Kamis, 20 Januari 2011

nambah wawasan aja kok....!

Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam
Oleh :
IKA ROMIKA MAWADDATI


PENDAHULUAN
Manusia dilahirkan secara fitroh. Pengertian fitroh dapat diartikan dalam dua pengertian pertama manusia merupakan makhluq yang cenderung dan senang serta membutuhakn kepada kebaikan. Kedua manusia sebagai makhluq yang telah tertanam dalam hatinya kebutuhan terhadap ajaran ketuhanan sebagai penuntun dalam kehidupan (secara sederhana bisa disebut sebagai kebutuhan terhadap agama). Itu sebabnya meskipun ada manusia yang menyakini bahwa dalam menjalani kehidupan tidak memerlukan tuntunan Tuhan, tetap saja dalam hati kecilnya mempercayai adanya Zat yang Maha Kuasa pengatur alam semesta. Hingga akhirnya banyak sekali berbagai jenis agama dan kepercayaan yang dianut manusia di muka bumi, demi mencapai ketenangan dalam menjalani kehidupan.
Ketika kegiatan penelitian terhadap agama mulai digalakkan di sekitar tahun 1970-an, banyak yang mempertanyakan, “agama kok diteliti?”. Bagi mereka, agama sudah pasti benar karena ia kebenaran wahyu dari Allah, sedangkan penelitian dipahami sebagai ketidakpercayaan terhadap kebenaran itu. Pemahaman semacam ini dapat dimengerti karena pengertian tentang agama dan penelitian waktu itu memang masih demikian di masyarakat umum. Barangkali, pengertian semacam itu masih berlangsung hingga saat ini di sebagian masyarakat.1
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia juga tidak luput dari penelitian. Bahkan yang paling banyak melakukan penelitian terhadap Islam bukan hanya orang Muslim namun dari kalangan non muslim (biasanya banyak dilakukan oleh orang-orang Barat) juga banyak yang tertarik melakukan penelitian terhadap Islam. Langkah awal yang mereka lakukan sebelum penelitian adalah penguasaan tentang ilmu-ilmu Islam biasa disebut dengan studi Islam. Dengan berbagai macam tujuan dan makhsud mereka berusaha sungguh-sungguh mempelajari Islam demi keberhasilamn penelitian yang mereka lakukan. Proses mempelajari tersebut, terkenal dengan studi Islam.
Jika diamati lebih jauh, studi Islam di Barat dari waktu ke waktu, telah melahirkan beberapa efek terhadap kaum muslim sendiri, diantaranya adalah sikap kurang senang dan merangsang kaum Muslimin turut serta melakukan penelitian terhadap agama serta kepercayaan yang dianut orang-orang Barat. Meskipun begitu selain kebencian, juga memberi pandangan-pandangan baru berupa pendekatan-pendekatan studi Islam yang tidak kecil, sehingga para Muslim yang belum begitu memahami Islam dapat memahami Islam secara komprehensif. Berhubungan dengan hal tersebut, minimal ada tiga pendekatan studi Islam terpenting yang berkembang sejak abad ke-19 hingga sekarang.
Pertama, studi Islam dengan pendekatan filologis. Pendekatan ini biasa dipergunakan oleh para orientalis generasi awal abad ke-19 dan masih kuat di awal abad ke-20. mereka lebih banyak dari pakar bahasa dan ahli teks-teks klasik. Mereka memahami dunia Islam berdasarkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang tersebar dalam teks-teks Islam Klasik. Kelebihannya, pendekatan ini berhasil membongkar hazanah pemikiran Islam klasik yang berserakan, sedangkan kelemahanya mendapatkan Islam terbatas pada informasi teks sementara sisi-sisi lain yang lebih luas tidak diketahui.
Kedua, pendekatan Islam dengan studi ilmiah. Pendekatan ini berkembang setelah perang dunia kedua yang dipelopori oleh ilmuwan sosial. Mereka melihat Islam sebagai masyarakat yang sistemik sebagaimana masyarakat Barat, sehingga kekhasan dan keunikannya yang bersifat cultural tidak tampak oleh mereka. Ketiga, studi Islam dengan pendekatan fenomenologi-interperitatif. Belajar dari kelemahan pendekatan sebelumnya, maka penganjur pendekatan ini memahami Islam khususnya masyarakatnya sebagai system symbol yang syarat dengan makna-makna sebagaimana yang dikehendaki oleh dirinya sendiri, bukan persepsi orang Barat atas dirinya (Dikutip oleh Moh Nurhakim dari Baidhawy dalam Martin, 2001 : xi-xvi)2
Untuk menfokuskan permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah ini, maka penulis hanya ingin mengkaji masalah studi Islam dengan pendekatan Fenomenologi. Dimulai dari pembahasan makna serta sejarah seputar fenomenologi, bagaimana tahapan penggunaan metode fenomenologi dan seputar pendekatan fenomenologi dalam studi Islam. Makalah ini diharapkan memberikan wawasan sederhana bagi para pengkaji studi Islam dan kalangan yang berkecimpung di dalamnya, sehingga memberi warna baru dalam pengkajian studi Islam dengan metode yang bervariasi, yaitu pendekatan fenomenologi.




PEMBAHASAN
Ketika seseorang mengkaji agama, pertama-tama hal yang harus diketahui ialah bagaimana atau dimana agama itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab selain agama bersifat manusiawi dan historis, dirinya juga mempunyai klaim bahwa ia mempunyai sisi yang bersifat transendental. Yang pertama agama dipandang sebagai gejala budaya dan sosial sementara yang kedua sebagai hal yang bersifat normatif-doktrinal. Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari Agama.
Setelah objek kajian jelas, maka hal yang perlu diketahui kemudian ialah bagaimana cara (pengkaji) mendekati objek (agama Islam) tersebut. Pada sisi pemilihan dan pemakaian pendekatan ini nantinya akan mempengaruhi atau bahkan menentukan corak hasil kajian. Ia bersikap objektif atau tidak. Ia memasukkan motif tertentu atau tidak dan seterusnya.
Pendekatan fenomenologi merupakan cirri dari pengkaji agama yang memandang agama sebagai gejala sosial yang memiliki nilai budaya dan histories. Dengan pendekatan ini mereka melakukan studi dengan mencari data atau rumus melalui kegiatan alami (apa adanya) dari objek yang dikaji dengan mengenyampingkan rumus ilmiah atau sisi pandangan dari pikiran yang mereka miliki.

1. Makna dan Sejarah Fenomenologi
Secara etimologi istilah fenomenologi berasal dari dua kata bahasa Yunani : Phenomenon (jamak: phenomena), yang berarti penampilan, yakni penampilan sesuatu yang menampilkan diri. Secara umum diartikan sebagai ‘penampilan sesuatu’ yang kontras dengan ‘sesuatu itu sendiri’. dan logos yang berarti ilmu pengetahuan.
Istilah ‘fenomenologi’ telah terbentuk pada pertengahan abad ke-19, dan kemudian digunakan dalam sejarah filsafat dengan arti yang berbeda-beda. Menurut Edmund Husserl3 yang menggunakan istilah fenomenologi pada permulaan abad ke-20, mengartikan fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan tentang fenomena, tentang objek-objek sebagaimana objek-objek itu dialami atau menghadirkan diri dalam kesadaran kita.
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Husserl (1859-1938), yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya.
Fenomenologi bukanlah suatu aliran atau doktrin dalam arti sekumpulan ajaran tertentu. Lebih tepat apabila menyebut fenomenologi ini sebagai suatu metode pemikiran, a way of looking at things, pemakaian suatu kaca mata yang berbeda dengan cara berpikir seorang ahli salah satu ilmu. Seorang fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenologi bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. 4
Pernyataan tersebut dapat dijelaskan dengan contoh berikut. Jika ahli ilmu bisa menyakinkan lawannya dengan memakai bukti seperti hasil eksperimen atau hasil hitungan. Sedangkan bagi fenomenolog hal tersebut tidak mungkin bisa dilakukan, menyakinkan seorang buta bahwa ada banyak warna di dunia tidak akan berhasil karena dia tidak melihat. Maka usaha bagi seorang fenomenolog untuk menyakinkan orang buta bahwa di dunia banyak warna adalah dengan bahasa.
Dengan segera fenomenologi memperoleh pamor yang sangat luas. Hal ini karena fenomenologi tidak mangajukan suatu system pemikiran eksklusif, sebagaimana aliran-aliran filsafat yang pernah berkembang sebelumnya, yang menjadi isme-isme besar, melainkan cara atau metode saja dalam mendekati persoalan. Dengan demikian, fenomenologi bisa digunakan untuk atau dianut oleh berbagai bidang ilmu seperti antropologi, sosiologi, psikologi dan studi-studi agama. Semuanya ini mempunyai kesamaan umum dalam hal empati pada objek penyelidikan dan mencoba menangkap hakikat objeknya, sebagaimana ia menampakkan diri dalam kesadaran.5
Bagi Bleeker, fenomenologi agama adalah studi pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa-doa, inisiasi, upacara penguburan dan sebagainya. Yang dicoba di sini adalah hakikat yang sama dari gejala-gejala yang berbeda.6

2. Metode Fenomenologi
Metode fenomenologis terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau disukai.
Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran. Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang sistemis, melalui berbagai langkah atau tekhnik. Menurut penafsiran dan terminology Spiegelberg, deskripsi fenomenologis bias dibedakan ke dalam tiga fase: mengintuisi, menganalisis, dan menjabarkan secara fenomenologis.
1.Mengintuisi arttinya mengonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena.
2.Menganalisis adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena dan pertaliannya.
3.Menjabarkan adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bias dipahami oleh orang lain.
Langkah yang lainnya dari metode fenomenologis adalah Wessenschau, yang bisa diterjemahkan menjadi ‘pemahaman terhadap esensi-esensi’ (insight of essences), ‘pengalaman atau kognisi tentang esensi-esensi’
Syarat utama bagi keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian.7
Pengikut fenomenologi agama menggunakan perbandingan sebagai sarana interpretasi yang utama untuk memahami arti dari ekspresi-ekspresi religius, seperti korban, ritus, dewa-dewa dan lain sebagainya. Mereka mencoba menyelidiki karakteristik yang dominant dari agama dalam konteks histories cultural. Kalau diperbandingkan, tindakan-tindakan religius yang secara structural mirip memberi arti-arti sangat berharga, yang menjelaskan makna internal dari tindakan-tindakan itu. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah ; bentuk luar dari ungkapan manusia mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan dalam yang teratur, yang dapat dilukiskan kerangkanya dengan menggunakan metode fenomenologi.
Metode ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta sejarah dan memahami maknanya yang lebih dalam, sebagaimana yang dimanifestasikan lewat struktur tersebut dengan hukum-hukum dan pengertian-pengrtiannya yang khas. Hal itu bermaksud memberikan suatu pandang menyeluruh dari ide-ide dan motif-motif yang kepentinganya sangat menentukan dalam sejarah fenomena religius. Pendek kata, metode ini mencoba menangkap dan menginterpretasikan setiap jenis perjumpaan manusia dengan yang suci. 8
Metode fenomenologi tidak hanya menghasilkan suatu deskripsi mengenai fenomena yang dipelajari, sebagaimana sering diperkirakan, tidak juga bermaksud menerangkan hakikat filosofis dari fenomena itu; sebab fenomenologi agama bukanlah deskriptif atau normative belaka, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Namun, metode ini memberikan kepada kita arti yang lebih dalam dari suatu fenomena religius, sebagaimana dihayati dan dialami oleh manusia-manusia religius. 9

3. Pendekatan Fenomenologi
Selain pendekatan normatif, studi Islam dapat juga dilaksanakan dengan pendekatan histories. Pendekatan ini memandang objek studi dari paradigma Islam sebagai realita (apa yang sebenarnya terjadi), seperti kondisi sosial umat Islam, kenyataan sejarah, perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam, kondisi ekonomi dan politik serta hal lainnya. Dalam arti pendekatan ini berusaha menjelaskan Islam dengan meminjam teori-teori atau ilmu yang kajiannya berdasarkan realita seperti sosiologi, antropologi dan diantaranya fenomenologi.
Pendekatan fenomenologi berusaha memahami makna atau hakikat yang sebenarnya dari suatu gejala objek yang dikaji melalui jiwa atau kesadaran objek itu sendiri. Dalam arti, bahwa pendekatan fenomenologi membiarkan gejala yang diteliti berbicara sendiri secara tulus dan apa adanya, tidak boleh ada upaya-upaya luar dari sang peneliti membuat prakonsepsi yang macam-macam, apalagi berlebih-lebihan. Berbeda dengan pendekatan ilmiah-positivistik, pendekatan fenomenologi dapat memahami adanya keterkaitan objek dengan nilai-nilai tertentu, misalnya keadilan, kemanusian dan lainnya.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan beberapa hal :
Deskripsi tentang berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata upacara, simbolik atau mistik, di samping deskripsi tentang ajaran-ajaran agama.
Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubunganya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa deskripsi ontologism, deskripsi psikologis dan deskripsidialektik (Dikutip oleh Moh Nurhakim dari Mastuhu, 1998: 148)10

KESIMPULAN
Dalam kajian studi Islam, secara umum dapat dilihat dari dua pendekatan; normatif dan histories. Pendekatan secara histories melihat Islam sebagai realita kehidupan yang memiliki sifat sejarah dan kebudayaan. Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan studi Islam dari aspek histories. Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang berarti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Arah pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang ritual dan upacara keagamaan, doktrin, dan reaksi sosial terhadap pelaku keagamaan. Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya.
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental (esensi) tentang fenomena keberagamaan manusia. Usaha pendekatan ini agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalnya agar tidak melampaui kewenangannya dalam studi Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Brouwer, Psikologi Fenomenologis, (1984), Jakarta: Gramedia.

Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama,Terj, (1995), Yogyakarta: Kanisius.

Misiak, Henryk dan Virginia Staudt Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik, terj. Koeswara (2005), Bandung: Refika Aditama.

Nurhakim, Moh, Metodologi Studi Islam, (2004), Malang: UMM Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar