Selasa, 13 September 2011

BANYAK BACA BANYAK TAHU


Pengembangan PAI Berbasis Multikultural
(Ika Romika Mawaddati )
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan usaha sadar dalam mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam dunia pendidikan, baik dari segi materi maupun proses pembelajaranya. Dalam usaha tersebut, membutuhkan keseriusan mendalam, demi mencapai apa yang diharapkan. Diantara keseriusannya adalah senantiasa melakukan pengembangan PAI. Secara sederhana pengembangan adalah usaha atau kegiatan menghasilkan sesuatu yang baru dalam PAI, atau kegiatan mendesain untuk mengahasilkan sesuatu yang lebih baik.
 Ada beberapa aspek yang bisa dikembangankan dalam PAI; pengembangan metodenya, materinya, kurikulumnya, sarana dan prasarananya, atau pelakunya (Tenaga pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik dan seluruh steakholder yang berkecimpung dalam dunia pendidikan) Pengembangan yang diharapkan menuju pengembangan lebih baik, tidak akan terwujud tanpa ada kesadaran dari semua pihak untuk saling mendukung dan bekerja sama.   Itu sebabnya, kerja sama dan kesungguhan merupakan salah satu diantara kunci keberhasilan pengembangan PAI.
            Untuk pembatasan serta menfokuskan tema, maka dalam makalah ini, penulis hanya menyoroti, bagaimana proses pembelajaran PAI dapat dikembangkan berbasis multikultural. Sebagai landasan dari penulisan makalah ini adalah perkembangan manusia dengan pendidikan. Dengan pendidikan manusia akan mengalami proses perubahan dari segi pemikiran yang akhirnya mewarnai tingkah lakunya dalam kehidupan. Banyakanya perbedaan tersebut harus diapresiasi dengan bijaksana dan waspada. Sebab, banyaknya perbedaan tersebut, rentan sekali mengalami gesekan yang dapat memanas jika tidak ada  kesadaran untuk saling menghormati perbedaan. Jika suhu telah memanas, maka akan mudah sekali terbakar, walau hanya dengan sedikit sumber api.
 Dalam hal ini, pendekatan multikultural dalam pendidikan sangat diperlukan untuk mengapresiasi perbedaan dengan bijaksana. Karena perbedaan adalah rahmat jika dapat dikelola dengan kesadaran positif. Makalah ini diharapkan dapat memberikan pencerahan pemikiran kepada setiap peserta didik bagaimana mengapresiasi perbedaan setiap individu dengan bijaksana. Sehingga tercipta kehidupan sejahtera
PEMBAHASAN
Perbedaan adalah rahmat, dengan perbedaan itu wawasan menjadi kaya pengetahuan menjadi luas. Jika perbedaan dianggap bomerang yang bermasalah dan berusaha menghilangkan perbedaan, hal itu adalah pemikiran negatif dan usaha yang sia-sia serta mustahil.  Usaha menjadikan perbedaan rahmat adalah proyek mulia yang harus dikerjakan oleh semua elemen masyarakat. Pendekatan multicultural dalam pendidikan Islam, merupakan salah satu formula terbaru dalam dunia pendidikan Islam, sebagai upaya menjadikan perbedaan itu rahmat di dunia. 
  1. Multikultural dalam pendidikan
Secara etimologi, multicultural berasal dari kata kultur yang berarti budaya atau kebudayaan. Sedangkankultural berarti berdasarkan budaya/kebudayaan; mengenai kebudayaan. Dengan begitu multikultural adalah keragaman kebudayaan, aneka kesopanan, atau banyak pemeliharaan budaya sebagai ejawantah dari keragaman latar belakang seseorang.  
Secara terminologis, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Menurut M. Ainul Yakin, pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis pendidikan pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan cultural yang ada pada para siswa agar proses belajar menjadi efektif, sekaligus membangun karakter siswa yang demokratis, humanis dan pluralis. [1]
Dalam dunia pendidikan pasti ditemui keanekaragaman   peserta didik, baik dari segi intelektual, kebudayaan, kultur keluarga, tingkat ekonomi dan lainnya. keperbedaan tersebut tentunya akan mempengaruhi bagaimana cara mereka menjalani proses pendidikan. Itu sebabnya pendidikan multicultural sangat diperlukan untuk mencapai pendidikan yang dapat dinikmati oleh seluruh ragam etnis dan jenis. 
     Ainurrrofiq Dawam, menjelaskan konsep pendidikan multicultural;
            Pertama, pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan. Pengembangan atau proses developing adalah sebuah proses yang berusaha meningkatakan  sesuatu sejak awal atau sebelumnya sesudah ada. Pengembangan disini lebih dimaknai sebagai, sebab tidak dibatasi dengan ruang dan waktu, subjek, objek dan relasinya. Dengan demikian pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia.
            Kedua, pendidikan multikultural adalah mengembangkan seluruh ptensi manusia. Pendidikan pada dasarnya merupakan proses pengembangan seluruh potensi manusia. Potensi-potensi yang ada sebelumnya atau sejak awal sudah ada dalam diri manusia. Potensi-potensi yang sudah ada diharapkan dapat dikembangkan secara maksimal dan seimbang.
            Ketiga, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis suku, akan tetapi juga dipahami kergaman tentang pemikiran, kergaman paradigma. Pemaksaan hasil pemikiran dengan paradigma tertentu tentang sistem ekonomi yang berjuang pada aspirasi politik kepada orang atau kelompok lain adalah proses dominasi dan hegeminisasi. Dominasi dan hegemonisasi pada dasarnya merupakan penyimpangan secara radikal terhadp multikultural. Karena dengan dominasi dan hegemonisasi mengakibatkan tereduksinya pluralitas dan heterogenitas dan diganti dengan komunitas dan homogenitas.
            Keempat, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Penghormatan dan penghargaan, bahkan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama) adalah sikap uregen untuk disosialisasikan. Sebab mustahil dalam satu negara terdapat satau budaya. Dengan melihat sikap keragaman diatas, maka sikap menghormati dan menghargai bahkan menjunjung tinggi harkat martabat sesearang sangat penting. [2]        Selanjutnya konsep pendidikan multikultural adalah suatu pendidikan demokratis yang luas artinya bukan saja mengakui akan pentingnya mengembangkan rasa kebangsaan didalam nation state tetapi juga menekankan kepada keanggotaan negara bangsa Indonesia dalam pergaulan dunia yang terbuka.
Pendidikan mutkultural merupakan rekonstruksi sosial. Suatu rekontruksi sosial artinya upaya melihat kembali kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang berkembangnya kedaerahan, identitas kesukuan, the right to culture dari perorangan maupun bangsa Indonesia, telah menimblkan rasa kelompok yang berlebihan dan tidak jarang menyebabkan pergeseran-pergeseran horisontal yang tidak dikenal sebelumnya. Rasa kesukuan yang berlebihan menimbulkan ketidak harmonisan didalam kehidupan bangsa yang pluralistis. Konflik horisontal yang muncul dibeberapa derah bukan saja merupakan berlatar belakang ekonomi, juga sosial-budaya, agama dan adat istiadat. Memang pergeseran-pergeseran tersebut suatu yang lumrah karena tidak dikenal sebelumnya.
Oleh sebab pendidikan multikultural tidak akan dikenal oleh adanya fanatisme atau fundamentalisme sosial-budaya termasuk agama, karena masing-masing komunitas mengenal dan mengahargai perbedaan-perbedaan yang ada. Demikian pula dalam pendidikan multikultural dalam masa trasnsisi dewasa ini mempunyai tugas yang tidak ringan. Pertama-tama pendidikan mutikultural bertugas untuk memperdalam identitas kesukuan yang kemudian secara terbuka mengenal dan mengerti akan nilai-nilai sosial budaya  dan agama dari suku-suku yang lain.
Pada tahap berikutnya adalah penghargaan yang sama terhadap system nilai dari masing-masing suku, mengetahui dan menghargai kelebihanya, dan membatasi dari kemungkinan clash dari sistem nilai yang berbeda. akhirnya pendidkan multicultural sebagai rekontruksi social mempunyai tugas dalam mewujudakan kebudayaan Indonesia yang sedang menjadi atau konsep keindonesiaan yang bersatu diatas pluralitas suku-suku  yang beragam.
b.      Pengembangan PAI Berbasis Multikultural
PAI, dalam hal ini adalah materi-materi PAI. Merupakan materi yang memiliki karakteristik tersendiri, yaitu  normatif dan historis. Secara normatif materi PAI adalah Al-Qur’an (kalam Allah) dan Hadist Rasulullah yang berbentuk teks yang kita yakin akan kebenaranya. Ketika kita berbicara dengan teks, maka terkadang akan mengalami perbedaan makna dari setiap pembaca yang tentunya karena beberapa faktor. 
Keragaman pemahaman dan penafsiran tersebut pada gilirannya memunculkan pola-pola artikulasi keberagaman, yang menurut Azra, 1999 (Dalam Muhaimin) dikelompokkan ke dalam tiga tipologi, yaitu: (1) Subtansialisme yang lebih memntingkan subtansi/isi daripada label atau simbol-simbol eksplisit.(2) Formalisme/legalisme yang cenderung sangat literal dan keagamaan.(3) Spiritualisme yang lebih menekankan kepada pengembangan sikap batiniyah, melalui keikutsertaan dalam kelompok spiritual-mistik, tasawuf/tarekat, bahkan kelompom kultus.[3]
Proses dan produk penafsiran yang bermacam-macam tersebut direalisasikan oleh umat Islam dalam perjalanan sejarahnya (Islam historis), sehingga menurut pandangan Islam pada zamannya hasil penafsiran ytersebut dipandang relevan, sementara bagi generasi berikutnya bisa dianggap kurang relevan atau perlu penyempurnaan. Uraian tersebut menggaris bawahibahwa pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam berpotensi mengarah pada intoleran atau toleran terhadap pandangan-pandangan lain yang dirasa berbeda dengan keyakinannya.
Jika pandangan teologi agama dan ajaran yang dipegangi bersifat ekstrim, dibarengi dengan model pemahaman dan penghayatan agama yang simbolik, tekstual dan scriptural karena penjelasan-penjelasan dari guru agama yang bersifat doktriner dan mengembangkan sifat fanatisme buta serta di dukung oleh lingkungan sosio-kultural yang eksklusif , maka bisa jadi melahirkan sikap intoleren. Dan agama dapat berperan sebagai factor disintegratif yang pada gilirannya ide multicultural berubah menjadi mono-kultural. Allah swt telah menjelaskan dalam QS Al-Maidah : 48.
 Z 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ     
“…..Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”

Dengan begitu pembelajaran PAI berbasis multikultural diharapkan agar tidak sampai : (1) menumbuhkan semangat fanatisme buta; (2) menumbuhkan sikap intoleran di kalangan peserta didik dan masyarakat; (3) memperlemah kerukunan hidup beragama serta persatuan dan kesatuan umat. Sebaliknya adanya pendidikan PAI berbasis multikultural diharapkan mampu menciptakan ukhuwah Islamiyah dalam suasana multikultural, yaitu persaudaraan yang bersifat Islami, bukan sekedar persaudaraan antar umat Islam, tetapi juga mampu membangun persaudaraan antar sesama, serta mempu membentuk kesalehan pribadi sekaligus kesalehan sosial.[4]
Diantara model pengembangan pembelajaran PAI berbasis multikultural adalah :
Ø      Model pembelajaran Forum Group Discusion
Diskusi pada dasarnya adalah saling menukar informasi, pendapat dan unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama. Oleh karena itu, diskusi bukanlah debat, karena debat adalah perang mulut, beradu argumentasi, beradu paham, dan kemampuan persuasi untuk memenangkan pahamnya sendiri.[5]
Ø      Model pembelajaran Making Group Competision
Pembelajaran model ini adalah pendidik membentuk beberapa group atau kelompok dari seluruh peserta didik. Setiap anggota kelompok harus terdiri dari anak yang pandai, sedang dan tingkat bawah. Perkelompok diberi tugas untuk diselesaikan bersama. Kelompok yang menjadi juara adalah yang mendapatkan nilai tertinggi. Nilai diambil dari mayoritas nilai setiap anggota kelompok, jika ada satu anggota yang mendapatkan nilai jelek maka seluruh anggota akan mendapatkan nilai jelek. Dengan begitu akan terjalin kerjasama dan persaudaraan di dalam kelompok.
Mengenai model pembelajaran berbasis multikultural tentunya tidak hanya dua model saja. Masih banyak model lain yang bisa dikembangkan, setiap pendidik pasti memiliki segi kreatifitas tersendiri dalam mengembangkan model pembelajarannya. Yang terpenting dari pembelajaran adalah bagaimana membentuk pola pikir peserta didik untuk senantiasa dapat mengakui terhadap adanya multi budaya dan dapat menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok minoritas terintegrasi dalam masyarakat dan kelompok yang besar, demi tercapai kesejahteraan.

KESIMPULAN
Pendidikan multikultural adalah proses pendidikan atau pengembangan potensi manusia yang menghargai pluralisme dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, bahasa, aliran dan lain-lain. Pendidikan multicultural adalah sebuah pendidikan yang memberikan perlakuan sama berdasarkan kesadran dan kesetaraan serta demokrasi dalam memperlakukan anak didik, di mana pendidik memahami latar belakang anak didik yang berbeda-beda. Pendidikan ini menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat yang heterogen.
Dalam pembelajaran agama diperlukan pendekatan multikultural demi menjaga kedamaian kehidupan beragama. Sebab di Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan berbagai suku budaya, ras dan etnis serta mesyarakat dengan ajaran agama yang berbeda rentan sekali terjadi perselisihan jika tidak ada kesadaran untuk saling menghormati dan menghargai. Islam sebagai ajaran yang terdiri dari dua pilar, normative dan histories memerlukan koridor khusus dalam mengaplikasikan pendekatan ini. Sebab, tanpa batasan-batasan tersebut, dikhwatirkan kehormatan dan karakter Islam yang mulia akan tercemar dan mudah dimasuki paham-paham yang merusak. Untuk itu, pendekatan multicultural seharusnya hanya digunakan sebagai paradigma yang memandang Islam sebagai agama yang dapat berkembang dengan sopan dalam kehidupan masyarakat yang berbeda-beda dalam keberagaman.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Amin, (2005), Pendidikan Agama Multi cultural Multi religius. Jakarta: PSAP.

Ismail, (2008), Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Semarang:RaSAIL Media Group

Muhaimin, (2009), Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Naim, Ngainun dan Ahmad Sauqi, (2008), Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Arruz Media.

Progresiva, (2006), Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam.







 [1] Titin Nur Afidah. Konsep dan Paradigma Pendidikan Multikultural Menurut UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Progresiva, (2006) hal. 223
[2] Ainurofiq Dawam, “ “emoh” Sekolah; Menolak “komersialisasi Pendidilkan...hlm103
  [3] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam. (Jakarta:2009) Hal. 285.
  [4] Ibid, Hal.288.
 [5] Ismail, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang:2008) Hal. 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar