Kamis, 20 Januari 2011

untuk pengetahuan....

Peran Sahabat Dalam Membentuk Hadist
Oleh :
IKA ROMIKA MAWADDATI

PENDAHULUAN
Muhammad SAW diangkat menjadi Rasulullah membawa tugas mulia sebagai penyampai ajaran Islam di muka bumi, sehingga menjadi ajaran rahmatan lil alamin yang membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi penghuni dunia. Telah disepakati oleh para ulam bahwa sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam menyampaikan syariat kepada umat, ada kalanya beliau membawakan peraturan – peraturan yang isi dan redaksinya telah diterima dari Allah, dan ada kalanya hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah.1 Peraturan hasil ijtihad beliau atas bimbingan ilham yang terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkan, dan ijtihad itulah yang berkembang menjadi hadist yang terus dipelajari dan diamalkan hingga saat ini.
Sebagai manusia biasa yang juga hidup dalam lingkungan masyarakat, perjalanan dakwah Muhammad sebagai Rasulullah, tentunya tidak sendirian saja. Namun ditemani orang – orang di sekitar beliau yang mendukung perjuangannya. Tetapi tidak sedikit pula orang-orang di sekitar beliau yang menentang bahkan berusaha memerangi usaha Muhammad dalam mensyiarkan ajaran Islam.
Allah telah memberikan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagaian di anatara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Al-Qur’an dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadist Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli hadist.2
Begitu penting fungsi hadist dalam Islam, maka perlu bagi kita para penerus perjuangan Rasulullah, mengetahui usaha para sahabat dalam menjaga eksistensi dan kevaliditasan hadist hingga sampai pada zaman kita sekarang. Dengan begitu diharapkan kita juga termotivasi untuk menteladani usaha mereka dalam menjaga hadist. Untuk membatasi dan menfokuskan permasalahan dalam makalah ini, maka penulis hanya akan membahas peran sahabat dalam menjaga eksistensi hadist.



PEMBAHASAN
Sebelum membahas bagaimana usaha sahabat dalam menjaga eksistensi hadist, ada baiknya penulis paparkan periode sejarah hadist sebagai pengantar pemhasan. Para ulama penulis sejarah hadist berbeda-beda dalam membagi periode-periode sejarah hadist. Karena hanya sebagai pengantar pemahaman isi makalah ini, maka penulis hanya menyebutkan periodesasi perkembangan hadist yang dibagi menjadi 7 periode:
1.Hadist pada masa Rasul (masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam)
2.Hadist padamasa sahabat besar, semenjak permulaan masa pemerintahan Abu Bakar al-Shiddiq samapi berakhirnya zaman Ali Ibn Abi Thalib 11 H-40 H (zaman pematerian dan penyederhanaan/penyedikitan riwayah)
3.Masa sahabat kecil dan tabi’in besar, dari berakhirnya zaman khulafa al-Rasyidin atau permulaan masa Muawwiyah (masa penyebaran ke kota-kota/daerah-daerah)
4.Masa pemerintahan daulah Muawwiyah angkatan kedua sampai masa daulah Abbasiyah angkatan pertama, permulaan abad kedua Hijriyah samapi akhir akhir abad kedua Hijriyah (Masa penulisan tan pentadwinan)
5.Masa akhir pemerintahan daulah Abbasiyah angkatan pertama sampai awal pemerintahan Daulah Abbasiyah angkatan kedua (sejak Khalifah Ma’mun sampai Khalifah al-Muqtadir) dari awal abad III H sampai akhir abad III H (masa penyaringan, pemeliharaan dan pelengkapan)
6.Masa pemerintahan Abbasiyah angkat kedua (sejak khalifah Muqtadir samapi al-Mu’tashim) dan permulaan abad IV H sampai jatuhnya Bagdad tahun 656 H (Masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan)
7.Masa sesudah daulah Abbasiyah tahun 656 H samapi sekarang (masa penyarahan, penghimpunan, pentakhrijan dan pembahasan.3

A.Sahabat
Secara etimologi sahabat berasal dari kata صحب يصحب صحبة صحابة صاحب
Yang berarti bersahabat, berteman, dan berkawan
Secara terminologi sahabat adalah :
من لقي النبي ص م مؤمنا به (مسلما ) ومات على الاسلام
“ Siapa saja yang bertemu nabi, mangimaninya dan mati dalam keadaan Islam” 4
Pada saat itu keberadaan Sahabat telah terpencar di berbagai tempat sehingga tidak bisa menghitung secara urut, beberapa ulama menjelaskan bahwa jumlah sahabat lebih dari 100 000 jiwa. Menurut Abu Zur’ah Ar-Raji mengatakan sahabat Rasulullah melingkupi 114 sahabat.5 Sahabat bisa diketahui dengan diketahui keadaan seseorang sebagai sahabat secara mutawatir, dengan ketenaran meskipun belum sampai batasan mutawatir, riwayat dari seorang sahabat bahwa dia adalah sahabat atau dengan kabar dari yang bersangkutan bahwa dia adalah seorang sahabat.6
Jika berkaca dari makna sahabat dan periode perkembanagn hadist yang telah dijelaskan sebelumnya maka periode yang di dalamnya terdapat sahabat adalah periode pertama, kedua, dan ketiga. (periode Rasulullah hingga berakhirnya masa khulafaur Rasyidin atau permulaan masa Bani. Ummaiyah)

B.Peran Sahabat dalam Pembentukan Hadist
Menurut periodesasi perkembangan sejarah, terdapat beberapa perbedaan kebijakaan tentang hadist, seperti pada masa Rasulullahterdapat beberapa kebijakan yang berbeda tentang penulisan hadist:
1.Perintah Rasulullah kepada para sahabat untuk menghapal, menyampaikan dan menyebarkan hadist. Diantara sabda beliau:
“Mudah-Mudahan Allah menyinari seseorang yang mendengar ucapanku, lalu menghapal dan memahaminya, serta disampaikan kepada orang lain sebagaimana yang ia dengar. Karena, boleh jadi orang disampikan kepadanya, lebih paham dari orang yang mendengarnya sendiri” (HR Abu Dawud dan At-Turmidzi)
2.Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis hadist. Sabda beliau:
“ Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dari padaku, terkecuali al-Qur’an. Dan barang siapa telah menulis dari padaku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR Ahmad)
3.Setelah melarang, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis kembali hadist. Seperti sabda beliau:
“Tulislah, maka demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” (HR. Abu Dawud). 7
Dan dikuatkan pula kebolehan menulis hadist secara tidak resmi, oleh riwayat Al-Bukhori yang meriwayatkan bahwa di ketika Nabi dalam sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi pegangan umat. Akan tetapi, karena di kala itu Nabi dalam keadaan berat sakitnya, Umar menghalanginya karena ditakuti menambahkan berat sakit Nabi.8
Dari ketiga kebijakan tersebut tentunya respon para sahabat berbeda-beda. Namun secara umum para sahabat sangat antusias untuk mempelajari hadist baik dari Rasulullah sendiri maupun dari sahabat lain. Berikut penjelasan singkat mengenai kegiatan sahabat terhadap penjagaan hadist.
1.Cara sahabat menerima hadist
Jumlah sahabat yang banyak tidak memungkinkan jika semuannya setiap hari bergaul dengan Rasulullah, di antara mereka ada yang tidak bisa secara rutin bergaul dengan Rasulullah karena kesibukan atau tempat tinggal yang jauh dari Rasulullah. Berikur cara sahabat menerima hadist
a.Langsung dari Rasulullah
Maksudnya langsung mendengar, melihat atau menyaksikan apa yang dilakukan Rasulullah. Hal ini dialami sahabat melalui majelis pengajian atau langsung bertanya.
b.Tidak langsung
Maksudnya tidak langsung tapi mendapatkan hadist dari sahabat lain, beberapa alasannya adalah:
1)kesibukan pribadi
2)tempat tinggal yang jauh dari Rasulullah
3)merasa malu untuk bertanya langsung kepada Rasulullah.nabi sendiri sengaja minta tolong kepada sahabat untuk menjelaskan masalah-masalah khusus.
Bagimana cara sahabat menjelaskan hadist kepada sahabat yang tidak langsung mendapatkan dari Rasulullah?
1)Dengan lafaz asli (Lafzhiyah) yaitu menurut lafaz yang telah mereka terima dari Rasulullah.
Untuk tujuan ini (selain juga tujuan yang lain), para sahabat berusaha senantiasa menghafal hadist dengan sungguh-sungguh. Mereka sangat berhati-hati dalam hafalannya, tidak sedikitpun berani mengubah; menambahi atau mengurangi yang didengarnya dari Rasulullah SAW.
Ketika Ubaid bin Umair menyitir sabda Nabi; “orang munafik itu bagaikan domba yang sedang berbaring dengan menyimpulkan kaki diantara biri-biri,” Ibnu Umar9 langsung menegurnya, karena bunyinnya tidak sama seperti sabda Rasulullah SAW. Sedangkan sabda Rasulullah yang benar ialah; “Orang munafiq itu bagaikan domba yang lewat di antara biri-biri.” Ibnu Umar juga pernah mendengar seorang lelaki yang kacau mengucapkan hadist mengenai rukun yang lima, sehingga menyalahi riwayat yang ia dengar sendiri dari Rasulullah SAW. Kepada lelaki tersebut Ibnu Umar berkata: “Jadikan puasa bulan Ramadhan sebagai rukun yang terakhir, seperti yang aku dengar dari Rasulullah.” 10
2)Dengan makna saja (ma’nawi) yaitu hadist tersebut disampaikan dengan mengemukakan maknanya saja. 11

2. Kehati-hatian Sahabat dalam Periwayatan Hadist
Periode Khulafaur Rasyidin, merupakan periode di mana Rasulullah telah meninggal dan tongkat kepemimpinan dipegang oleh para sahabat besar, karena Rasulullah telah tiada tentunya sumber utama hadist telah tiada pula, namun usaha sahabat untuk terus mencari hadist-hadist lain yang belum diketahui tidaklah berhenti. Selain itu kebijakan para pemimpin mengenai hadist pun berbeda di masa Rasulullah. Kebijakan yang paling terlihat adalah kehati-hatian sahabat dalam periwayatan hadist.
Menurut sejarah suasana masyarakat muslim khususnya masa Abu Bakar dan Umar, pada umumnya baik dan tentram. Namun timbul benih-benih kekacauan yang merusak dan menganggu pengamalan umat Islam terhadap agama.
a.Murtadnya beberapa orang Islam sepeninggal Nabi Muhammad.
b.Masuknya orang-orang yanhudi yang bermuka dua.(Abdullah bin Saba’)
c.Kebijakan Usman yang mengangkat kerabatnya, menimbulkan ketidaksenangan rakyat.
Atas suasana tersebut mendorong para sahabat untuk berhati-hati dalam periwayatan hadist, baik yang menerima maupun yang menyampaikan.tindakan kehati-hatian (Ihtiyath) para sahabat dalam periwayatan hadist berbentuk:
a.menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadist untuk kebutuhan primer.
b.Menepis dalam penerimaan hadist, yakni meneliti keadaan rawi dan marwi.
c.Melarang meriwayatkan secara luas hadist yang belum dapat difahami secara umum.
Dengan tegas sejarah menerangkan bahwa Umar ketika memegang tampuk kekhalifahan meminta dengan keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan orang membanyakkan periwayatan hadist. Ketika mengutus utusan ke Iraq, beliau mewasiatkan supaya utusan-utusan itu mengembangkan Al-Qur’an dan mengembangkan kebagusan tajwidnya, serta mencegah mereka membanyakkan riwayat. Diterangkan bahwa, pernah orang bertanya kepada Abu Hurairah apakah dia banyak meriwayatkan hadist di masa Umar. Abu Hurairah menjawab : “Sekiranya saya membanyakkan, tentulah Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.”12
Adapun menulis hadist masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah Umar mempunyai gagasan untuk membukukan hadist, namun niatan tersebut diurungkan setelah Istiharoh. Namun demikian ada beberapa sahabat yang tetap menulis hadist untuk kepentingan sendiri, karena takut lupa atau alasan yang lain (pemhaman mereka bahwa ijin penulisan hadist datangnya lebih dahulu, baru disusul dengan larangan, sehingga banyak yang telah menulis hadist). Tulisan-tulisan tersebut terkenal dengan sebutan Shahifah, misalnya Shahifah Ali ra, Al-Shahifah Al-Shadiqoh oleh Abdullah bin Amr bin Ash, Shahifah Jabir bin Abdullah Al-Anshari.
Suatu hari Abdullah datang meminta tentang penulisan hadist fatwa kepada Rasulullah: “Bolehkah aku menulis apa saja yang aku dengar? “Rasulullah SAW bersabda: Ya, boleh. “Abdullah bertanya lagi: “Dalam ridla dan marah? “Nabi Menjawab: “Ya. Sungguh, aku hanya mengatakan kebenaran dalam hal itu.”
Jadi terlihat bahwa Abdullah bin Amr melakukan penulisan Hadist sesudah menerima fatwa yang jelas dari Rasul yang mulia, dan , Al-Shahifah Al-Shadiqoh itu adalah buah dari fatwa Nabi. Ketekunan Ibnu Amr dalam menulis Shahifah Shadiqah dan Shahifah-Shahifah lain diakui oleh ucapan Abu Hurairah: “Tak seorang pun di antara sahabat Rasulullah SAW yang lebih banyak menulis hadisnya dari padaku, kecuali Ibnu Amr, karena dia terus menulis dan aku tidak.13

3. Antusiasme Dalam Mempelajari Hadist
Pada masa sahabat kecil daerah Islam mulai meluas, sampai ke Syam, Irak, Mesir, Samarkand bahkan pada tahun 93 H sampai ke Spanyol. Perkembangan wilayah tersebut tentunya juga dibarengi berbagai perkembangan permasalahan dalam tubuh masyarakat Islam, berawal dari alasan tersebut maka umat Islam saat itu memerlukan pengetahuan lebih mengenai hadist Nabi SAW.
Karena kebutuhan itulah mereka semakin serius mempelajari hadist, menanyakan dan belajar dari para sahabat besar yang sudah tersebar di seluruh pelosok wilayah daulah Islamiyah. Dengan demikian pada masa ini disamping tersebarnya periwayatan hadist-hadist ke pelosok-pelosok daerah jazirah Arab, juga perlawatan untuk mencari hadist juga ramai.
Umar bin Khattab , menurut riwayatAl-Bukhory menerangkan :
‘Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Anshar bertempat di kampung Umaiyah ibn Yazid, sebuah kampung jauh dari kota Madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalu hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau hari ini aku yang turun, sok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa yang aku dapati dari Rasulullah. Kalau dia yang pergi, demikian juga, pada suatu hari, pada hari gilirannya, sahabatku pergi. Sekembalinnya dia mengetuk pintu rumahku dengan keras serta berkata: “Adakah Umar di dalam? “Aku terkejut lalu keluar mendapatinya,. Ia menerangkan bahwa telah terjadi satu keadaan penting. Rasul telah mentalak istri-istrinya. Aku berkata: “Memang sudah ku duga terjadi peristiwa ini. “sesudah saya bersembahyang subuh, saya pun berkemas lalu pergi. Sesampai di kota, saya masuk ke rumah Hafsoh, saya dapati dia sedang menangis. Maka saya bertanya: “Apakah engkau telah ditalak Rasul?”. Hafsah menjawab: “Saya tak tahu”. Sejurus kemudian saya masuk ke bilik Nabi, sambil berdiri saya berkata: “Apakah anda telah mentalak isteri-isteri anda? “Nabi menjawab: “Tidak”. Di kala itu saya pun mengucapkan “Allahu Akabar.”14
Riwayat ini menerangkan, bahwa para sahabat sangat benar memperhatikan gerak-gerik Nabi dan sangat benar memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka menyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan mentaati Nabi.
Para sahabat dalam menerima hadist, sangat berpegang teguh pada kekuatan hafalannya, yakni menerima dengan hafalan bukan tulisan. Pada saat itu dahabat yang bisa menulis masih sedikit. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Rasulullah, mereka melihat yang Nabi kerjakan, dan mendengar pula dari orang yang mendengar sendiri dari Rasulullah.
Karena meningkatnya antusiasme sahabat dalam mempelajari hadist, maka muncullah bendaharawan-bendaharawan Hadist, dan muncul pula lembaga-lembaga (centrum perkembangan ) Hadist diberbagai daerah :
a.Madinah, dengan tokoh-tokohnya: Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Huroiroh, Aisyar, (Sahabat). Urwah, Said, Al-Zuhri (tabi’in)
b.Makkah, dengan tokohnya, Muadz, Ibn Abbas (Sahabat), Mujahid, Ikrimah, Atha Ibn Abi Rabiah (Tabi’in)
c.Kuffah, dengan tokoh-tokohnya, Ali, Abdullah ibn Mas’ud, Saad bin Abi Waqos (sahabat), Masruq, Ubaidillah, AL-Aswad (Tabi’in)
d.Basrah, dengan tokoh-tokohnya, Anas Ibn Malik, Utbah, Imran Ibnu Husain (Sahabat), Abu Al-Aliyah, Al-Bisri (Tabi’in)
e.Syam dengan tokoh-tokohnya, Muadz Ibn Jabbal, Abu Darda (Sahabat)
f.Mesir, dengan tokohnya, Abdullah Ibn Amer, Uqbah Ibnu Amir, Kharijah Ibn Hudzaifah (Tabi’in)
Diantara bendaharawan Hadist, yakni sahabat yang banyak menerima hadist, menghafal dan mengembangkan atau meriwayatkan hadist, adalah:
a.Abu Huroiroh, menurut Ibn Al-Jauzi meriwayatkan 5374, menurut al-Kirmany 5364.
b.Abdullah inbu Umar, meriwayatkan 2630.
c.Anas Ibn Malik, meriwayatakan 2276.
d.Aisyah, Istri Rasulullah SAW, meriwayatkan 2210.
e.Abdullah Ibnu Abbas, meriwayatkan 1660.
f.Jabir Ibn Abdullah, meriwayatkan 1540.
g.Abu Said al-Khudri, meriwayatkan 1170.
h.Abdullah ibnu Mas’ud.
i.Abdullah Ibn Amr Ibn Ash.15


KESIMPULAN
Kesungguhan usaha sahabat dalam menjaga eksistensi hadst menjadikan hadist tetap terjaga hingga sekarang. Usaha tersebut diwujudkan dengan menghafal, menulis dan membukukan serta penelitian sanad dan matan hadist dari pemalsuan. Semua usaha tersebut tiada lain hanyalah untuk menjaga keberadaan dan kemurnian hadist dari pemalsuan-pemalsuan golongan yang tidak bertanggung jawab.
Dari ulasan sederhana yang telah pemakalah jelaskan, maka dapat disimpulkan mengenai peran sahabat dalam pembentukan hadist, adalah:
8.Sahabat sebagai penyampai hadist (pentablig) kepada umat Islam lainnya.
9.Sahabat sebagai pemeran utama dalam penjagaan hadist setelah Rasulullah wafat, melalui hafalan dan hasil tulisan hadist yang mereka lakukan.
10.Sahabat sebagai motivator bagi generasi setelahnya untuk berhati-hati dalam penyampaian dan pengamalan hadist.
11.Sahabat membuka ruang bagi generasi selanjutnya bahkan sampai sekarang dalam pengkajian terhadap hadist, hingga muncul disiplin ilmu hadist. Waallahu A’lam Bishawab













DAFTAR PUSTAKA

As-Shalih, Subhi (2002) Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (terj, Tim Pustaka Firdaus) Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ash-Shidieqy, Muhammad Hasbi, (1999) Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Al-Qaththan, Manna, (2004) Pengantar Studi Ilmu Hadist (Terj, Mifdhol Abdurrahman) Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.

Al-Maliki, Muhammad Alawi, (2006) Ilmu Ushul Hadist (Terj, Adnan Qohar)Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Husnan, Ahmad,(1214 H) Ulumul Hadist. Sukoharjo: Al-Mukmin Press.

Sulaiman, M Noor, (2008) Antologi Ilmu Hadist, Jakarta: Gaung Persada Press.

Soetari, Endang, (1994) Ilmu Hadist. Bandung: Amal Bakti Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar