemahanya.
8)Dan lain-lain yang perlu diungkap yang pada prinsipnya akan dapat dijadikan pegangan bagi penelitian hadist, apakah rawi tersebut termasuk yang dapat dijadikan sandaran dalam isnad hadist atau tidak. Apabila tidak berarti hadistnya akan ditolak karena dinilai djaif, sedang apabila dapat disamping syarat-syarat lain telah terpenuhi maka hadistnya akan diterima karena dinilai hadist shahih.13

Untuk mengetahui pribadi rawi, maka seseorang yang meneliti hendaknya melihat di kitab-kitab hadist. Karena tiap-tiap seorang dari rawi-rawi, hendaklah dikenal oleh dua orang dari ahli hadist di zaman masing-masing. Sifat masing-masing rawi pastinya juga telah diterangkan oleh ahli hadist di masing-masing masa.
Semua rawi-rawi hadist dari zaman Nabi SAW, hingga masa-masa setelahnya dicatat oleh imam-imam ahli hadist di kitab-kitab mereka, mulai dari tahun kelahirannya, hingga wafatnya, hal itu merupakan usaha spaya diketahui oleh orang-orang di belakang mereka. Tidak seorangpun rawi-rawi hadist terluput dari catatan ulama hadist. Rawi yang tidak ada catatanya disebut majhul; tidak terkenal, rawi yang tidak terkenal tidak dapat diterima hadist yang ia riwayatkan.
Berikut beberapa contoh kitab yang menerangkan riwayat hidup dari Rawi-rawi hadist.
1.Tah-Dzibut-Tahdzib oleh Ibnu Hajar al-Asqalany, ada 12 juz, mengandung 12.460 nama rawi.
2.Lisanul-Mizan, oleh Adz-Dzahaby, ada 3 juz, mengandung 10.907 nama rawi.
3.Al-ishabah, oleh Ibnu Hajar, ada 8 juz besar, kitab ini khusus menerangkan riwayat hidup sahabat-sahabat Nabi SAW, dan sebagainnya mengandung 11.279 nama sahabat.
4.At-Tarikhul-Kabir, oleh Imam Bukhari, sebanyak 6 jilid, mengandung nama 9.048 rawi hadist.
5.Al-Jarhu Wa Ta,dil, oleh Ibnu Abi Hatim, ada 9 jilid sedang,mengandung 18.040 nama rawi-rawi. 14
Setelah melihat dan memahami pribadi periwayat hadist maka kita akan tahu mana rawi yang diterima dan tidak diterima. Menurut ulama hadist sifat Rawi yang diterima periwayatannya adalah bersifat Adil, Dhabith, Terhindar dari Syudzudz.

1.Periwayat Bersifat Adil
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa periwayat yang bersifat adil adalah; beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muru’ah.
Secara umum, ulama’telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadist. Yakni berdasarkan:
a.Popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadist.
b.Penilaian dari para kritikus periwayat hadist; pernilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadist.
c.Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil; cara ini ditempuh bila para kriikus hadist tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. Jadi, penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama, dalam hal ini adalah ulama ahli kritik periwayat.15

2.Periwayat Bersifat Dhabith
Menurut Ibn Hajar al-Asqalany dan al-Sakhawy, yang dinyatakan sebagai orang Dhabith adalah orang yang kuat hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya. Ada pula ulama yang menyatakan, orang dhabith adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia memahami arti pembicaraan itu secara benar; kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
Adapun cara penetapan kedhabithan seorang periwayat, menurut berbagai pendapat ulama’ adalah;
a.Kedhabithan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b.Dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang terkenal kedhabithannya. Tingkat kesesuaiannya itu itu mungkin hanya samapi ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah.
c.Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith. Tetapi apabila kesalahannya itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabith.

3.Terhindar dari Syudzudz (Ke-Syadz-an) dan dari Illat
Hadist yang mengandung illat pada mulannya terlihat sebagai hadist shahih. Karena sanadnya tampak bersambung dan periwayatnya tampak bersifat siqat semua. Namun, setelah hadist itu diteliti lebih mendalam, barulah dapat diketahui jika hadist tersebut mengandung Illat.
Dari penjelasan al-Syafi’iy dinyatakan, bahwa hadist syad tidak disebabkan oleh: kesendirian individu periwayat dalam sanad hadist, periwayat yang tidak siqat. Hadist berpeluang mengandung syudzudz, bila; hadist itu memiliki lebih dari satu sanad, para periwayat hadist itu seluruhnya siqat, matan dan atau sanad hadist itu ada yang mengandung pertentangan.
Sebab utama kesulitan penelitian syudzudz dan illah hadist ialah karena kedua hal itu terdapat dalam sanad yang tampak shahih. Dan baru dapat diketahui setelah hadist itu diteliti lebih mendalam dengan diperbandingkan berbagai sanad yang matannya mengadung masalah yang sama. 16


KESIMPULAN
Para ulama Muhaditsin berpendapat, bahwa posisi sanad dalam hadist itu sangat penting keberadaannya di samping matan hadist itu sendiri. Bahkan ada yang menyatakan bahwa mengkaji sanad hadist itu termasuk Sunnat Muakkad. Karena ia merupakan mata rantai yang menghubungkan materi (matn) hadist hingga kepada Nabi SAW.
Sanad merupakan keunggulan Islam dalam koleksi ajaran yang berupa hadist Nabi SAW. Sanad dan rawi merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam setiap Hadist, selain matannya. Karenanya, unsur atau rukun hadist meliputi matn, rawi, dan sanad. Tidak sah matan itu dinyatakan sebagai hadist, jika tidak adanya persyaratan-persyaratan itu, yakni harus lengkap dengan rawi dan sanadnya.17
Karena begitu pentingnya keadaan sanad maka, harus dilakukan penelitian terhadap sanad hadist serta para perawinya. Diantara cara yang bisa dilakukan adalah dengan kajian litarure hadist (I’tibar). Sedangkan untuk pribadi perawi dapat dilakukan dengan popularitas keutamaan periwayat yang bersangkutan, penilaian dari para kritikus periwayat hadist, penerapan kaedah al-jarh wa ta’dil, kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat yang telah dikenal kedhabithannya.Waallahu A’lam Bishawab.











DAFTAR PUSTAKA

Assiba’I, Musthafa. (1982). Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum Serta Latar Belakang Historisnya. Bandung: Cv Diponegoro.

Ash-Shiddieqy, M Hasbi. (1974). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Jakarta: Bulan Bintang.

Arsyad, Natsir. (1996). Seputar Al-Qur’an Hadist dan Ilmu. Bandung: Al-Bayan.

Bustamin dan M.Isa H.A.Salam. (2004). Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Rajawali Press.

Hassan, A. (2001). Terjemah Bulugul Maram. Bangil: Pustaka Tamaam Bangil.

Husnan, Ahmad. (1993). Kajian Hadist Metode Takhrij. Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.

Ismail, Syuhudi. (1988). Kaedah Keshahihan Sanad Hadist; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.

Soetari, Endang. (1997). Ilmu Hadist. Bandung: Amal Bakti Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar