PONDOK PESANTREN: ASAL-USUL, SISTEM dan
DINAMIKANYA DI INDONESIA
Oleh :
FATMAWATI EL-FAQIH
(Mahasiswa Pasca Sarjana UMM)
PENDAHULUAN
Pesantren mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita saat ini, karena banyak dari orang sekitar kita yang sudah banyak mengenalnya. Meskpin bukan satu-satunya, namun pesantren adalah bentuk pendidikan yang sudah mengakar sejak lama, yang sudah melembaga secara permanen di pedesaan. Pesantren dewasa ini juga mulai berkembang di lingkungan perkotaan, seperti fenomena kemunculan beberapa pesantren mahasiswa atau pelajar yang ada saat ini.
Kecenderungan ini menunjukkan, bahwa meskipun system pendidikan pesantren memiliki beberapa kelemahan, namun pesantren ternyata masih dianggap sebagai tempat yang yang paling efekif untuk mengenalkan ajaran Islam.
A. Asal-usul Pesantren
Secara garis besar, ada dua pendapat mengenai asal-usul pesantren. Pendapat pertama, yang mengatakan bahwa pesantren berasal dari tradisi pra Islam. Sementara pendapat kedua berpendapat, bahwa pesantren adalah model pendidikan yang berasal dari Islam.
Pendapat A. H Johns dan C. C Berg, yang menganalisis dari segi semantik kebahasaan, mungkin dianggap salah satu atau mewakili pendapat pertama. Istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, . . .Istilah tersebut berasal dari istilah Shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan, bahwa secara semantik pesantren lebih dekat ke tradisi pra Islam atau lebih tepatnya India.
F. Fokkens, menganggap desa perdikan sebagai sarana kesinambungan pesantren dengan lembaga keagamaan pra-Islam. Perdikan, adalah desa zaman pra-Islam hingga abad ke-19, yang dibebaskan membayar pajak dan kerja rodi. Pemberian bebas pajak dan kerja rodi ini karena keberadaan makam-makam penting. Pemeliharaan makam-makam keramat secara tradisional merupakan suatu tugas keagamaan. Keluarga tertentu, dan tidaklah mengherankan bila beberapa anggota keluarganya yang menjadi guru agama berpengaruh (terutama dalam mengajarkan Tasawuf dan Magi). Ketika itulah peranan mengajar orang-orang tersebut terlembaga dalam bentuk pesantren, yaitu ketika banyak orang yang berdatangan untuk belajar agama kepada keluarga perdikan, yang pada akhirnya terlembaga dan membentuk institusi pesantren.
Geertz (dalam Manfred Ziemek, 1986: 101) mendeskripsikan suasana kehidupan di pesantren, sebagai “ satu kompleks asrama siswa dikelilingi tembok yang berpusat pada suatu masjid, biasanya pada sebuah lapangan berhutan di ujung desa. Ada seorang guru agama yang biasanya disebut kyai, dan sejumlah siswa pria muda, kebanyakan mereka bujangan yang mengaji al-Qur’an, melakukan latihan-latihan mistik dan tampak pada umumnya meneruskan tradisi India yang terdapat sebelumnya, dengan hanya sedikit perubahan dan aksen bahasa Arab yang tidak sangat seksama, sehingga suasananya jauh lebih mengingatkan kepada India atau Persia ketimbang Arab atau Afrika Utara.
Mahmud Yunus cenderung kepada pendapat yang kedua. Ia menyatakan bahwa asal-usul pendidikan individual yang dipergunakan dalam pesantren serta pendidikan yang dimulai dengan pelajaran bahasa Arab, ternyata dapat ditemukan di Bagdad ketika pusat pemerintahan Islam. Tradisi menyerahkan tanah wakaf dalam Islam. Unsur-unsur lain dari sistem pesantren juga dapat ditemukan dalam kebudayaan Islam. Istilah pesantren memang bukan berasal dari bahasa Arab: yaitu funduk yaitu berarti pesanggrahan atau penginapan bagi orang yang bepergian. Agaknya terlalu simplistis kalau istilah yang bukan berasal dari Arab, lalu dikatakan bukan berasal dari Islam seperti pesantren ini.
Suprayo menilai perjalanan panjang pendidikan pesantren di Indonesia dapat ditelusuri melalui bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di langgar, masjid atau rumah-rumah penduduk dan guru ngaji yang bersangkutan. Perkembangan selanjutnya, lembaga-lembaga pendidikan yang pada mulanya tidak lebih sekedar berupa kumpulan anak-anak yang belajar pengetahuan agama pada tingkat dasar seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan semacamnya ini, berubah bentuk dan isinya. Lembaga-lembaga tersebut telah menjelma menjadi madrasah diniyah, kemudian berkembang menjadi pondok pesantren dan seterusnya dalam bentuk yang lebih akhir berupa madrasah yang bertingkat-tingkat.
Perkembangan ini belum final, karena masih ada kecenderungan mencari bentuk-bentuk baru yang lebih ideal menurut ukuran zaman dan tempatnya. Sebab, madrasah sudah menjadi sekolah umum, dan banyak pula lembaga pendidikan Islam yang dalam bentuk sekolah umum dan perguruan tinggi umum dengan label keislaman. Proses berdirinya sebuah pesantren biasanya diprakarsai sekelompok santri, yang mengadakan perhitungan dan memperkirakan kemungkinan kehidupan bersama para ustadz atau kyainya. Tidak jarang pesantren juga berdiri di atas inisiatif kyai untuk mengamalkan ilmunya, sehingga perlu membangun sebuah lembaga pendidikan. Atas dasar itu berdirilah sebuah pondok, tempat yang tetap untuk kehidupan bersama bagi para santri dengan para ustadz dan kyainya.
B. Bentuk-bentuk Pesantren
Bentuk-bentuk pesantren yang tersebar luas di Indonesia menurut Manfred mengandung unsur-unsur tertentu sebagai karakteristiknya, seperti kyai sebagai pendiri, pelaksana dan guru, santri sebagai murid yang diajar naskah-naskah Arab tentang faham (aqidah) Islam. Kyai dan santri tingal bersama-sama untuk masa yang lama, di mana terjadi proses belajar-mengajar. Sedangkan unsur fisik pesantren, yaitu masjid, langgar atau surau yang dikelilingi bangunan tempat tinggal kyai dan asrama untuk tempat tinggal dan belajar santri. Pesantren biasanya berada di batas sekitar desa dan berpisah atau dibatasi dengan pagar.
Unsur-unsur dan suasana pendidikan pesantren yang dianggap sebagai elemen pokok sebuah pesantren yaitu kyai, pondok, masjid, santri dan pengajian kitab klasik. Lima elemen ini merupakan unsur yang membedakan antara kegiatan pendidikan di masjid atau di langgar, sehingga elemen yang terakhir ini agaknya sekaligus membedakan antara pondok dan bukan pondok.
Seiring dengan lajunya perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti yang digambarkan Geertz dan Dhofier, pesantren dewasa ini dapat diklasifikasikan menjadi pesantren salafi, khalaf, kilat dan terintegrasi. Pembagian semacam ini sebagaimana berikut:
a). Pesantren salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab klasik, dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pembelajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode sorogan dan weton.
b). Pesantren khalafi yaitu pengajaran yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama dan juga memberikan pengetahuan tentang ketrampilan.
c). Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbetuk semacam training yang dalam waktu yang singkat dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah.
d). Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejujuran, sebagaimana yang terintegrasi. Santrinya kebanyakan berasal dari kalangan (anak) putus sekolah atau para pencari kerja.
C. Sistem Pendidikan Pesantren
Tiga hal yang akan diuraikan dalam sub ini, yang merupakan komponen yang sangat erat kaitannya dengan sistem pendidikan pesantren, yaitu tujuan, kurikulum (bahan ajar) dan metode pengajaran. Tujuan pendidikan pesantren adalah setiap maksud dan cita-cita yang ingin dicapai pesantren, terlepas apakah cita-cita tersebut tertulis atau hanya disampaikan secara lisan. Pendidikan dalam sebuah ditujukan untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin berakhlak dan keagamaan. Diharapkan bahwa para santri akan pulang ke masyarakat mereka sendiri-sendiri, untuk menjadi pemimpin yang tidak resmi atau kadang-kadang pemimpin resmi dari masyarakat.
Dewasa ini, pembinaan dan pengembangan pesantren di samping dilakukan secara intern, pemerintah juga turut ambil bagian dalam upaya pengembangan pesantren dengan memberikan bimbingan. Bimbingan dan pembinaan yang dilakukan pemerintah memiliki arah (tujuan) sebagai berikut:
1. Meningkatkan dan membantu pondok pesantren, dalam rangka membina dan mendinamisir pondok pesantren di seluruh Indonesia, sehingga mampu mencetak manusia Muslim selaku kader-kader penyuluh pembangunan (agen of development) yang bertaqwa, cakap berbudi luhur dan terampil bekerja, untuk membangun diri dan pembangunan dan keselamatan bangsa.
2. Menetapkan pondok pesantren dalam mata rantai keseluruhan sistem pendidikan nasional, baik pendidikan formal maupun non formal, dalam rangka membangun manusia seutuhnya dan masyarakat kecakapan sebagai tenaga pembangunan.
3. membina warga Negara agar berkepribadian Muslim sesuai ajaran Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi-segi agama, masyarakat dan Negara.
Sedangkan secara khusus, tujuan pembinaan dan pengembangan pesantren oleh pemerintah adalah:
1. Mendidik siswa atau santri menjadi anggota masyarakat, seorang Muslim yang bertagwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan dan sehat lahir dan bathin.
2. Mendidik siswa atau santri menjadi manusia Muslim dan kader-kader ulama serta mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh memiliki semangat wiraswasta serta mengamalkan syari’at Islam.
3. Mendidik siswa atau santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan bangsa dan negara.
4. Mendidik siswa atau santri agar dapat menjadi tenaga penyuluh pembangunan makro, regional dan nasional.
5. Mendidik siswa atau santri agar dapat menjadi tenaga yang cakap, terampil dalam berbagai sektor pembangunan spiritual.
6. Mendidik siswa atau santri agar dapat memberi bantuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka usaha pembangunan masyarakat Indonesia.
Meskipun lulusan pesantren pada akhirnya tidak seideal sebagaimana harapan-harapan di atas, namun pesantren telah membuktikan dirinya mampu membentuk dan mengembangkan kepribadian santri menjadi manusia-manusia yang mandiri, dan bertindak sebagai pelopor perubahan masyarakat. Pendek kata, berbagai nilai yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi standar kualitas para santrinya.
Pesantren dengan pola bersama antara santri dengan kyai dan masjid sebagai pusat aktifitas, merupakan sistem pendidikan yang khas yang tidak ada pada lembaga pendidikan manapun. Keunikan lain yang ada pada sistem pendidikan pesantren adalah metode pengajarannya. Meskpiun metode sebenarnya adalah sesuatu yang setiap kali dapat berkembang dan berubah, sesuai dengan penemuan-penemuan baru yang dianggap lebih sesuai untuk mengajarkan disiplin ilmu berbeda-beda. Metode pengajaran di pesantren umumnya secara agak seragam, adalah metode sorogan dan weton. Dan metode ini biasanya diberikan di pesantren.
D. Dinamika Pesantren
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke- 18. seiring dengan perjalanan waktu, pesantren sedikit demi sedikit maju, tumbuh dan berkembang sejalan dengan proses pembangunan dan dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa ada upaya-upaya yang dilakukan pesantren untuk mendinamisir, dirinya sejalan dengan tuntutan dan perubahan masyarakat.
Dinamika lembaga pendidikan Islam yang relative tua di Indonesia ini tampak dalam beberapa hal:
1. Peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren.
2. Kemampuan pesantren untuk selalu hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Dofier, Zamakhasyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. PT: LP3ES. Jakarta. 1984
Khozin. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia Rekonstruksi Sejarah untuk Aksi edisi Revisi. UMM Press. Malang. 2006
Suprayogo, Imam. Menelusuri Jejak Pendidikan Agama di Pedesaan Tarbiyah II/ V. UMM Press. Malang. 1987
Kamis, 27 Januari 2011
Kamis, 20 Januari 2011
baca dapat ilmu loo....
STUDI HADIST
Dosen Pengampu : Drs. Abdul Haris, MA
Kegiatan Penelitian Sanad
(Melalui I’tibar dan Meneliti Pribadi Periwayat)
Oleh :
IKA ROMIKA MAWADDATI
PENDAHULUAN
Hadist adalah segala sesuatu; baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hadist berfungsi sebagai dasar hukum Islam setelah al-Qur’an. Karena fungsinya yang sangat krusial dalam pelaksanaan syariat Allah, maka setiap Muslim wajib mengamalkan hadist di setiap lini kehidupannya.
Sebelum hadist Nabi dihimpun dalam kitab-kitab hadist secara resmi dan massal, hadist Nabi pada umumnya diajarkan dan diriwayatkan secara lisan dan hafalan. Hal ini sangat sesuai dengan keadaan masyarakat Arab yang terkenal sangat kuat dalam bidang hafalannya. Walaupun begitu tidaklah berarti bahwa pada saat itu kegiatan pencatatan hadist tidak ada. Kalangan ulama pada masa itu cukup banyak yang membuat catatan hadist, tetapi kegiatan pencatatan seain masih dimaksudkan untuk kepentingan pribadi para pencatatnya, juga belum bersifat missal.1
Menurut pendapat mayoritas ulama, sejarah penulisan hadist dan penghimpunan resmi dan missal, dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, barulah terjadi atas perintah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Jadi, tenggang waktunya sekitar 90 tahun sesudah Nabi Wafat. Dalam masa yang cukup panjang ini, telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadist yang dilakukan oleh beberapa golongan dengan berbagai tujuan.
Atas kenyataan ini, maka ulama hadist dalam usahanya menghimpun hadist Nabi, selain harus melakukan perlawatan untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di berbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyeleksian terhadap semua hadist yang mereka himpunkan. Karena itu, proses penghimpunan hadist secara menyeluruh terpaksa mengalami waktu yang cukup panjang, yakni sekitar lebih dari satu abad.2
Terdapat dua unsur pokok dalam hadist, isi hadis dan urutan asal-usul hadist hingga dapat menunjukkan ketersambunganya kepada Rasulullah. Itu sebabnya dalam proses penelitiannya juga harus dilakukan kepada kedua unsur tersebut, penelitian terhadap matan dan sanad hadist. Hal tersebut dilakukan demi kehati-hatian dalam pengamalan hadist. Jangan sampai kita mengamalkan hadist yang ternyata hadist itu palsu. Untuk menfokuskan pembahasan, dalam makalah ini hanya membahas tentang kegiatan penelitian sanad melalui I’tibar dan meneliti pribadi periwayat.
PEMBAHASAN
A.Pengertian Sanad
Secara etimologi, sanad adalah “sandaran”, yang kita bersandar padanya. Maka surat hutang juga dinamai sanad. Dan berarti: “yang dapat dipegangi, dipercayai’. Kaki bukit atau gunung juga disebut sanad. Jama’nya Asnad dan Sanadat.
Sedangkan secara Terminologi dalam ahli hadist, sanad adalah: “Jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadist’. Apabila seseorang perawi berkata: “Dikabarkan kepadaku oleh Malik yang menerimanya dari Nafi’, yang menerimanya dari Abdullah ibn Umar, bahwa Rasul bersabda;….
Maka perkataan perawi itu dari “dikhabarkan kepadaku oleh Malik hingga sampai kepada bersabda Rasul SAW.” Dinamai Sanad.3
B.Keutamaan Sanad
Sanad hadist dinyatakan mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab utamanya dapat dilihat dari dua sisi. Yakni:
1.dilihat dari sisi kedudukan hadist dalam kesumberan ajaran Islam.
2.dilihat dari sisi sejarah hadist.
Dilihat dari sisi yang disebutkan pertama, sanad hadist sangat penting karena hadist merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Dari sisi yang disebutkan kedua, sanad hadist sangat penting karena dalam sejarah:
a.Pada zaman Nabi tidak seluruh hadist tertulis.
b.Sesudah zaman Nabi telah berkembang pemalsuan-pemalsuan hadist.
c.Penghimpunan (tadwin) hadist secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadist.4
Dikenali unsur yang harus ada pada Hadist, berupa rawi sanad dan matan. Rawi dan sanad dengan matannya merupakan kesatuan yang mutlak harus ada; ini beda dengan al-Qur’an. Teks al-Qur’an diyakini nuzul-nya karena sudah tuntas tertulis pada masa Nabi SAW. Sedang hadist proses tadwinnya panjang, sejak masa Nabi SAW dan baru selesai pada tahun 300-an Hijriyah.
Maka unsur atau faktor pemberita (perawi) dan proses periwayatanya (sanad) nyatanya satu, rawi dalam konotasi subyek riwayah, kalau diurut, mulai dari sahabat, tabi’in sampai dengan mudawin. Sanad konotasi penyandaran pemberitaan hadist (referensi), mulai dari mudawin, gurunya, begitu selanjutnya sampai rawi yang pertama kali menerima hadist, yang biasa disebut asal sanad.5
Sesungguhnya keutamaan sanad mengikuti hasil yang diperoleh darinya, dan hasil-hasil itulah yang sangat mulia dan sangat tinggi, yaitu hadist. Dengan sanadlah mana yang diterima, mana yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak. Dialah jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.
Abdullah Ibnul Mubarak berkata” Menerangkan sanad hadist, termasuk tugas agama. Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah setamsil orang yang menaiki loteng tanpa tangga.” Al-Hakim: “Andaikata tidak cukup sempurna adanya segolongan dari ahli-ahli hadist, memelihara sanad, pastilah lenyap tanda-tanda (lentera) Islam.”6. Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan ulama lain yang menyatakan keutamaan sanad yang tidak mungkin pemakalah tulis dalam makalah ini. Penjagaan sanad merupakan hal istimewa yang dimiliki oleh kaum muslimin yang tidak dimiliki kaum lainnya. Usaha tersebut merupakan upaya penjagaan dan penghargaan sejarah, sehingga tidak mudah untuk dirancang demi kepentingan pribadi.
C.Penelitian Sanad
Untuk mengetahui sebuah hadist itu asli atau aspal (asli tapi palsu) atau benar-benar palsu, maka paling tidak, ada tiga unsur dari hadist itu yang mesti diteliti hati-hati.
Matan atau materi hadist, ini tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, dengan hadist lain yang lebih kuat, atau dengan realita, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.
Sanad (sandaran yang dapat dipercaya, atau persambungan antara pembawa dan penerima hadist, atau antara rawi dengan Nabi), artinya, mereka itu secara real berjumpa atau saling berguru, dan hubungan mereka jelas, tidak meragukan.
Rawi (yang membawakan atau yang meriwayatkan hadist) yang syaratnya harus adil (muslim, baligh, jujur, tidak pernah dusta dan tidak pernah membiasakan dosa) dan hafizh (kuat hapalannya dan dpat dipertanggungjawabkan pribadi atau jati dirinya).7
Seperti yang telah pemakalah jelaskan sebelumnya, jika diantara tiga unsur yang harus diteliti tersebut di atas, hanya penelitian sanad dan pribadi periwayat saja yang dibahas dalam makalah ini. Sedangkan penelitian matan akan dijelaskan di makalah selanjutnya.
Kegiatan kritik atau penelitian sanad hadist bertjuan untuk mengetahui kualitas rangkaian sanad dalam hadist yang diteliti, apabila hadist yang diteliti memenuhi kriteriakesahihan sanad, hadist tersebut digolongkan sebagai hadist sahih.
Penelitian atau kritik sanad hadist, pada masa Rasulullah dan masa Khulafaur Rasyidin belum ditemukan. Hal itu dapat dipahami karena para periwayat hadist pada dua masa tersebut disepakati muhaddistin sebagai masa berkumpulnya periwayat hadist yang adil.8
Sebelum mengadakan penelitian sanad hadist, tentunya kita harus mengetahui criteria umum kesahihan sanad hadist. Unsur-unsur kaedah mayor kesahihan sanad hadist ialah:
1.Sanad bersambung.
2.Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil.
3.Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith.
4.Sanad hadist itu terhindar dari syudzudz.
5.Sanad hadist itu terhindar dari ‘illat.
Dengan demikian, suatu sanad hadist yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah hadist yang kualitas sanad-nya tidak sah.9
Mengenai cara penelitian sanad dan subyek pembawa berita (rawi) telah banyak ditulis di kitab-kitab para ulama. Jadi kita bisa mengetahui keadaan kualitas sanad dan rawi dari kitab-kitab tersebut. Karena ulama hadist ada yang secara khusus telah melakukan penelitian secara khusus dan mendalam terhadap masing-masing pribadi para periwayat. Hasil penelitian mereka dihimpun dalam berbagai kitab. Dengan begitu seseorang yang hendak meneliti kualitas sanad memerlukan “bantuan” dari berbagai kitab yang berisi tentang kualitas para periwayat hadist. Cara tersebut biasanya terkenal dengan istilah I’tibar.
1.Penelitian Sanad dengan I’tibar
I’tibar berarti mendapatkan informasi dari petunjuk literatur, baik kitab/diwan yang asli (Mushannaf, Musnad, Sunan dan Shahih), kitab Syarh dan kitab-kitab Fan yang memuat dalil-dalil hadist, serta mempelajari kitab-kitab yang memuat problematika Hadist.
Dengan mengetahui Diwan yang mengkoleksi suatu hadist, kita dapat mengetahui kualitas hadistnya, sebab menurut Ulama Muhadditsin disepakati, jenis kitab hadist menunjukkan kualitas hadist tertentu. Kitab al-jami’ al-Shahih berisi Hadist Shahih, Hasan dan Dhoif, tapi dhaifnya tidak sampai mawdhu’(rawi dusta), matruk (rawi tertuduh dusta), munkar (rawi fasiq dan atau jelek hafalannya).
Bila atas petunjuk diwan belum didapat informasi dan petunjuk yang jelas tentang kualitas hadist, perlu dilihat komentar kitab-kitab Syarh. Kitab ini merupakan komentar dan pembahasan secara meluas dan mendalam terhadap teks hadist yang tercantum pada diwan hadist asal dan terhadap hadist yang tercantum pada kitab kutipan (takhrij).
I’tibar (Studi literatur) lainnya dalam melihat kualitas hadist adalah dengan menelaah kitab-kitab fan tertentu (Tafsir, Tawhid,Fiqh, Tashawuf, Akhlaq) yang memuat dan menggunakan Hadist sebagai dalil pembahasannya. Apalagi kalau penulisnya termasuk yang ahli dibidangnya dan ahli hadist pula, dan lebih-lebih kalau kitabnya bersifat muqaranah dan pembahasan problematika. 10
Dengan melihat penjelasan dari kitab-kitab diwan ataupun fan, maka peneliti akan mengetahui ketersambungan atau tidak ketersambangunan sebuah sanad dalam hadist. Untuk mengetahui bersambung (dalam arti musnad) atau tidak bersambungnya suatu sanad, biasanya ulama hadist menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
a.Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b.Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
Melalui kitab-kitab rijal al-hadist, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib susunan Ibn Hajar al-Asqalany, dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby. Melalui kitab tersebut dimaksudkan untuk mengetahui:
1)Apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis)
2)Apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan; kesezamanan pada masa hidupnya, dan guru murid dalam periwayatan hadist.
c.Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasany, haddasana, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya. Jadi, suatu sanad hadist barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat (adil dan dhabith)
Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadist secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadist. 11
D.Meneliti Pribadi Periwayat
Riwayat menurut bahasa, ialah: “Memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain”.
Menurut ilmu hadist, ialah : “Memindahkan hadist dari seseorang guru kepada orang lain, atau mendewankannya ke dalam dewan hadist”.
Pemindah hadist itu, dinamai : Rawi. Rawi pertama, ialah Shahaby dan rawi terakhir, ialah : yang mendewankannya; umpamanya Bukhary. Beliau adalah perawi terakhir bagi kita.12
Jadi meneliti pribadi periwayat adalah penelitian terhadap sifat, akhlaq, dan segala hal yang bersangkutan dengan kepribadian para perawi ( nama-nama ulama’ yang tercantum dalam sanad suatu hadist). Dimaksudkan dalam hal ini, riwayat hidup bagi para rawi yang dijadikan sandaran dalam isnad hadist. Diantara yang dipandang penting meliputi:
1)Nama, gelar (kunyah dan laqab), keturunan dan penisbahannya.
2)Tempat, negeri, tanggal lahir dan meninggalnya bila mungkin. Apabila tidak mungkin masa hidupnya atau tahun meninggalnya.
3)Kepribadiannya, antara lain menyangkut amanah dan kepercayaan pihak lain, dapat dipercaya atau tidak.
4)Pikiran dan kekuatan hafalannya; sempurna/cukup kuat atau pernah mengalami perubahan (linglung).
5)Siapa saja guru-gurunya tempat pengambilan hadist dan siapa pula murid-murid yang meriwayatkan hadiss dari padanya.
6)Ke mana saja mengadakan perjalanan menuntut ilmu dan hadist.
7)Apa saja keistimewaan yang menonjol dan menjadi cirri khas baginya, sebaliknya apa saja cacat dan cela yang dapat dinilai sebagai kelemahanya.
8)Dan lain-lain yang perlu diungkap yang pada prinsipnya akan dapat dijadikan pegangan bagi penelitian hadist, apakah rawi tersebut termasuk yang dapat dijadikan sandaran dalam isnad hadist atau tidak. Apabila tidak berarti hadistnya akan ditolak karena dinilai djaif, sedang apabila dapat disamping syarat-syarat lain telah terpenuhi maka hadistnya akan diterima karena dinilai hadist shahih.13
Untuk mengetahui pribadi rawi, maka seseorang yang meneliti hendaknya melihat di kitab-kitab hadist. Karena tiap-tiap seorang dari rawi-rawi, hendaklah dikenal oleh dua orang dari ahli hadist di zaman masing-masing. Sifat masing-masing rawi pastinya juga telah diterangkan oleh ahli hadist di masing-masing masa.
Semua rawi-rawi hadist dari zaman Nabi SAW, hingga masa-masa setelahnya dicatat oleh imam-imam ahli hadist di kitab-kitab mereka, mulai dari tahun kelahirannya, hingga wafatnya, hal itu merupakan usaha spaya diketahui oleh orang-orang di belakang mereka. Tidak seorangpun rawi-rawi hadist terluput dari catatan ulama hadist. Rawi yang tidak ada catatanya disebut majhul; tidak terkenal, rawi yang tidak terkenal tidak dapat diterima hadist yang ia riwayatkan.
Berikut beberapa contoh kitab yang menerangkan riwayat hidup dari Rawi-rawi hadist.
1.Tah-Dzibut-Tahdzib oleh Ibnu Hajar al-Asqalany, ada 12 juz, mengandung 12.460 nama rawi.
2.Lisanul-Mizan, oleh Adz-Dzahaby, ada 3 juz, mengandung 10.907 nama rawi.
3.Al-ishabah, oleh Ibnu Hajar, ada 8 juz besar, kitab ini khusus menerangkan riwayat hidup sahabat-sahabat Nabi SAW, dan sebagainnya mengandung 11.279 nama sahabat.
4.At-Tarikhul-Kabir, oleh Imam Bukhari, sebanyak 6 jilid, mengandung nama 9.048 rawi hadist.
5.Al-Jarhu Wa Ta,dil, oleh Ibnu Abi Hatim, ada 9 jilid sedang,mengandung 18.040 nama rawi-rawi. 14
Setelah melihat dan memahami pribadi periwayat hadist maka kita akan tahu mana rawi yang diterima dan tidak diterima. Menurut ulama hadist sifat Rawi yang diterima periwayatannya adalah bersifat Adil, Dhabith, Terhindar dari Syudzudz.
1.Periwayat Bersifat Adil
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa periwayat yang bersifat adil adalah; beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muru’ah.
Secara umum, ulama’telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadist. Yakni berdasarkan:
a.Popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadist.
b.Penilaian dari para kritikus periwayat hadist; pernilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadist.
c.Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil; cara ini ditempuh bila para kriikus hadist tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. Jadi, penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama, dalam hal ini adalah ulama ahli kritik periwayat.15
2.Periwayat Bersifat Dhabith
Menurut Ibn Hajar al-Asqalany dan al-Sakhawy, yang dinyatakan sebagai orang Dhabith adalah orang yang kuat hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya. Ada pula ulama yang menyatakan, orang dhabith adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia memahami arti pembicaraan itu secara benar; kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
Adapun cara penetapan kedhabithan seorang periwayat, menurut berbagai pendapat ulama’ adalah;
a.Kedhabithan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b.Dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang terkenal kedhabithannya. Tingkat kesesuaiannya itu itu mungkin hanya samapi ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah.
c.Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith. Tetapi apabila kesalahannya itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabith.
3.Terhindar dari Syudzudz (Ke-Syadz-an) dan dari Illat
Hadist yang mengandung illat pada mulannya terlihat sebagai hadist shahih. Karena sanadnya tampak bersambung dan periwayatnya tampak bersifat siqat semua. Namun, setelah hadist itu diteliti lebih mendalam, barulah dapat diketahui jika hadist tersebut mengandung Illat.
Dari penjelasan al-Syafi’iy dinyatakan, bahwa hadist syad tidak disebabkan oleh: kesendirian individu periwayat dalam sanad hadist, periwayat yang tidak siqat. Hadist berpeluang mengandung syudzudz, bila; hadist itu memiliki lebih dari satu sanad, para periwayat hadist itu seluruhnya siqat, matan dan atau sanad hadist itu ada yang mengandung pertentangan.
Sebab utama kesulitan penelitian syudzudz dan illah hadist ialah karena kedua hal itu terdapat dalam sanad yang tampak shahih. Dan baru dapat diketahui setelah hadist itu diteliti lebih mendalam dengan diperbandingkan berbagai sanad yang matannya mengadung masalah yang sama. 16
KESIMPULAN
Para ulama Muhaditsin berpendapat, bahwa posisi sanad dalam hadist itu sangat penting keberadaannya di samping matan hadist itu sendiri. Bahkan ada yang menyatakan bahwa mengkaji sanad hadist itu termasuk Sunnat Muakkad. Karena ia merupakan mata rantai yang menghubungkan materi (matn) hadist hingga kepada Nabi SAW.
Sanad merupakan keunggulan Islam dalam koleksi ajaran yang berupa hadist Nabi SAW. Sanad dan rawi merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam setiap Hadist, selain matannya. Karenanya, unsur atau rukun hadist meliputi matn, rawi, dan sanad. Tidak sah matan itu dinyatakan sebagai hadist, jika tidak adanya persyaratan-persyaratan itu, yakni harus lengkap dengan rawi dan sanadnya.17
Karena begitu pentingnya keadaan sanad maka, harus dilakukan penelitian terhadap sanad hadist serta para perawinya. Diantara cara yang bisa dilakukan adalah dengan kajian litarure hadist (I’tibar). Sedangkan untuk pribadi perawi dapat dilakukan dengan popularitas keutamaan periwayat yang bersangkutan, penilaian dari para kritikus periwayat hadist, penerapan kaedah al-jarh wa ta’dil, kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat yang telah dikenal kedhabithannya.Waallahu A’lam Bishawab.
DAFTAR PUSTAKA
Assiba’I, Musthafa. (1982). Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum Serta Latar Belakang Historisnya. Bandung: Cv Diponegoro.
Ash-Shiddieqy, M Hasbi. (1974). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Jakarta: Bulan Bintang.
Arsyad, Natsir. (1996). Seputar Al-Qur’an Hadist dan Ilmu. Bandung: Al-Bayan.
Bustamin dan M.Isa H.A.Salam. (2004). Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Rajawali Press.
Hassan, A. (2001). Terjemah Bulugul Maram. Bangil: Pustaka Tamaam Bangil.
Husnan, Ahmad. (1993). Kajian Hadist Metode Takhrij. Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.
Ismail, Syuhudi. (1988). Kaedah Keshahihan Sanad Hadist; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
Soetari, Endang. (1997). Ilmu Hadist. Bandung: Amal Bakti Press.
Dosen Pengampu : Drs. Abdul Haris, MA
Kegiatan Penelitian Sanad
(Melalui I’tibar dan Meneliti Pribadi Periwayat)
Oleh :
IKA ROMIKA MAWADDATI
PENDAHULUAN
Hadist adalah segala sesuatu; baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hadist berfungsi sebagai dasar hukum Islam setelah al-Qur’an. Karena fungsinya yang sangat krusial dalam pelaksanaan syariat Allah, maka setiap Muslim wajib mengamalkan hadist di setiap lini kehidupannya.
Sebelum hadist Nabi dihimpun dalam kitab-kitab hadist secara resmi dan massal, hadist Nabi pada umumnya diajarkan dan diriwayatkan secara lisan dan hafalan. Hal ini sangat sesuai dengan keadaan masyarakat Arab yang terkenal sangat kuat dalam bidang hafalannya. Walaupun begitu tidaklah berarti bahwa pada saat itu kegiatan pencatatan hadist tidak ada. Kalangan ulama pada masa itu cukup banyak yang membuat catatan hadist, tetapi kegiatan pencatatan seain masih dimaksudkan untuk kepentingan pribadi para pencatatnya, juga belum bersifat missal.1
Menurut pendapat mayoritas ulama, sejarah penulisan hadist dan penghimpunan resmi dan missal, dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, barulah terjadi atas perintah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Jadi, tenggang waktunya sekitar 90 tahun sesudah Nabi Wafat. Dalam masa yang cukup panjang ini, telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadist yang dilakukan oleh beberapa golongan dengan berbagai tujuan.
Atas kenyataan ini, maka ulama hadist dalam usahanya menghimpun hadist Nabi, selain harus melakukan perlawatan untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di berbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyeleksian terhadap semua hadist yang mereka himpunkan. Karena itu, proses penghimpunan hadist secara menyeluruh terpaksa mengalami waktu yang cukup panjang, yakni sekitar lebih dari satu abad.2
Terdapat dua unsur pokok dalam hadist, isi hadis dan urutan asal-usul hadist hingga dapat menunjukkan ketersambunganya kepada Rasulullah. Itu sebabnya dalam proses penelitiannya juga harus dilakukan kepada kedua unsur tersebut, penelitian terhadap matan dan sanad hadist. Hal tersebut dilakukan demi kehati-hatian dalam pengamalan hadist. Jangan sampai kita mengamalkan hadist yang ternyata hadist itu palsu. Untuk menfokuskan pembahasan, dalam makalah ini hanya membahas tentang kegiatan penelitian sanad melalui I’tibar dan meneliti pribadi periwayat.
PEMBAHASAN
A.Pengertian Sanad
Secara etimologi, sanad adalah “sandaran”, yang kita bersandar padanya. Maka surat hutang juga dinamai sanad. Dan berarti: “yang dapat dipegangi, dipercayai’. Kaki bukit atau gunung juga disebut sanad. Jama’nya Asnad dan Sanadat.
Sedangkan secara Terminologi dalam ahli hadist, sanad adalah: “Jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadist’. Apabila seseorang perawi berkata: “Dikabarkan kepadaku oleh Malik yang menerimanya dari Nafi’, yang menerimanya dari Abdullah ibn Umar, bahwa Rasul bersabda;….
Maka perkataan perawi itu dari “dikhabarkan kepadaku oleh Malik hingga sampai kepada bersabda Rasul SAW.” Dinamai Sanad.3
B.Keutamaan Sanad
Sanad hadist dinyatakan mempunyai kedudukan yang sangat penting, sebab utamanya dapat dilihat dari dua sisi. Yakni:
1.dilihat dari sisi kedudukan hadist dalam kesumberan ajaran Islam.
2.dilihat dari sisi sejarah hadist.
Dilihat dari sisi yang disebutkan pertama, sanad hadist sangat penting karena hadist merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Dari sisi yang disebutkan kedua, sanad hadist sangat penting karena dalam sejarah:
a.Pada zaman Nabi tidak seluruh hadist tertulis.
b.Sesudah zaman Nabi telah berkembang pemalsuan-pemalsuan hadist.
c.Penghimpunan (tadwin) hadist secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan-pemalsuan hadist.4
Dikenali unsur yang harus ada pada Hadist, berupa rawi sanad dan matan. Rawi dan sanad dengan matannya merupakan kesatuan yang mutlak harus ada; ini beda dengan al-Qur’an. Teks al-Qur’an diyakini nuzul-nya karena sudah tuntas tertulis pada masa Nabi SAW. Sedang hadist proses tadwinnya panjang, sejak masa Nabi SAW dan baru selesai pada tahun 300-an Hijriyah.
Maka unsur atau faktor pemberita (perawi) dan proses periwayatanya (sanad) nyatanya satu, rawi dalam konotasi subyek riwayah, kalau diurut, mulai dari sahabat, tabi’in sampai dengan mudawin. Sanad konotasi penyandaran pemberitaan hadist (referensi), mulai dari mudawin, gurunya, begitu selanjutnya sampai rawi yang pertama kali menerima hadist, yang biasa disebut asal sanad.5
Sesungguhnya keutamaan sanad mengikuti hasil yang diperoleh darinya, dan hasil-hasil itulah yang sangat mulia dan sangat tinggi, yaitu hadist. Dengan sanadlah mana yang diterima, mana yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak. Dialah jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.
Abdullah Ibnul Mubarak berkata” Menerangkan sanad hadist, termasuk tugas agama. Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah setamsil orang yang menaiki loteng tanpa tangga.” Al-Hakim: “Andaikata tidak cukup sempurna adanya segolongan dari ahli-ahli hadist, memelihara sanad, pastilah lenyap tanda-tanda (lentera) Islam.”6. Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan ulama lain yang menyatakan keutamaan sanad yang tidak mungkin pemakalah tulis dalam makalah ini. Penjagaan sanad merupakan hal istimewa yang dimiliki oleh kaum muslimin yang tidak dimiliki kaum lainnya. Usaha tersebut merupakan upaya penjagaan dan penghargaan sejarah, sehingga tidak mudah untuk dirancang demi kepentingan pribadi.
C.Penelitian Sanad
Untuk mengetahui sebuah hadist itu asli atau aspal (asli tapi palsu) atau benar-benar palsu, maka paling tidak, ada tiga unsur dari hadist itu yang mesti diteliti hati-hati.
Matan atau materi hadist, ini tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, dengan hadist lain yang lebih kuat, atau dengan realita, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.
Sanad (sandaran yang dapat dipercaya, atau persambungan antara pembawa dan penerima hadist, atau antara rawi dengan Nabi), artinya, mereka itu secara real berjumpa atau saling berguru, dan hubungan mereka jelas, tidak meragukan.
Rawi (yang membawakan atau yang meriwayatkan hadist) yang syaratnya harus adil (muslim, baligh, jujur, tidak pernah dusta dan tidak pernah membiasakan dosa) dan hafizh (kuat hapalannya dan dpat dipertanggungjawabkan pribadi atau jati dirinya).7
Seperti yang telah pemakalah jelaskan sebelumnya, jika diantara tiga unsur yang harus diteliti tersebut di atas, hanya penelitian sanad dan pribadi periwayat saja yang dibahas dalam makalah ini. Sedangkan penelitian matan akan dijelaskan di makalah selanjutnya.
Kegiatan kritik atau penelitian sanad hadist bertjuan untuk mengetahui kualitas rangkaian sanad dalam hadist yang diteliti, apabila hadist yang diteliti memenuhi kriteriakesahihan sanad, hadist tersebut digolongkan sebagai hadist sahih.
Penelitian atau kritik sanad hadist, pada masa Rasulullah dan masa Khulafaur Rasyidin belum ditemukan. Hal itu dapat dipahami karena para periwayat hadist pada dua masa tersebut disepakati muhaddistin sebagai masa berkumpulnya periwayat hadist yang adil.8
Sebelum mengadakan penelitian sanad hadist, tentunya kita harus mengetahui criteria umum kesahihan sanad hadist. Unsur-unsur kaedah mayor kesahihan sanad hadist ialah:
1.Sanad bersambung.
2.Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil.
3.Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith.
4.Sanad hadist itu terhindar dari syudzudz.
5.Sanad hadist itu terhindar dari ‘illat.
Dengan demikian, suatu sanad hadist yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah hadist yang kualitas sanad-nya tidak sah.9
Mengenai cara penelitian sanad dan subyek pembawa berita (rawi) telah banyak ditulis di kitab-kitab para ulama. Jadi kita bisa mengetahui keadaan kualitas sanad dan rawi dari kitab-kitab tersebut. Karena ulama hadist ada yang secara khusus telah melakukan penelitian secara khusus dan mendalam terhadap masing-masing pribadi para periwayat. Hasil penelitian mereka dihimpun dalam berbagai kitab. Dengan begitu seseorang yang hendak meneliti kualitas sanad memerlukan “bantuan” dari berbagai kitab yang berisi tentang kualitas para periwayat hadist. Cara tersebut biasanya terkenal dengan istilah I’tibar.
1.Penelitian Sanad dengan I’tibar
I’tibar berarti mendapatkan informasi dari petunjuk literatur, baik kitab/diwan yang asli (Mushannaf, Musnad, Sunan dan Shahih), kitab Syarh dan kitab-kitab Fan yang memuat dalil-dalil hadist, serta mempelajari kitab-kitab yang memuat problematika Hadist.
Dengan mengetahui Diwan yang mengkoleksi suatu hadist, kita dapat mengetahui kualitas hadistnya, sebab menurut Ulama Muhadditsin disepakati, jenis kitab hadist menunjukkan kualitas hadist tertentu. Kitab al-jami’ al-Shahih berisi Hadist Shahih, Hasan dan Dhoif, tapi dhaifnya tidak sampai mawdhu’(rawi dusta), matruk (rawi tertuduh dusta), munkar (rawi fasiq dan atau jelek hafalannya).
Bila atas petunjuk diwan belum didapat informasi dan petunjuk yang jelas tentang kualitas hadist, perlu dilihat komentar kitab-kitab Syarh. Kitab ini merupakan komentar dan pembahasan secara meluas dan mendalam terhadap teks hadist yang tercantum pada diwan hadist asal dan terhadap hadist yang tercantum pada kitab kutipan (takhrij).
I’tibar (Studi literatur) lainnya dalam melihat kualitas hadist adalah dengan menelaah kitab-kitab fan tertentu (Tafsir, Tawhid,Fiqh, Tashawuf, Akhlaq) yang memuat dan menggunakan Hadist sebagai dalil pembahasannya. Apalagi kalau penulisnya termasuk yang ahli dibidangnya dan ahli hadist pula, dan lebih-lebih kalau kitabnya bersifat muqaranah dan pembahasan problematika. 10
Dengan melihat penjelasan dari kitab-kitab diwan ataupun fan, maka peneliti akan mengetahui ketersambungan atau tidak ketersambangunan sebuah sanad dalam hadist. Untuk mengetahui bersambung (dalam arti musnad) atau tidak bersambungnya suatu sanad, biasanya ulama hadist menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
a.Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b.Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
Melalui kitab-kitab rijal al-hadist, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib susunan Ibn Hajar al-Asqalany, dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby. Melalui kitab tersebut dimaksudkan untuk mengetahui:
1)Apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis)
2)Apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan; kesezamanan pada masa hidupnya, dan guru murid dalam periwayatan hadist.
c.Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasany, haddasana, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya. Jadi, suatu sanad hadist barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat (adil dan dhabith)
Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadist secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadist. 11
D.Meneliti Pribadi Periwayat
Riwayat menurut bahasa, ialah: “Memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain”.
Menurut ilmu hadist, ialah : “Memindahkan hadist dari seseorang guru kepada orang lain, atau mendewankannya ke dalam dewan hadist”.
Pemindah hadist itu, dinamai : Rawi. Rawi pertama, ialah Shahaby dan rawi terakhir, ialah : yang mendewankannya; umpamanya Bukhary. Beliau adalah perawi terakhir bagi kita.12
Jadi meneliti pribadi periwayat adalah penelitian terhadap sifat, akhlaq, dan segala hal yang bersangkutan dengan kepribadian para perawi ( nama-nama ulama’ yang tercantum dalam sanad suatu hadist). Dimaksudkan dalam hal ini, riwayat hidup bagi para rawi yang dijadikan sandaran dalam isnad hadist. Diantara yang dipandang penting meliputi:
1)Nama, gelar (kunyah dan laqab), keturunan dan penisbahannya.
2)Tempat, negeri, tanggal lahir dan meninggalnya bila mungkin. Apabila tidak mungkin masa hidupnya atau tahun meninggalnya.
3)Kepribadiannya, antara lain menyangkut amanah dan kepercayaan pihak lain, dapat dipercaya atau tidak.
4)Pikiran dan kekuatan hafalannya; sempurna/cukup kuat atau pernah mengalami perubahan (linglung).
5)Siapa saja guru-gurunya tempat pengambilan hadist dan siapa pula murid-murid yang meriwayatkan hadiss dari padanya.
6)Ke mana saja mengadakan perjalanan menuntut ilmu dan hadist.
7)Apa saja keistimewaan yang menonjol dan menjadi cirri khas baginya, sebaliknya apa saja cacat dan cela yang dapat dinilai sebagai kelemahanya.
8)Dan lain-lain yang perlu diungkap yang pada prinsipnya akan dapat dijadikan pegangan bagi penelitian hadist, apakah rawi tersebut termasuk yang dapat dijadikan sandaran dalam isnad hadist atau tidak. Apabila tidak berarti hadistnya akan ditolak karena dinilai djaif, sedang apabila dapat disamping syarat-syarat lain telah terpenuhi maka hadistnya akan diterima karena dinilai hadist shahih.13
Untuk mengetahui pribadi rawi, maka seseorang yang meneliti hendaknya melihat di kitab-kitab hadist. Karena tiap-tiap seorang dari rawi-rawi, hendaklah dikenal oleh dua orang dari ahli hadist di zaman masing-masing. Sifat masing-masing rawi pastinya juga telah diterangkan oleh ahli hadist di masing-masing masa.
Semua rawi-rawi hadist dari zaman Nabi SAW, hingga masa-masa setelahnya dicatat oleh imam-imam ahli hadist di kitab-kitab mereka, mulai dari tahun kelahirannya, hingga wafatnya, hal itu merupakan usaha spaya diketahui oleh orang-orang di belakang mereka. Tidak seorangpun rawi-rawi hadist terluput dari catatan ulama hadist. Rawi yang tidak ada catatanya disebut majhul; tidak terkenal, rawi yang tidak terkenal tidak dapat diterima hadist yang ia riwayatkan.
Berikut beberapa contoh kitab yang menerangkan riwayat hidup dari Rawi-rawi hadist.
1.Tah-Dzibut-Tahdzib oleh Ibnu Hajar al-Asqalany, ada 12 juz, mengandung 12.460 nama rawi.
2.Lisanul-Mizan, oleh Adz-Dzahaby, ada 3 juz, mengandung 10.907 nama rawi.
3.Al-ishabah, oleh Ibnu Hajar, ada 8 juz besar, kitab ini khusus menerangkan riwayat hidup sahabat-sahabat Nabi SAW, dan sebagainnya mengandung 11.279 nama sahabat.
4.At-Tarikhul-Kabir, oleh Imam Bukhari, sebanyak 6 jilid, mengandung nama 9.048 rawi hadist.
5.Al-Jarhu Wa Ta,dil, oleh Ibnu Abi Hatim, ada 9 jilid sedang,mengandung 18.040 nama rawi-rawi. 14
Setelah melihat dan memahami pribadi periwayat hadist maka kita akan tahu mana rawi yang diterima dan tidak diterima. Menurut ulama hadist sifat Rawi yang diterima periwayatannya adalah bersifat Adil, Dhabith, Terhindar dari Syudzudz.
1.Periwayat Bersifat Adil
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa periwayat yang bersifat adil adalah; beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muru’ah.
Secara umum, ulama’telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadist. Yakni berdasarkan:
a.Popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadist.
b.Penilaian dari para kritikus periwayat hadist; pernilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadist.
c.Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil; cara ini ditempuh bila para kriikus hadist tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu. Jadi, penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama, dalam hal ini adalah ulama ahli kritik periwayat.15
2.Periwayat Bersifat Dhabith
Menurut Ibn Hajar al-Asqalany dan al-Sakhawy, yang dinyatakan sebagai orang Dhabith adalah orang yang kuat hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya. Ada pula ulama yang menyatakan, orang dhabith adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia memahami arti pembicaraan itu secara benar; kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
Adapun cara penetapan kedhabithan seorang periwayat, menurut berbagai pendapat ulama’ adalah;
a.Kedhabithan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b.Dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang terkenal kedhabithannya. Tingkat kesesuaiannya itu itu mungkin hanya samapi ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah.
c.Apabila seorang periwayat sekali-kali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith. Tetapi apabila kesalahannya itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabith.
3.Terhindar dari Syudzudz (Ke-Syadz-an) dan dari Illat
Hadist yang mengandung illat pada mulannya terlihat sebagai hadist shahih. Karena sanadnya tampak bersambung dan periwayatnya tampak bersifat siqat semua. Namun, setelah hadist itu diteliti lebih mendalam, barulah dapat diketahui jika hadist tersebut mengandung Illat.
Dari penjelasan al-Syafi’iy dinyatakan, bahwa hadist syad tidak disebabkan oleh: kesendirian individu periwayat dalam sanad hadist, periwayat yang tidak siqat. Hadist berpeluang mengandung syudzudz, bila; hadist itu memiliki lebih dari satu sanad, para periwayat hadist itu seluruhnya siqat, matan dan atau sanad hadist itu ada yang mengandung pertentangan.
Sebab utama kesulitan penelitian syudzudz dan illah hadist ialah karena kedua hal itu terdapat dalam sanad yang tampak shahih. Dan baru dapat diketahui setelah hadist itu diteliti lebih mendalam dengan diperbandingkan berbagai sanad yang matannya mengadung masalah yang sama. 16
KESIMPULAN
Para ulama Muhaditsin berpendapat, bahwa posisi sanad dalam hadist itu sangat penting keberadaannya di samping matan hadist itu sendiri. Bahkan ada yang menyatakan bahwa mengkaji sanad hadist itu termasuk Sunnat Muakkad. Karena ia merupakan mata rantai yang menghubungkan materi (matn) hadist hingga kepada Nabi SAW.
Sanad merupakan keunggulan Islam dalam koleksi ajaran yang berupa hadist Nabi SAW. Sanad dan rawi merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam setiap Hadist, selain matannya. Karenanya, unsur atau rukun hadist meliputi matn, rawi, dan sanad. Tidak sah matan itu dinyatakan sebagai hadist, jika tidak adanya persyaratan-persyaratan itu, yakni harus lengkap dengan rawi dan sanadnya.17
Karena begitu pentingnya keadaan sanad maka, harus dilakukan penelitian terhadap sanad hadist serta para perawinya. Diantara cara yang bisa dilakukan adalah dengan kajian litarure hadist (I’tibar). Sedangkan untuk pribadi perawi dapat dilakukan dengan popularitas keutamaan periwayat yang bersangkutan, penilaian dari para kritikus periwayat hadist, penerapan kaedah al-jarh wa ta’dil, kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat yang telah dikenal kedhabithannya.Waallahu A’lam Bishawab.
DAFTAR PUSTAKA
Assiba’I, Musthafa. (1982). Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum Serta Latar Belakang Historisnya. Bandung: Cv Diponegoro.
Ash-Shiddieqy, M Hasbi. (1974). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Jakarta: Bulan Bintang.
Arsyad, Natsir. (1996). Seputar Al-Qur’an Hadist dan Ilmu. Bandung: Al-Bayan.
Bustamin dan M.Isa H.A.Salam. (2004). Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Rajawali Press.
Hassan, A. (2001). Terjemah Bulugul Maram. Bangil: Pustaka Tamaam Bangil.
Husnan, Ahmad. (1993). Kajian Hadist Metode Takhrij. Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.
Ismail, Syuhudi. (1988). Kaedah Keshahihan Sanad Hadist; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
Soetari, Endang. (1997). Ilmu Hadist. Bandung: Amal Bakti Press.
untuk pengetahuan....
Oleh :
IKA ROMIKA MAWADDATI
PENDAHULUAN
Muhammad SAW diangkat menjadi Rasulullah membawa tugas mulia sebagai penyampai ajaran Islam di muka bumi, sehingga menjadi ajaran rahmatan lil alamin yang membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi penghuni dunia. Telah disepakati oleh para ulam bahwa sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam menyampaikan syariat kepada umat, ada kalanya beliau membawakan peraturan – peraturan yang isi dan redaksinya telah diterima dari Allah, dan ada kalanya hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari Allah.1 Peraturan hasil ijtihad beliau atas bimbingan ilham yang terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkan, dan ijtihad itulah yang berkembang menjadi hadist yang terus dipelajari dan diamalkan hingga saat ini.
Sebagai manusia biasa yang juga hidup dalam lingkungan masyarakat, perjalanan dakwah Muhammad sebagai Rasulullah, tentunya tidak sendirian saja. Namun ditemani orang – orang di sekitar beliau yang mendukung perjuangannya. Tetapi tidak sedikit pula orang-orang di sekitar beliau yang menentang bahkan berusaha memerangi usaha Muhammad dalam mensyiarkan ajaran Islam.
Allah telah memberikan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagaian di anatara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Al-Qur’an dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadist Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli hadist.2
Begitu penting fungsi hadist dalam Islam, maka perlu bagi kita para penerus perjuangan Rasulullah, mengetahui usaha para sahabat dalam menjaga eksistensi dan kevaliditasan hadist hingga sampai pada zaman kita sekarang. Dengan begitu diharapkan kita juga termotivasi untuk menteladani usaha mereka dalam menjaga hadist. Untuk membatasi dan menfokuskan permasalahan dalam makalah ini, maka penulis hanya akan membahas peran sahabat dalam menjaga eksistensi hadist.
PEMBAHASAN
Sebelum membahas bagaimana usaha sahabat dalam menjaga eksistensi hadist, ada baiknya penulis paparkan periode sejarah hadist sebagai pengantar pemhasan. Para ulama penulis sejarah hadist berbeda-beda dalam membagi periode-periode sejarah hadist. Karena hanya sebagai pengantar pemahaman isi makalah ini, maka penulis hanya menyebutkan periodesasi perkembangan hadist yang dibagi menjadi 7 periode:
1.Hadist pada masa Rasul (masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam)
2.Hadist padamasa sahabat besar, semenjak permulaan masa pemerintahan Abu Bakar al-Shiddiq samapi berakhirnya zaman Ali Ibn Abi Thalib 11 H-40 H (zaman pematerian dan penyederhanaan/penyedikitan riwayah)
3.Masa sahabat kecil dan tabi’in besar, dari berakhirnya zaman khulafa al-Rasyidin atau permulaan masa Muawwiyah (masa penyebaran ke kota-kota/daerah-daerah)
4.Masa pemerintahan daulah Muawwiyah angkatan kedua sampai masa daulah Abbasiyah angkatan pertama, permulaan abad kedua Hijriyah samapi akhir akhir abad kedua Hijriyah (Masa penulisan tan pentadwinan)
5.Masa akhir pemerintahan daulah Abbasiyah angkatan pertama sampai awal pemerintahan Daulah Abbasiyah angkatan kedua (sejak Khalifah Ma’mun sampai Khalifah al-Muqtadir) dari awal abad III H sampai akhir abad III H (masa penyaringan, pemeliharaan dan pelengkapan)
6.Masa pemerintahan Abbasiyah angkat kedua (sejak khalifah Muqtadir samapi al-Mu’tashim) dan permulaan abad IV H sampai jatuhnya Bagdad tahun 656 H (Masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan)
7.Masa sesudah daulah Abbasiyah tahun 656 H samapi sekarang (masa penyarahan, penghimpunan, pentakhrijan dan pembahasan.3
A.Sahabat
Secara etimologi sahabat berasal dari kata صحب يصحب صحبة صحابة صاحب
Yang berarti bersahabat, berteman, dan berkawan
Secara terminologi sahabat adalah :
من لقي النبي ص م مؤمنا به (مسلما ) ومات على الاسلام
“ Siapa saja yang bertemu nabi, mangimaninya dan mati dalam keadaan Islam” 4
Pada saat itu keberadaan Sahabat telah terpencar di berbagai tempat sehingga tidak bisa menghitung secara urut, beberapa ulama menjelaskan bahwa jumlah sahabat lebih dari 100 000 jiwa. Menurut Abu Zur’ah Ar-Raji mengatakan sahabat Rasulullah melingkupi 114 sahabat.5 Sahabat bisa diketahui dengan diketahui keadaan seseorang sebagai sahabat secara mutawatir, dengan ketenaran meskipun belum sampai batasan mutawatir, riwayat dari seorang sahabat bahwa dia adalah sahabat atau dengan kabar dari yang bersangkutan bahwa dia adalah seorang sahabat.6
Jika berkaca dari makna sahabat dan periode perkembanagn hadist yang telah dijelaskan sebelumnya maka periode yang di dalamnya terdapat sahabat adalah periode pertama, kedua, dan ketiga. (periode Rasulullah hingga berakhirnya masa khulafaur Rasyidin atau permulaan masa Bani. Ummaiyah)
B.Peran Sahabat dalam Pembentukan Hadist
Menurut periodesasi perkembangan sejarah, terdapat beberapa perbedaan kebijakaan tentang hadist, seperti pada masa Rasulullahterdapat beberapa kebijakan yang berbeda tentang penulisan hadist:
1.Perintah Rasulullah kepada para sahabat untuk menghapal, menyampaikan dan menyebarkan hadist. Diantara sabda beliau:
“Mudah-Mudahan Allah menyinari seseorang yang mendengar ucapanku, lalu menghapal dan memahaminya, serta disampaikan kepada orang lain sebagaimana yang ia dengar. Karena, boleh jadi orang disampikan kepadanya, lebih paham dari orang yang mendengarnya sendiri” (HR Abu Dawud dan At-Turmidzi)
2.Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis hadist. Sabda beliau:
“ Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dari padaku, terkecuali al-Qur’an. Dan barang siapa telah menulis dari padaku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR Ahmad)
3.Setelah melarang, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis kembali hadist. Seperti sabda beliau:
“Tulislah, maka demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” (HR. Abu Dawud). 7
Dan dikuatkan pula kebolehan menulis hadist secara tidak resmi, oleh riwayat Al-Bukhori yang meriwayatkan bahwa di ketika Nabi dalam sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi pegangan umat. Akan tetapi, karena di kala itu Nabi dalam keadaan berat sakitnya, Umar menghalanginya karena ditakuti menambahkan berat sakit Nabi.8
Dari ketiga kebijakan tersebut tentunya respon para sahabat berbeda-beda. Namun secara umum para sahabat sangat antusias untuk mempelajari hadist baik dari Rasulullah sendiri maupun dari sahabat lain. Berikut penjelasan singkat mengenai kegiatan sahabat terhadap penjagaan hadist.
1.Cara sahabat menerima hadist
Jumlah sahabat yang banyak tidak memungkinkan jika semuannya setiap hari bergaul dengan Rasulullah, di antara mereka ada yang tidak bisa secara rutin bergaul dengan Rasulullah karena kesibukan atau tempat tinggal yang jauh dari Rasulullah. Berikur cara sahabat menerima hadist
a.Langsung dari Rasulullah
Maksudnya langsung mendengar, melihat atau menyaksikan apa yang dilakukan Rasulullah. Hal ini dialami sahabat melalui majelis pengajian atau langsung bertanya.
b.Tidak langsung
Maksudnya tidak langsung tapi mendapatkan hadist dari sahabat lain, beberapa alasannya adalah:
1)kesibukan pribadi
2)tempat tinggal yang jauh dari Rasulullah
3)merasa malu untuk bertanya langsung kepada Rasulullah.nabi sendiri sengaja minta tolong kepada sahabat untuk menjelaskan masalah-masalah khusus.
Bagimana cara sahabat menjelaskan hadist kepada sahabat yang tidak langsung mendapatkan dari Rasulullah?
1)Dengan lafaz asli (Lafzhiyah) yaitu menurut lafaz yang telah mereka terima dari Rasulullah.
Untuk tujuan ini (selain juga tujuan yang lain), para sahabat berusaha senantiasa menghafal hadist dengan sungguh-sungguh. Mereka sangat berhati-hati dalam hafalannya, tidak sedikitpun berani mengubah; menambahi atau mengurangi yang didengarnya dari Rasulullah SAW.
Ketika Ubaid bin Umair menyitir sabda Nabi; “orang munafik itu bagaikan domba yang sedang berbaring dengan menyimpulkan kaki diantara biri-biri,” Ibnu Umar9 langsung menegurnya, karena bunyinnya tidak sama seperti sabda Rasulullah SAW. Sedangkan sabda Rasulullah yang benar ialah; “Orang munafiq itu bagaikan domba yang lewat di antara biri-biri.” Ibnu Umar juga pernah mendengar seorang lelaki yang kacau mengucapkan hadist mengenai rukun yang lima, sehingga menyalahi riwayat yang ia dengar sendiri dari Rasulullah SAW. Kepada lelaki tersebut Ibnu Umar berkata: “Jadikan puasa bulan Ramadhan sebagai rukun yang terakhir, seperti yang aku dengar dari Rasulullah.” 10
2)Dengan makna saja (ma’nawi) yaitu hadist tersebut disampaikan dengan mengemukakan maknanya saja. 11
2. Kehati-hatian Sahabat dalam Periwayatan Hadist
Periode Khulafaur Rasyidin, merupakan periode di mana Rasulullah telah meninggal dan tongkat kepemimpinan dipegang oleh para sahabat besar, karena Rasulullah telah tiada tentunya sumber utama hadist telah tiada pula, namun usaha sahabat untuk terus mencari hadist-hadist lain yang belum diketahui tidaklah berhenti. Selain itu kebijakan para pemimpin mengenai hadist pun berbeda di masa Rasulullah. Kebijakan yang paling terlihat adalah kehati-hatian sahabat dalam periwayatan hadist.
Menurut sejarah suasana masyarakat muslim khususnya masa Abu Bakar dan Umar, pada umumnya baik dan tentram. Namun timbul benih-benih kekacauan yang merusak dan menganggu pengamalan umat Islam terhadap agama.
a.Murtadnya beberapa orang Islam sepeninggal Nabi Muhammad.
b.Masuknya orang-orang yanhudi yang bermuka dua.(Abdullah bin Saba’)
c.Kebijakan Usman yang mengangkat kerabatnya, menimbulkan ketidaksenangan rakyat.
Atas suasana tersebut mendorong para sahabat untuk berhati-hati dalam periwayatan hadist, baik yang menerima maupun yang menyampaikan.tindakan kehati-hatian (Ihtiyath) para sahabat dalam periwayatan hadist berbentuk:
a.menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadist untuk kebutuhan primer.
b.Menepis dalam penerimaan hadist, yakni meneliti keadaan rawi dan marwi.
c.Melarang meriwayatkan secara luas hadist yang belum dapat difahami secara umum.
Dengan tegas sejarah menerangkan bahwa Umar ketika memegang tampuk kekhalifahan meminta dengan keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan orang membanyakkan periwayatan hadist. Ketika mengutus utusan ke Iraq, beliau mewasiatkan supaya utusan-utusan itu mengembangkan Al-Qur’an dan mengembangkan kebagusan tajwidnya, serta mencegah mereka membanyakkan riwayat. Diterangkan bahwa, pernah orang bertanya kepada Abu Hurairah apakah dia banyak meriwayatkan hadist di masa Umar. Abu Hurairah menjawab : “Sekiranya saya membanyakkan, tentulah Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.”12
Adapun menulis hadist masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah Umar mempunyai gagasan untuk membukukan hadist, namun niatan tersebut diurungkan setelah Istiharoh. Namun demikian ada beberapa sahabat yang tetap menulis hadist untuk kepentingan sendiri, karena takut lupa atau alasan yang lain (pemhaman mereka bahwa ijin penulisan hadist datangnya lebih dahulu, baru disusul dengan larangan, sehingga banyak yang telah menulis hadist). Tulisan-tulisan tersebut terkenal dengan sebutan Shahifah, misalnya Shahifah Ali ra, Al-Shahifah Al-Shadiqoh oleh Abdullah bin Amr bin Ash, Shahifah Jabir bin Abdullah Al-Anshari.
Suatu hari Abdullah datang meminta tentang penulisan hadist fatwa kepada Rasulullah: “Bolehkah aku menulis apa saja yang aku dengar? “Rasulullah SAW bersabda: Ya, boleh. “Abdullah bertanya lagi: “Dalam ridla dan marah? “Nabi Menjawab: “Ya. Sungguh, aku hanya mengatakan kebenaran dalam hal itu.”
Jadi terlihat bahwa Abdullah bin Amr melakukan penulisan Hadist sesudah menerima fatwa yang jelas dari Rasul yang mulia, dan , Al-Shahifah Al-Shadiqoh itu adalah buah dari fatwa Nabi. Ketekunan Ibnu Amr dalam menulis Shahifah Shadiqah dan Shahifah-Shahifah lain diakui oleh ucapan Abu Hurairah: “Tak seorang pun di antara sahabat Rasulullah SAW yang lebih banyak menulis hadisnya dari padaku, kecuali Ibnu Amr, karena dia terus menulis dan aku tidak.13
3. Antusiasme Dalam Mempelajari Hadist
Pada masa sahabat kecil daerah Islam mulai meluas, sampai ke Syam, Irak, Mesir, Samarkand bahkan pada tahun 93 H sampai ke Spanyol. Perkembangan wilayah tersebut tentunya juga dibarengi berbagai perkembangan permasalahan dalam tubuh masyarakat Islam, berawal dari alasan tersebut maka umat Islam saat itu memerlukan pengetahuan lebih mengenai hadist Nabi SAW.
Karena kebutuhan itulah mereka semakin serius mempelajari hadist, menanyakan dan belajar dari para sahabat besar yang sudah tersebar di seluruh pelosok wilayah daulah Islamiyah. Dengan demikian pada masa ini disamping tersebarnya periwayatan hadist-hadist ke pelosok-pelosok daerah jazirah Arab, juga perlawatan untuk mencari hadist juga ramai.
Umar bin Khattab , menurut riwayatAl-Bukhory menerangkan :
‘Aku dan seorang temanku (tetanggaku) dari golongan Anshar bertempat di kampung Umaiyah ibn Yazid, sebuah kampung jauh dari kota Madinah. Kami berganti-ganti datang kepada Rasul. Kalu hari ini aku yang turun, esok tetanggaku yang pergi. Kalau hari ini aku yang turun, sok tetanggaku yang pergi. Kalau aku yang turun, aku beritakan kepada tetanggaku apa yang aku dapati dari Rasulullah. Kalau dia yang pergi, demikian juga, pada suatu hari, pada hari gilirannya, sahabatku pergi. Sekembalinnya dia mengetuk pintu rumahku dengan keras serta berkata: “Adakah Umar di dalam? “Aku terkejut lalu keluar mendapatinya,. Ia menerangkan bahwa telah terjadi satu keadaan penting. Rasul telah mentalak istri-istrinya. Aku berkata: “Memang sudah ku duga terjadi peristiwa ini. “sesudah saya bersembahyang subuh, saya pun berkemas lalu pergi. Sesampai di kota, saya masuk ke rumah Hafsoh, saya dapati dia sedang menangis. Maka saya bertanya: “Apakah engkau telah ditalak Rasul?”. Hafsah menjawab: “Saya tak tahu”. Sejurus kemudian saya masuk ke bilik Nabi, sambil berdiri saya berkata: “Apakah anda telah mentalak isteri-isteri anda? “Nabi menjawab: “Tidak”. Di kala itu saya pun mengucapkan “Allahu Akabar.”14
Riwayat ini menerangkan, bahwa para sahabat sangat benar memperhatikan gerak-gerik Nabi dan sangat benar memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka menyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan mentaati Nabi.
Para sahabat dalam menerima hadist, sangat berpegang teguh pada kekuatan hafalannya, yakni menerima dengan hafalan bukan tulisan. Pada saat itu dahabat yang bisa menulis masih sedikit. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Rasulullah, mereka melihat yang Nabi kerjakan, dan mendengar pula dari orang yang mendengar sendiri dari Rasulullah.
Karena meningkatnya antusiasme sahabat dalam mempelajari hadist, maka muncullah bendaharawan-bendaharawan Hadist, dan muncul pula lembaga-lembaga (centrum perkembangan ) Hadist diberbagai daerah :
a.Madinah, dengan tokoh-tokohnya: Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Huroiroh, Aisyar, (Sahabat). Urwah, Said, Al-Zuhri (tabi’in)
b.Makkah, dengan tokohnya, Muadz, Ibn Abbas (Sahabat), Mujahid, Ikrimah, Atha Ibn Abi Rabiah (Tabi’in)
c.Kuffah, dengan tokoh-tokohnya, Ali, Abdullah ibn Mas’ud, Saad bin Abi Waqos (sahabat), Masruq, Ubaidillah, AL-Aswad (Tabi’in)
d.Basrah, dengan tokoh-tokohnya, Anas Ibn Malik, Utbah, Imran Ibnu Husain (Sahabat), Abu Al-Aliyah, Al-Bisri (Tabi’in)
e.Syam dengan tokoh-tokohnya, Muadz Ibn Jabbal, Abu Darda (Sahabat)
f.Mesir, dengan tokohnya, Abdullah Ibn Amer, Uqbah Ibnu Amir, Kharijah Ibn Hudzaifah (Tabi’in)
Diantara bendaharawan Hadist, yakni sahabat yang banyak menerima hadist, menghafal dan mengembangkan atau meriwayatkan hadist, adalah:
a.Abu Huroiroh, menurut Ibn Al-Jauzi meriwayatkan 5374, menurut al-Kirmany 5364.
b.Abdullah inbu Umar, meriwayatkan 2630.
c.Anas Ibn Malik, meriwayatakan 2276.
d.Aisyah, Istri Rasulullah SAW, meriwayatkan 2210.
e.Abdullah Ibnu Abbas, meriwayatkan 1660.
f.Jabir Ibn Abdullah, meriwayatkan 1540.
g.Abu Said al-Khudri, meriwayatkan 1170.
h.Abdullah ibnu Mas’ud.
i.Abdullah Ibn Amr Ibn Ash.15
KESIMPULAN
Kesungguhan usaha sahabat dalam menjaga eksistensi hadst menjadikan hadist tetap terjaga hingga sekarang. Usaha tersebut diwujudkan dengan menghafal, menulis dan membukukan serta penelitian sanad dan matan hadist dari pemalsuan. Semua usaha tersebut tiada lain hanyalah untuk menjaga keberadaan dan kemurnian hadist dari pemalsuan-pemalsuan golongan yang tidak bertanggung jawab.
Dari ulasan sederhana yang telah pemakalah jelaskan, maka dapat disimpulkan mengenai peran sahabat dalam pembentukan hadist, adalah:
8.Sahabat sebagai penyampai hadist (pentablig) kepada umat Islam lainnya.
9.Sahabat sebagai pemeran utama dalam penjagaan hadist setelah Rasulullah wafat, melalui hafalan dan hasil tulisan hadist yang mereka lakukan.
10.Sahabat sebagai motivator bagi generasi setelahnya untuk berhati-hati dalam penyampaian dan pengamalan hadist.
11.Sahabat membuka ruang bagi generasi selanjutnya bahkan sampai sekarang dalam pengkajian terhadap hadist, hingga muncul disiplin ilmu hadist. Waallahu A’lam Bishawab
DAFTAR PUSTAKA
As-Shalih, Subhi (2002) Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (terj, Tim Pustaka Firdaus) Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ash-Shidieqy, Muhammad Hasbi, (1999) Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Al-Qaththan, Manna, (2004) Pengantar Studi Ilmu Hadist (Terj, Mifdhol Abdurrahman) Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.
Al-Maliki, Muhammad Alawi, (2006) Ilmu Ushul Hadist (Terj, Adnan Qohar)Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Husnan, Ahmad,(1214 H) Ulumul Hadist. Sukoharjo: Al-Mukmin Press.
Sulaiman, M Noor, (2008) Antologi Ilmu Hadist, Jakarta: Gaung Persada Press.
Soetari, Endang, (1994) Ilmu Hadist. Bandung: Amal Bakti Press.
ni wawasan juga...baca dak rugi
I.Untuk memperoleh akurasi dan validitas suatu hadist para ulama melakukan kritik sanad dan kritik matan. Jelaskan proses melakukan kritik sanad dan kritik matan.
Jawab:
a.Proses melakukan kritik sanad dengan beberapa langkah berikut :
1. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
Melalui kitab-kitab rijal al-hadist, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib susunan Ibn Hajar al-Asqalany, dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby. Melalui kitab tersebut dimaksudkan untuk mengetahui:
Apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis)
Apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan; kesezamanan pada masa hidupnya, dan guru murid dalam periwayatan hadist.
3Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasany, haddasana, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya. Jadi, suatu sanad hadist barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat (adil dan dhabith)
Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadist secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadist.
4. Cara yang paling mudah dan praktis untuk saat ini penelitian dengan tekhnologi yaitu penelusuran ketersambungan sanad melalui software maktabah syamilah.
b.Proses melakukan kritik matan secara garis besar adalah dengan perbandingan, dengan beberapa langkah berikut :
1.Menghimpun hadist-hadist yang terjalin dalam tema yang sama. Yang dimaksud sama adalah:
Mempunyai sumber sanad sama, baik riwayat bil-lafad maupun riwayat bil-ma’na.
Mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang.
Hadist dengan tema sama seperti tema aqidah, ibadah, muamalah dan lainnya.
Hadist yang pantas dibandingkan adalah yang sederajat tingkat kualitas sanadnya. Dengan melakukan perbandingan kita akan mengetahui bahwasanya ada beberapa hadis yang memiliki lafadz berbeda dengan makna yang sama, perbedaan lafadz pada matan hadist yang semakna karena telah terjadi periwayatan secara makna. Menurut muhaddisin, perbedaan lafad yang tidak mengakibatkan perbedaan makna dapat ditoleransi asalkan sanadnya sama-sama sahih.
2.Membandingkan matan hadist dengan ayat Al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dengan perbandingan ini kita bisa menentukan apabila ada matan hadist yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an haruslah ditinggalkan meskipun sanadnya shahih.
3.penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa.
Penelitian bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa objek:
struktur bahasa: artinya apakah susunan matan hadis yang diteliti sesuai dengan kaidah bahasa arab atau tidak?
Kata-kata yang digunakan dalam matan apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literature Arab modern?
Apakah matan hadist tersebut menggambarkan bahasa kenabian?
Menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, sama makna yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.
Dengan penelusuran bahasa, muhadditsin dapat membersihkan hadist Nabi dari pemalsuan hadis.
Setelah melakukan penelitian matan, maka dapat ditentukan matan yang shahih atau tidak. Matan yang dapat disebut shahih jika memenuhi kriteria berikut :
1.Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
2.Tidak bertentangan dengan hadist yang lebih kuat
3.Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah
4.Susunan pernyataanya menunjukkan cirri-ciri sabda kenabian
II. Ketika ditemukan secara lahiriyah adanya kontradiktif antara satu hadist dengan hadist yang lain, para ulama hadist memberikan tiga cara untuk menyelesaikannya, yaitu al-jam’, al-naskh, dan al-tarjih. Berikan masing-masing satu contoh tentang penyelesaian dengan cara al-jam’, al-naskh, dan al-tarjih.
Jawab:
1)Thariqah Al-Jami’, yaitu bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya, maka keduannya dikompromikan dan wajib diamalkan.
2)Thariqah At-Tarjih, yaitu bila hadist yang kontradiktif tersebut tidak memungkinkan untuk dikompromikan, maka:
Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita dahulukan yang nasikh lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang mansukh.
Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.
Contoh hadist yang kontradiktif :
Sabda Rasulullah SAW : “Tiada penyakit menular”, dan sabdanya dalam hadist lain “Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari dari singa.” Keduannya hadist shahih. Terhadap keduanya lalu diterapkan jalan tengah : bahwa sesungguhnya penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi Allah menjadikan pergaulan orang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularanya. Kadang-kadang hal itu tidak berlaku mutlak, seperti sebab lainnya. (penyelesaian tersebut merupakan bentuk hadist kontradiktif yang di ijma’ kemudian ditarjih)
Hadist berikut merupakan di antara hadist yang penyelesainya dengan al-Naskh.
Perintah Rasulullah kepada para sahabat untuk menghapal, menyampaikan dan menyebarkan hadist. Diantara sabda beliau:
“Mudah-Mudahan Allah menyinari seseorang yang mendengar ucapanku, lalu menghapal dan memahaminya, serta disampaikan kepada orang lain sebagaimana yang ia dengar. Karena, boleh jadi orang disampikan kepadanya, lebih paham dari orang yang mendengarnya sendiri” (HR Abu Dawud dan At-Turmidzi)
Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis hadist. Sabda beliau:
“ Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dari padaku, terkecuali al-Qur’an. Dan barang siapa telah menulis dari padaku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR Ahmad)
Setelah melarang, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis kembali hadist. Seperti sabda beliau:
“Tulislah, maka demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” (HR. Abu Dawud).
1.Hadist tentang penulisan hadist telah mengalami al-nash yang mana hadist yang membolehkan menjadikan dasar penghapusan terhadap larangan dan menjadikan pembolehan penulisan hadist.. Waallahu A’lam Bishawab
Sumber Referensi:
Al-Qaththan, Manna, (2004) Pengantar Studi Ilmu Hadist (Terj, Mifdhol Abdurrahman) Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.
As-Shalih, Subhi (2002) Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (terj, Tim Pustaka Firdaus) Jakarta: Pustaka Firdaus.
Bustamin dan M.Isa H.A.Salam. (2004). Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Rajawali Press.
Ismail, Syuhudi. (1988). Kaedah Keshahihan Sanad Hadist; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
Jawab:
a.Proses melakukan kritik sanad dengan beberapa langkah berikut :
1. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat :
Melalui kitab-kitab rijal al-hadist, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib susunan Ibn Hajar al-Asqalany, dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby. Melalui kitab tersebut dimaksudkan untuk mengetahui:
Apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis)
Apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan; kesezamanan pada masa hidupnya, dan guru murid dalam periwayatan hadist.
3Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasany, haddasana, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya. Jadi, suatu sanad hadist barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat (adil dan dhabith)
Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadist secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadist.
4. Cara yang paling mudah dan praktis untuk saat ini penelitian dengan tekhnologi yaitu penelusuran ketersambungan sanad melalui software maktabah syamilah.
b.Proses melakukan kritik matan secara garis besar adalah dengan perbandingan, dengan beberapa langkah berikut :
1.Menghimpun hadist-hadist yang terjalin dalam tema yang sama. Yang dimaksud sama adalah:
Mempunyai sumber sanad sama, baik riwayat bil-lafad maupun riwayat bil-ma’na.
Mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang.
Hadist dengan tema sama seperti tema aqidah, ibadah, muamalah dan lainnya.
Hadist yang pantas dibandingkan adalah yang sederajat tingkat kualitas sanadnya. Dengan melakukan perbandingan kita akan mengetahui bahwasanya ada beberapa hadis yang memiliki lafadz berbeda dengan makna yang sama, perbedaan lafadz pada matan hadist yang semakna karena telah terjadi periwayatan secara makna. Menurut muhaddisin, perbedaan lafad yang tidak mengakibatkan perbedaan makna dapat ditoleransi asalkan sanadnya sama-sama sahih.
2.Membandingkan matan hadist dengan ayat Al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dengan perbandingan ini kita bisa menentukan apabila ada matan hadist yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an haruslah ditinggalkan meskipun sanadnya shahih.
3.penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa.
Penelitian bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa objek:
struktur bahasa: artinya apakah susunan matan hadis yang diteliti sesuai dengan kaidah bahasa arab atau tidak?
Kata-kata yang digunakan dalam matan apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literature Arab modern?
Apakah matan hadist tersebut menggambarkan bahasa kenabian?
Menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, sama makna yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.
Dengan penelusuran bahasa, muhadditsin dapat membersihkan hadist Nabi dari pemalsuan hadis.
Setelah melakukan penelitian matan, maka dapat ditentukan matan yang shahih atau tidak. Matan yang dapat disebut shahih jika memenuhi kriteria berikut :
1.Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
2.Tidak bertentangan dengan hadist yang lebih kuat
3.Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah
4.Susunan pernyataanya menunjukkan cirri-ciri sabda kenabian
II. Ketika ditemukan secara lahiriyah adanya kontradiktif antara satu hadist dengan hadist yang lain, para ulama hadist memberikan tiga cara untuk menyelesaikannya, yaitu al-jam’, al-naskh, dan al-tarjih. Berikan masing-masing satu contoh tentang penyelesaian dengan cara al-jam’, al-naskh, dan al-tarjih.
Jawab:
1)Thariqah Al-Jami’, yaitu bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya, maka keduannya dikompromikan dan wajib diamalkan.
2)Thariqah At-Tarjih, yaitu bila hadist yang kontradiktif tersebut tidak memungkinkan untuk dikompromikan, maka:
Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita dahulukan yang nasikh lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang mansukh.
Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.
Contoh hadist yang kontradiktif :
Sabda Rasulullah SAW : “Tiada penyakit menular”, dan sabdanya dalam hadist lain “Larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari dari singa.” Keduannya hadist shahih. Terhadap keduanya lalu diterapkan jalan tengah : bahwa sesungguhnya penyakit tersebut tidak menular dengan sendirinya. Akan tetapi Allah menjadikan pergaulan orang sakit dengan yang sehat sebagai sebab penularanya. Kadang-kadang hal itu tidak berlaku mutlak, seperti sebab lainnya. (penyelesaian tersebut merupakan bentuk hadist kontradiktif yang di ijma’ kemudian ditarjih)
Hadist berikut merupakan di antara hadist yang penyelesainya dengan al-Naskh.
Perintah Rasulullah kepada para sahabat untuk menghapal, menyampaikan dan menyebarkan hadist. Diantara sabda beliau:
“Mudah-Mudahan Allah menyinari seseorang yang mendengar ucapanku, lalu menghapal dan memahaminya, serta disampaikan kepada orang lain sebagaimana yang ia dengar. Karena, boleh jadi orang disampikan kepadanya, lebih paham dari orang yang mendengarnya sendiri” (HR Abu Dawud dan At-Turmidzi)
Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis hadist. Sabda beliau:
“ Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dari padaku, terkecuali al-Qur’an. Dan barang siapa telah menulis dari padaku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR Ahmad)
Setelah melarang, kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis kembali hadist. Seperti sabda beliau:
“Tulislah, maka demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali kebenaran.” (HR. Abu Dawud).
1.Hadist tentang penulisan hadist telah mengalami al-nash yang mana hadist yang membolehkan menjadikan dasar penghapusan terhadap larangan dan menjadikan pembolehan penulisan hadist.. Waallahu A’lam Bishawab
Sumber Referensi:
Al-Qaththan, Manna, (2004) Pengantar Studi Ilmu Hadist (Terj, Mifdhol Abdurrahman) Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.
As-Shalih, Subhi (2002) Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (terj, Tim Pustaka Firdaus) Jakarta: Pustaka Firdaus.
Bustamin dan M.Isa H.A.Salam. (2004). Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Rajawali Press.
Ismail, Syuhudi. (1988). Kaedah Keshahihan Sanad Hadist; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
nambah wawasan aja kok....!
Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Islam
Oleh :
IKA ROMIKA MAWADDATI
PENDAHULUAN
Manusia dilahirkan secara fitroh. Pengertian fitroh dapat diartikan dalam dua pengertian pertama manusia merupakan makhluq yang cenderung dan senang serta membutuhakn kepada kebaikan. Kedua manusia sebagai makhluq yang telah tertanam dalam hatinya kebutuhan terhadap ajaran ketuhanan sebagai penuntun dalam kehidupan (secara sederhana bisa disebut sebagai kebutuhan terhadap agama). Itu sebabnya meskipun ada manusia yang menyakini bahwa dalam menjalani kehidupan tidak memerlukan tuntunan Tuhan, tetap saja dalam hati kecilnya mempercayai adanya Zat yang Maha Kuasa pengatur alam semesta. Hingga akhirnya banyak sekali berbagai jenis agama dan kepercayaan yang dianut manusia di muka bumi, demi mencapai ketenangan dalam menjalani kehidupan.
Ketika kegiatan penelitian terhadap agama mulai digalakkan di sekitar tahun 1970-an, banyak yang mempertanyakan, “agama kok diteliti?”. Bagi mereka, agama sudah pasti benar karena ia kebenaran wahyu dari Allah, sedangkan penelitian dipahami sebagai ketidakpercayaan terhadap kebenaran itu. Pemahaman semacam ini dapat dimengerti karena pengertian tentang agama dan penelitian waktu itu memang masih demikian di masyarakat umum. Barangkali, pengertian semacam itu masih berlangsung hingga saat ini di sebagian masyarakat.1
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia juga tidak luput dari penelitian. Bahkan yang paling banyak melakukan penelitian terhadap Islam bukan hanya orang Muslim namun dari kalangan non muslim (biasanya banyak dilakukan oleh orang-orang Barat) juga banyak yang tertarik melakukan penelitian terhadap Islam. Langkah awal yang mereka lakukan sebelum penelitian adalah penguasaan tentang ilmu-ilmu Islam biasa disebut dengan studi Islam. Dengan berbagai macam tujuan dan makhsud mereka berusaha sungguh-sungguh mempelajari Islam demi keberhasilamn penelitian yang mereka lakukan. Proses mempelajari tersebut, terkenal dengan studi Islam.
Jika diamati lebih jauh, studi Islam di Barat dari waktu ke waktu, telah melahirkan beberapa efek terhadap kaum muslim sendiri, diantaranya adalah sikap kurang senang dan merangsang kaum Muslimin turut serta melakukan penelitian terhadap agama serta kepercayaan yang dianut orang-orang Barat. Meskipun begitu selain kebencian, juga memberi pandangan-pandangan baru berupa pendekatan-pendekatan studi Islam yang tidak kecil, sehingga para Muslim yang belum begitu memahami Islam dapat memahami Islam secara komprehensif. Berhubungan dengan hal tersebut, minimal ada tiga pendekatan studi Islam terpenting yang berkembang sejak abad ke-19 hingga sekarang.
Pertama, studi Islam dengan pendekatan filologis. Pendekatan ini biasa dipergunakan oleh para orientalis generasi awal abad ke-19 dan masih kuat di awal abad ke-20. mereka lebih banyak dari pakar bahasa dan ahli teks-teks klasik. Mereka memahami dunia Islam berdasarkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang tersebar dalam teks-teks Islam Klasik. Kelebihannya, pendekatan ini berhasil membongkar hazanah pemikiran Islam klasik yang berserakan, sedangkan kelemahanya mendapatkan Islam terbatas pada informasi teks sementara sisi-sisi lain yang lebih luas tidak diketahui.
Kedua, pendekatan Islam dengan studi ilmiah. Pendekatan ini berkembang setelah perang dunia kedua yang dipelopori oleh ilmuwan sosial. Mereka melihat Islam sebagai masyarakat yang sistemik sebagaimana masyarakat Barat, sehingga kekhasan dan keunikannya yang bersifat cultural tidak tampak oleh mereka. Ketiga, studi Islam dengan pendekatan fenomenologi-interperitatif. Belajar dari kelemahan pendekatan sebelumnya, maka penganjur pendekatan ini memahami Islam khususnya masyarakatnya sebagai system symbol yang syarat dengan makna-makna sebagaimana yang dikehendaki oleh dirinya sendiri, bukan persepsi orang Barat atas dirinya (Dikutip oleh Moh Nurhakim dari Baidhawy dalam Martin, 2001 : xi-xvi)2
Untuk menfokuskan permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah ini, maka penulis hanya ingin mengkaji masalah studi Islam dengan pendekatan Fenomenologi. Dimulai dari pembahasan makna serta sejarah seputar fenomenologi, bagaimana tahapan penggunaan metode fenomenologi dan seputar pendekatan fenomenologi dalam studi Islam. Makalah ini diharapkan memberikan wawasan sederhana bagi para pengkaji studi Islam dan kalangan yang berkecimpung di dalamnya, sehingga memberi warna baru dalam pengkajian studi Islam dengan metode yang bervariasi, yaitu pendekatan fenomenologi.
PEMBAHASAN
Ketika seseorang mengkaji agama, pertama-tama hal yang harus diketahui ialah bagaimana atau dimana agama itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab selain agama bersifat manusiawi dan historis, dirinya juga mempunyai klaim bahwa ia mempunyai sisi yang bersifat transendental. Yang pertama agama dipandang sebagai gejala budaya dan sosial sementara yang kedua sebagai hal yang bersifat normatif-doktrinal. Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari Agama.
Setelah objek kajian jelas, maka hal yang perlu diketahui kemudian ialah bagaimana cara (pengkaji) mendekati objek (agama Islam) tersebut. Pada sisi pemilihan dan pemakaian pendekatan ini nantinya akan mempengaruhi atau bahkan menentukan corak hasil kajian. Ia bersikap objektif atau tidak. Ia memasukkan motif tertentu atau tidak dan seterusnya.
Pendekatan fenomenologi merupakan cirri dari pengkaji agama yang memandang agama sebagai gejala sosial yang memiliki nilai budaya dan histories. Dengan pendekatan ini mereka melakukan studi dengan mencari data atau rumus melalui kegiatan alami (apa adanya) dari objek yang dikaji dengan mengenyampingkan rumus ilmiah atau sisi pandangan dari pikiran yang mereka miliki.
1. Makna dan Sejarah Fenomenologi
Secara etimologi istilah fenomenologi berasal dari dua kata bahasa Yunani : Phenomenon (jamak: phenomena), yang berarti penampilan, yakni penampilan sesuatu yang menampilkan diri. Secara umum diartikan sebagai ‘penampilan sesuatu’ yang kontras dengan ‘sesuatu itu sendiri’. dan logos yang berarti ilmu pengetahuan.
Istilah ‘fenomenologi’ telah terbentuk pada pertengahan abad ke-19, dan kemudian digunakan dalam sejarah filsafat dengan arti yang berbeda-beda. Menurut Edmund Husserl3 yang menggunakan istilah fenomenologi pada permulaan abad ke-20, mengartikan fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan tentang fenomena, tentang objek-objek sebagaimana objek-objek itu dialami atau menghadirkan diri dalam kesadaran kita.
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Husserl (1859-1938), yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya.
Fenomenologi bukanlah suatu aliran atau doktrin dalam arti sekumpulan ajaran tertentu. Lebih tepat apabila menyebut fenomenologi ini sebagai suatu metode pemikiran, a way of looking at things, pemakaian suatu kaca mata yang berbeda dengan cara berpikir seorang ahli salah satu ilmu. Seorang fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenologi bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. 4
Pernyataan tersebut dapat dijelaskan dengan contoh berikut. Jika ahli ilmu bisa menyakinkan lawannya dengan memakai bukti seperti hasil eksperimen atau hasil hitungan. Sedangkan bagi fenomenolog hal tersebut tidak mungkin bisa dilakukan, menyakinkan seorang buta bahwa ada banyak warna di dunia tidak akan berhasil karena dia tidak melihat. Maka usaha bagi seorang fenomenolog untuk menyakinkan orang buta bahwa di dunia banyak warna adalah dengan bahasa.
Dengan segera fenomenologi memperoleh pamor yang sangat luas. Hal ini karena fenomenologi tidak mangajukan suatu system pemikiran eksklusif, sebagaimana aliran-aliran filsafat yang pernah berkembang sebelumnya, yang menjadi isme-isme besar, melainkan cara atau metode saja dalam mendekati persoalan. Dengan demikian, fenomenologi bisa digunakan untuk atau dianut oleh berbagai bidang ilmu seperti antropologi, sosiologi, psikologi dan studi-studi agama. Semuanya ini mempunyai kesamaan umum dalam hal empati pada objek penyelidikan dan mencoba menangkap hakikat objeknya, sebagaimana ia menampakkan diri dalam kesadaran.5
Bagi Bleeker, fenomenologi agama adalah studi pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa-doa, inisiasi, upacara penguburan dan sebagainya. Yang dicoba di sini adalah hakikat yang sama dari gejala-gejala yang berbeda.6
2. Metode Fenomenologi
Metode fenomenologis terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau disukai.
Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran. Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang sistemis, melalui berbagai langkah atau tekhnik. Menurut penafsiran dan terminology Spiegelberg, deskripsi fenomenologis bias dibedakan ke dalam tiga fase: mengintuisi, menganalisis, dan menjabarkan secara fenomenologis.
1.Mengintuisi arttinya mengonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena.
2.Menganalisis adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena dan pertaliannya.
3.Menjabarkan adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bias dipahami oleh orang lain.
Langkah yang lainnya dari metode fenomenologis adalah Wessenschau, yang bisa diterjemahkan menjadi ‘pemahaman terhadap esensi-esensi’ (insight of essences), ‘pengalaman atau kognisi tentang esensi-esensi’
Syarat utama bagi keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian.7
Pengikut fenomenologi agama menggunakan perbandingan sebagai sarana interpretasi yang utama untuk memahami arti dari ekspresi-ekspresi religius, seperti korban, ritus, dewa-dewa dan lain sebagainya. Mereka mencoba menyelidiki karakteristik yang dominant dari agama dalam konteks histories cultural. Kalau diperbandingkan, tindakan-tindakan religius yang secara structural mirip memberi arti-arti sangat berharga, yang menjelaskan makna internal dari tindakan-tindakan itu. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah ; bentuk luar dari ungkapan manusia mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan dalam yang teratur, yang dapat dilukiskan kerangkanya dengan menggunakan metode fenomenologi.
Metode ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta sejarah dan memahami maknanya yang lebih dalam, sebagaimana yang dimanifestasikan lewat struktur tersebut dengan hukum-hukum dan pengertian-pengrtiannya yang khas. Hal itu bermaksud memberikan suatu pandang menyeluruh dari ide-ide dan motif-motif yang kepentinganya sangat menentukan dalam sejarah fenomena religius. Pendek kata, metode ini mencoba menangkap dan menginterpretasikan setiap jenis perjumpaan manusia dengan yang suci. 8
Metode fenomenologi tidak hanya menghasilkan suatu deskripsi mengenai fenomena yang dipelajari, sebagaimana sering diperkirakan, tidak juga bermaksud menerangkan hakikat filosofis dari fenomena itu; sebab fenomenologi agama bukanlah deskriptif atau normative belaka, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Namun, metode ini memberikan kepada kita arti yang lebih dalam dari suatu fenomena religius, sebagaimana dihayati dan dialami oleh manusia-manusia religius. 9
3. Pendekatan Fenomenologi
Selain pendekatan normatif, studi Islam dapat juga dilaksanakan dengan pendekatan histories. Pendekatan ini memandang objek studi dari paradigma Islam sebagai realita (apa yang sebenarnya terjadi), seperti kondisi sosial umat Islam, kenyataan sejarah, perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam, kondisi ekonomi dan politik serta hal lainnya. Dalam arti pendekatan ini berusaha menjelaskan Islam dengan meminjam teori-teori atau ilmu yang kajiannya berdasarkan realita seperti sosiologi, antropologi dan diantaranya fenomenologi.
Pendekatan fenomenologi berusaha memahami makna atau hakikat yang sebenarnya dari suatu gejala objek yang dikaji melalui jiwa atau kesadaran objek itu sendiri. Dalam arti, bahwa pendekatan fenomenologi membiarkan gejala yang diteliti berbicara sendiri secara tulus dan apa adanya, tidak boleh ada upaya-upaya luar dari sang peneliti membuat prakonsepsi yang macam-macam, apalagi berlebih-lebihan. Berbeda dengan pendekatan ilmiah-positivistik, pendekatan fenomenologi dapat memahami adanya keterkaitan objek dengan nilai-nilai tertentu, misalnya keadilan, kemanusian dan lainnya.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan beberapa hal :
Deskripsi tentang berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata upacara, simbolik atau mistik, di samping deskripsi tentang ajaran-ajaran agama.
Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubunganya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa deskripsi ontologism, deskripsi psikologis dan deskripsidialektik (Dikutip oleh Moh Nurhakim dari Mastuhu, 1998: 148)10
KESIMPULAN
Dalam kajian studi Islam, secara umum dapat dilihat dari dua pendekatan; normatif dan histories. Pendekatan secara histories melihat Islam sebagai realita kehidupan yang memiliki sifat sejarah dan kebudayaan. Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan studi Islam dari aspek histories. Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang berarti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Arah pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang ritual dan upacara keagamaan, doktrin, dan reaksi sosial terhadap pelaku keagamaan. Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya.
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental (esensi) tentang fenomena keberagamaan manusia. Usaha pendekatan ini agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalnya agar tidak melampaui kewenangannya dalam studi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Brouwer, Psikologi Fenomenologis, (1984), Jakarta: Gramedia.
Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama,Terj, (1995), Yogyakarta: Kanisius.
Misiak, Henryk dan Virginia Staudt Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik, terj. Koeswara (2005), Bandung: Refika Aditama.
Nurhakim, Moh, Metodologi Studi Islam, (2004), Malang: UMM Press.
Oleh :
IKA ROMIKA MAWADDATI
PENDAHULUAN
Manusia dilahirkan secara fitroh. Pengertian fitroh dapat diartikan dalam dua pengertian pertama manusia merupakan makhluq yang cenderung dan senang serta membutuhakn kepada kebaikan. Kedua manusia sebagai makhluq yang telah tertanam dalam hatinya kebutuhan terhadap ajaran ketuhanan sebagai penuntun dalam kehidupan (secara sederhana bisa disebut sebagai kebutuhan terhadap agama). Itu sebabnya meskipun ada manusia yang menyakini bahwa dalam menjalani kehidupan tidak memerlukan tuntunan Tuhan, tetap saja dalam hati kecilnya mempercayai adanya Zat yang Maha Kuasa pengatur alam semesta. Hingga akhirnya banyak sekali berbagai jenis agama dan kepercayaan yang dianut manusia di muka bumi, demi mencapai ketenangan dalam menjalani kehidupan.
Ketika kegiatan penelitian terhadap agama mulai digalakkan di sekitar tahun 1970-an, banyak yang mempertanyakan, “agama kok diteliti?”. Bagi mereka, agama sudah pasti benar karena ia kebenaran wahyu dari Allah, sedangkan penelitian dipahami sebagai ketidakpercayaan terhadap kebenaran itu. Pemahaman semacam ini dapat dimengerti karena pengertian tentang agama dan penelitian waktu itu memang masih demikian di masyarakat umum. Barangkali, pengertian semacam itu masih berlangsung hingga saat ini di sebagian masyarakat.1
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia juga tidak luput dari penelitian. Bahkan yang paling banyak melakukan penelitian terhadap Islam bukan hanya orang Muslim namun dari kalangan non muslim (biasanya banyak dilakukan oleh orang-orang Barat) juga banyak yang tertarik melakukan penelitian terhadap Islam. Langkah awal yang mereka lakukan sebelum penelitian adalah penguasaan tentang ilmu-ilmu Islam biasa disebut dengan studi Islam. Dengan berbagai macam tujuan dan makhsud mereka berusaha sungguh-sungguh mempelajari Islam demi keberhasilamn penelitian yang mereka lakukan. Proses mempelajari tersebut, terkenal dengan studi Islam.
Jika diamati lebih jauh, studi Islam di Barat dari waktu ke waktu, telah melahirkan beberapa efek terhadap kaum muslim sendiri, diantaranya adalah sikap kurang senang dan merangsang kaum Muslimin turut serta melakukan penelitian terhadap agama serta kepercayaan yang dianut orang-orang Barat. Meskipun begitu selain kebencian, juga memberi pandangan-pandangan baru berupa pendekatan-pendekatan studi Islam yang tidak kecil, sehingga para Muslim yang belum begitu memahami Islam dapat memahami Islam secara komprehensif. Berhubungan dengan hal tersebut, minimal ada tiga pendekatan studi Islam terpenting yang berkembang sejak abad ke-19 hingga sekarang.
Pertama, studi Islam dengan pendekatan filologis. Pendekatan ini biasa dipergunakan oleh para orientalis generasi awal abad ke-19 dan masih kuat di awal abad ke-20. mereka lebih banyak dari pakar bahasa dan ahli teks-teks klasik. Mereka memahami dunia Islam berdasarkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang tersebar dalam teks-teks Islam Klasik. Kelebihannya, pendekatan ini berhasil membongkar hazanah pemikiran Islam klasik yang berserakan, sedangkan kelemahanya mendapatkan Islam terbatas pada informasi teks sementara sisi-sisi lain yang lebih luas tidak diketahui.
Kedua, pendekatan Islam dengan studi ilmiah. Pendekatan ini berkembang setelah perang dunia kedua yang dipelopori oleh ilmuwan sosial. Mereka melihat Islam sebagai masyarakat yang sistemik sebagaimana masyarakat Barat, sehingga kekhasan dan keunikannya yang bersifat cultural tidak tampak oleh mereka. Ketiga, studi Islam dengan pendekatan fenomenologi-interperitatif. Belajar dari kelemahan pendekatan sebelumnya, maka penganjur pendekatan ini memahami Islam khususnya masyarakatnya sebagai system symbol yang syarat dengan makna-makna sebagaimana yang dikehendaki oleh dirinya sendiri, bukan persepsi orang Barat atas dirinya (Dikutip oleh Moh Nurhakim dari Baidhawy dalam Martin, 2001 : xi-xvi)2
Untuk menfokuskan permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah ini, maka penulis hanya ingin mengkaji masalah studi Islam dengan pendekatan Fenomenologi. Dimulai dari pembahasan makna serta sejarah seputar fenomenologi, bagaimana tahapan penggunaan metode fenomenologi dan seputar pendekatan fenomenologi dalam studi Islam. Makalah ini diharapkan memberikan wawasan sederhana bagi para pengkaji studi Islam dan kalangan yang berkecimpung di dalamnya, sehingga memberi warna baru dalam pengkajian studi Islam dengan metode yang bervariasi, yaitu pendekatan fenomenologi.
PEMBAHASAN
Ketika seseorang mengkaji agama, pertama-tama hal yang harus diketahui ialah bagaimana atau dimana agama itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab selain agama bersifat manusiawi dan historis, dirinya juga mempunyai klaim bahwa ia mempunyai sisi yang bersifat transendental. Yang pertama agama dipandang sebagai gejala budaya dan sosial sementara yang kedua sebagai hal yang bersifat normatif-doktrinal. Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari Agama.
Setelah objek kajian jelas, maka hal yang perlu diketahui kemudian ialah bagaimana cara (pengkaji) mendekati objek (agama Islam) tersebut. Pada sisi pemilihan dan pemakaian pendekatan ini nantinya akan mempengaruhi atau bahkan menentukan corak hasil kajian. Ia bersikap objektif atau tidak. Ia memasukkan motif tertentu atau tidak dan seterusnya.
Pendekatan fenomenologi merupakan cirri dari pengkaji agama yang memandang agama sebagai gejala sosial yang memiliki nilai budaya dan histories. Dengan pendekatan ini mereka melakukan studi dengan mencari data atau rumus melalui kegiatan alami (apa adanya) dari objek yang dikaji dengan mengenyampingkan rumus ilmiah atau sisi pandangan dari pikiran yang mereka miliki.
1. Makna dan Sejarah Fenomenologi
Secara etimologi istilah fenomenologi berasal dari dua kata bahasa Yunani : Phenomenon (jamak: phenomena), yang berarti penampilan, yakni penampilan sesuatu yang menampilkan diri. Secara umum diartikan sebagai ‘penampilan sesuatu’ yang kontras dengan ‘sesuatu itu sendiri’. dan logos yang berarti ilmu pengetahuan.
Istilah ‘fenomenologi’ telah terbentuk pada pertengahan abad ke-19, dan kemudian digunakan dalam sejarah filsafat dengan arti yang berbeda-beda. Menurut Edmund Husserl3 yang menggunakan istilah fenomenologi pada permulaan abad ke-20, mengartikan fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan tentang fenomena, tentang objek-objek sebagaimana objek-objek itu dialami atau menghadirkan diri dalam kesadaran kita.
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Husserl (1859-1938), yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya.
Fenomenologi bukanlah suatu aliran atau doktrin dalam arti sekumpulan ajaran tertentu. Lebih tepat apabila menyebut fenomenologi ini sebagai suatu metode pemikiran, a way of looking at things, pemakaian suatu kaca mata yang berbeda dengan cara berpikir seorang ahli salah satu ilmu. Seorang fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenologi bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. 4
Pernyataan tersebut dapat dijelaskan dengan contoh berikut. Jika ahli ilmu bisa menyakinkan lawannya dengan memakai bukti seperti hasil eksperimen atau hasil hitungan. Sedangkan bagi fenomenolog hal tersebut tidak mungkin bisa dilakukan, menyakinkan seorang buta bahwa ada banyak warna di dunia tidak akan berhasil karena dia tidak melihat. Maka usaha bagi seorang fenomenolog untuk menyakinkan orang buta bahwa di dunia banyak warna adalah dengan bahasa.
Dengan segera fenomenologi memperoleh pamor yang sangat luas. Hal ini karena fenomenologi tidak mangajukan suatu system pemikiran eksklusif, sebagaimana aliran-aliran filsafat yang pernah berkembang sebelumnya, yang menjadi isme-isme besar, melainkan cara atau metode saja dalam mendekati persoalan. Dengan demikian, fenomenologi bisa digunakan untuk atau dianut oleh berbagai bidang ilmu seperti antropologi, sosiologi, psikologi dan studi-studi agama. Semuanya ini mempunyai kesamaan umum dalam hal empati pada objek penyelidikan dan mencoba menangkap hakikat objeknya, sebagaimana ia menampakkan diri dalam kesadaran.5
Bagi Bleeker, fenomenologi agama adalah studi pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa-doa, inisiasi, upacara penguburan dan sebagainya. Yang dicoba di sini adalah hakikat yang sama dari gejala-gejala yang berbeda.6
2. Metode Fenomenologi
Metode fenomenologis terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau disukai.
Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran. Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang sistemis, melalui berbagai langkah atau tekhnik. Menurut penafsiran dan terminology Spiegelberg, deskripsi fenomenologis bias dibedakan ke dalam tiga fase: mengintuisi, menganalisis, dan menjabarkan secara fenomenologis.
1.Mengintuisi arttinya mengonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena.
2.Menganalisis adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena dan pertaliannya.
3.Menjabarkan adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bias dipahami oleh orang lain.
Langkah yang lainnya dari metode fenomenologis adalah Wessenschau, yang bisa diterjemahkan menjadi ‘pemahaman terhadap esensi-esensi’ (insight of essences), ‘pengalaman atau kognisi tentang esensi-esensi’
Syarat utama bagi keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian.7
Pengikut fenomenologi agama menggunakan perbandingan sebagai sarana interpretasi yang utama untuk memahami arti dari ekspresi-ekspresi religius, seperti korban, ritus, dewa-dewa dan lain sebagainya. Mereka mencoba menyelidiki karakteristik yang dominant dari agama dalam konteks histories cultural. Kalau diperbandingkan, tindakan-tindakan religius yang secara structural mirip memberi arti-arti sangat berharga, yang menjelaskan makna internal dari tindakan-tindakan itu. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah ; bentuk luar dari ungkapan manusia mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan dalam yang teratur, yang dapat dilukiskan kerangkanya dengan menggunakan metode fenomenologi.
Metode ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta sejarah dan memahami maknanya yang lebih dalam, sebagaimana yang dimanifestasikan lewat struktur tersebut dengan hukum-hukum dan pengertian-pengrtiannya yang khas. Hal itu bermaksud memberikan suatu pandang menyeluruh dari ide-ide dan motif-motif yang kepentinganya sangat menentukan dalam sejarah fenomena religius. Pendek kata, metode ini mencoba menangkap dan menginterpretasikan setiap jenis perjumpaan manusia dengan yang suci. 8
Metode fenomenologi tidak hanya menghasilkan suatu deskripsi mengenai fenomena yang dipelajari, sebagaimana sering diperkirakan, tidak juga bermaksud menerangkan hakikat filosofis dari fenomena itu; sebab fenomenologi agama bukanlah deskriptif atau normative belaka, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Namun, metode ini memberikan kepada kita arti yang lebih dalam dari suatu fenomena religius, sebagaimana dihayati dan dialami oleh manusia-manusia religius. 9
3. Pendekatan Fenomenologi
Selain pendekatan normatif, studi Islam dapat juga dilaksanakan dengan pendekatan histories. Pendekatan ini memandang objek studi dari paradigma Islam sebagai realita (apa yang sebenarnya terjadi), seperti kondisi sosial umat Islam, kenyataan sejarah, perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam, kondisi ekonomi dan politik serta hal lainnya. Dalam arti pendekatan ini berusaha menjelaskan Islam dengan meminjam teori-teori atau ilmu yang kajiannya berdasarkan realita seperti sosiologi, antropologi dan diantaranya fenomenologi.
Pendekatan fenomenologi berusaha memahami makna atau hakikat yang sebenarnya dari suatu gejala objek yang dikaji melalui jiwa atau kesadaran objek itu sendiri. Dalam arti, bahwa pendekatan fenomenologi membiarkan gejala yang diteliti berbicara sendiri secara tulus dan apa adanya, tidak boleh ada upaya-upaya luar dari sang peneliti membuat prakonsepsi yang macam-macam, apalagi berlebih-lebihan. Berbeda dengan pendekatan ilmiah-positivistik, pendekatan fenomenologi dapat memahami adanya keterkaitan objek dengan nilai-nilai tertentu, misalnya keadilan, kemanusian dan lainnya.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan beberapa hal :
Deskripsi tentang berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata upacara, simbolik atau mistik, di samping deskripsi tentang ajaran-ajaran agama.
Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubunganya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa deskripsi ontologism, deskripsi psikologis dan deskripsidialektik (Dikutip oleh Moh Nurhakim dari Mastuhu, 1998: 148)10
KESIMPULAN
Dalam kajian studi Islam, secara umum dapat dilihat dari dua pendekatan; normatif dan histories. Pendekatan secara histories melihat Islam sebagai realita kehidupan yang memiliki sifat sejarah dan kebudayaan. Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan studi Islam dari aspek histories. Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang berarti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Arah pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara jelas tentang ritual dan upacara keagamaan, doktrin, dan reaksi sosial terhadap pelaku keagamaan. Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya.
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental (esensi) tentang fenomena keberagamaan manusia. Usaha pendekatan ini agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalnya agar tidak melampaui kewenangannya dalam studi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Brouwer, Psikologi Fenomenologis, (1984), Jakarta: Gramedia.
Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama,Terj, (1995), Yogyakarta: Kanisius.
Misiak, Henryk dan Virginia Staudt Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistik, terj. Koeswara (2005), Bandung: Refika Aditama.
Nurhakim, Moh, Metodologi Studi Islam, (2004), Malang: UMM Press.
Sabtu, 15 Januari 2011
jangan takut...dan bersabarlah..
beberapa waktu lalu ada seorang teman curhat...
sederhana aja sih...tapi ya menurutku ni sangat penting.
intinya dia ingin segera menikah
dengan lugu dia bilang "ika..menikah itu..menghalalkan sesuatu yang haram..? begitu dia mulai pembicaraan.
dengan cuek aku jawab: "maksudmu apa..?
"iya nikah itu menghalalkan yang haram..liat aja yang awalnya gak boleh..atau dosa jika dilakukan dengan nikah jadi boleh ..ciuman, gandengan, mesra-mesraan ama lawan jenis itu jadi ibadah kalau udah nikah.." jawabnya sederhana..
terusss.." jawabku. "ya..terus aku pingin segera nikah...hehe hehe
oalah.... dengan antusias dia lanjutkan..:"Tapi ik..yang bikin aneh sekarang itu orang lebih senang kalau diajak pacaran dari pada langsung nikah..padahal pacaran kan belum halal malah nambah dosa kali ya...
wajar juga si ik soalnya dengan nikah yang haram jadi halal, makannya setan berusaha ngrayu orang supaya pacaran dulu aja sblm nikah kan belum kenal mosok langsung nikah..
ya biar setan banyak punya teman kali.." terangnya..
Waduhh dari situ aku terasa tersindir tersindir banget...ika yang selama ini berusaha jauhin pacaran.lama-lama juga kesempret..Ya Allah kalau aku sih bukannya ingin jadi temen setan.tapi kok ya susah ya..waduh gawat-gawat-gawat....jadinya aku juga pingin nikah aja gak usah pakek pacaran he he he he
sederhana aja sih...tapi ya menurutku ni sangat penting.
intinya dia ingin segera menikah
dengan lugu dia bilang "ika..menikah itu..menghalalkan sesuatu yang haram..? begitu dia mulai pembicaraan.
dengan cuek aku jawab: "maksudmu apa..?
"iya nikah itu menghalalkan yang haram..liat aja yang awalnya gak boleh..atau dosa jika dilakukan dengan nikah jadi boleh ..ciuman, gandengan, mesra-mesraan ama lawan jenis itu jadi ibadah kalau udah nikah.." jawabnya sederhana..
terusss.." jawabku. "ya..terus aku pingin segera nikah...hehe hehe
oalah.... dengan antusias dia lanjutkan..:"Tapi ik..yang bikin aneh sekarang itu orang lebih senang kalau diajak pacaran dari pada langsung nikah..padahal pacaran kan belum halal malah nambah dosa kali ya...
wajar juga si ik soalnya dengan nikah yang haram jadi halal, makannya setan berusaha ngrayu orang supaya pacaran dulu aja sblm nikah kan belum kenal mosok langsung nikah..
ya biar setan banyak punya teman kali.." terangnya..
Waduhh dari situ aku terasa tersindir tersindir banget...ika yang selama ini berusaha jauhin pacaran.lama-lama juga kesempret..Ya Allah kalau aku sih bukannya ingin jadi temen setan.tapi kok ya susah ya..waduh gawat-gawat-gawat....jadinya aku juga pingin nikah aja gak usah pakek pacaran he he he he
Langganan:
Komentar (Atom)