Minggu, 03 Juli 2011

MENGENAL PESANTREN

MENGENAL LEBIH DEKAT
DENGAN PESANTREN
(Oleh Ika Romika Mawaddati*)
PENDAHULUAN
            Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, sebagai keperluan dasar dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat. Proses pendidikan dapat dilaksanakan di mana saja dan kapan saja, dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Namun, untuk mendapatkan hasil yang memuaskan sesuai harapan, proses pendidikan harus dilaksanakan dengan penuh seksama dan serius. Bentuk keseriusan tersebut dapat diaplikasikan melalui pengadaan lembaga pendidikan yang dikelola dengan kesungguhan dan professional.
            Diantara bentuk lembaga pendidikan yang ada di Indonesia adalah pesantren. Menurut beberapa literatur mengenai pesantren, lembaga ini disebut-sebut sebagai lembaga pendidikan tua yang mulai terprogram dengan teratur, sejak kolonial penjajah bercokol di tanah air. Di awal kelahirannya, lembaga ini merupakan lembaga yang tersebar di pedesan-pedesaan dan berorientasi kepada pendidikan agama Islam dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai satu-satunya materi kajian pembelajaran dalam proses pengajaran.
Seiring perputaran zaman, lembaga ini pun mengalami berbagai perubahan, baik dari segi bentuk, jenis, pengelolaan, proses pembelajaran, orientasi pendidikan dan berbagai hal yang berhubungan dengan pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang dilaksanakan dengan sistem asrama, tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Selain memiliki ciri tersendiri, pesantren juga memiliki berbagai problem yang mewarnai setiap langkahnya. Namun demikian, pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang masih diminati oleh masyarakat muslim di Indonesia, yang tentunya memiliki harapan mendalam terhadap hadirnya pesantren.
            Tulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui berbagai perkembangan pesantren. Dengan mengetengahkan sejarah serta latar belakang munculnya pesantren, bentuk, tujuan, unsur-unsur pesantren, peran dan tantangan pesantren dalam dunia pendidikan. Makalah ini diharapakan mampu memberikan wawasan bagi para akademisi pendidikan Islam mengenai pesantren sebagai salah satu lembaga yang masih atau bahkan diharapkan mampu menyelamatkan akhlaq generasi bangsa. Sehingga dapat dijadikan acuan dalam pengembangan pesantren ke depannya.
PEMBAHASAN
            Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tentunya memiliki andil besar dalam mencetak generasi bangsa yang membanggakan dengan akhlaqnya yang karimah. Hasil tersebut, telah melalui proses dan perjalanan panjang dengan berbagai kerikil masalah yang dihadapinya. Hingga saat ini pesantren tetap menjadi lembaga pendidikan Islam yang tetap di minatai masyarakat dengan semakin bertambahnya jumlah pesantren yang berarti jumlah peserta didiknya juga banyak.
A.     Lahirnya Pesantren
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan asal usul kata santri, menurut pandangan Nurcholis madjid, sesungguhnya bersal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap.
Pendapat lain ditulis dalam penelitian Karel A. Steenbrik : Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa, setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam.[1]
Secara garis besar ada dua pendapat mengenai lahirnya pesantren; tradisi pra Islam dan Islam:
1. Tradisi Pra Islam.
Pendapat pertama (pra Islam) diwakili oleh A.H. Johns dan C.C. Berg (dalam Dhofier, 1984:18), yang menganalisis dari segi semantik kebahasaan. Istilah santri[2] berasal dari bahasa Tamil, berarti guru mengaji, istilah tersebut berasal dari istilah shastri, dalam bahasa India berarti orang yang mengetahui buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Ini menunjukkan, secara semantic pesantren lebih dekat ke tradisi pra Islam atau India.
F. Fokkens (dalam Martin Van Bruinessen, 1995:24), menganggap desa perdikan  sebagai sarana kesinambungan pesantren dengan lembaga keagamaan pra-Islam.  Tanah perdikan merupakan desa zaman pra Islam hingga abad ke-19, perdikan sebagai tanah yang bebas dengan keistimewaan tertentu, biasanya berhubungan dengan lokasi keagamaan di mana pajak dan beban dari Negara ditiadakan oleh penguasa. Pada masa berikutnya tanah perdikan berkembang menjadi sebuah desa khusus dengan fungsi-fungsi keagamaan tertentu seperti menjaga makam-makam keramat yang dianggap suci. Keluarga yang diberi kepercayaan memegang perdikan memiliki wibawa keagamaan tertentu, dan beberapa anggotanya menjadi guru agama berpengaruh. Ketika itulah peranan mengajar orang-orang tersebut menjadi terlembaga dalam bentuk pesantren, yaitu ketika banyak orang yang berdatangan untuk belajar agama kepada keluarga perdikan, yang pada akhirnya terlembaga dan membentuk institusi pesantren.
2. Tradisi Islam
Pendapat ini dikemukakan oleh Mahmud Yunus, beliau menjelaskan bahwa asal usul pendidikan individual yang dipergunakan dalam pesantren serta pendidikan yang dimulai dengan pelajaran Bahasa Arab, ternyata dapat ditemukan di Bagdad ketika menjadi pusat pemerintahan Islam. Istilah pesantren memang bukan berasal dari Arab, tapi istilah pondok mungkin berasal dari bahasa Arab; yaitu funduk yang berarti pesanggrahan atau penginapan bagi orang yang bepergian.
Suprayogo (1987: 19), menilai perjalanan panjang pendidikan pesantren di Indonesia dapat ditelusuri melalui bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di langgar, masjid atau rumah-rumah penduduk dan guru ngaji yang bersangkutan. Perkembangan selanjutnya, lembaga-lembaga pendidikan yang pada mulannya tidak lebih dari sekedar berupa kumpulan anak-anak yang belajar pengetahuan agama pada tingkat dasar seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan semacamnya ini berubah bentuk dan isinya hingga berkembang menjadi madrasah diniyah dan akhirnya menjadi pondok pesantren dan seterusnya dalam bentuk yang lebih akhir berupa madrasah yang bertingkat-tingkat.[3]
Pendapat lain menjelaskan jika pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh walisongo abad XV-XVI di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik, Jawa Timur), spiritual father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa. Beliau dikenal sebagai pendiri pertama pesantren di Jawa.
Guna mengantisipasi dan mengakomodir pertanyaan-pertanyaan sosial keagamaan serta dalam rangka menghimpun anggota, Ibrahim menggunakan system pesantren. Ibrahim yang memang sudah memiliki pengikut banyak tidaklah kesulitan mendirikan pesantren. Di siang hari beliau membawa masyarakatnya seharian penuh ke lahan pertanian. Sementara malam hari, mengajarkan mereka pelajaran dasar khususnya Al-Qur’an dan hadist. Karena caranya berdakwah inilah Ibrahim biasa disebut sebagai bapak atau guru pesantren masa awal di Jawa. Adalah sangat mungkin bahwa pendirian system pendidikan ini terilhami oleh pendidikan Hindu yang dilakukan di candi-candi terpencil yang dilihatnya di India dan Jawa. Barangkali berdasarkan fenomena ini perkembangan pesantren diasumsikan sebagai hasil perpaduan antara elemen-elemen budaya Hindu, Jawa dan Islam. [4]   
B.     Bentuk-Bentuk Pesantren
Jika dilihat dari kaca mata lahirnya pesantren, memang pesantren pada saat itu merupakan lembaga pendidikan tradisional yang tidak memiliki ruang-ruang untuk belajar seperti lembaga sekolah saat ini. Namun, seiring perkembangan zaman, pesantren juga mengalami perkembangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjawab harapan masyarakat terhadap pesantren. Dari perubahan itu, maka saat ini telah ada beberapa bentuk pesantren dengan beberapa perbedaan antara satu dengan lainnya.
1.      Pesantren salafi, yaitu pesantren yang mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajaranya pun masih tradisional, dengan metode sorogan dan weton.
2.      Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan system pengajaran klasikal, memberikan ilmu umum dan agama serta ketrampilan, jenis ini lebih di kenal dengan pesantren moderen.
3.      Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu singkat, biasanya sat liburan sekolah. Aspek yang ditekankan adalah ketrampilan ibadah dan kepemimpinan. Para santrinya adalah siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan di pesantren kilat.
4.      Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja, dengan program terintegrasi. Santrinya kebanyakan berasal dari kalangan (anak) putus sekolah atau para pencari kerja.[5]
C.     Tujuan Pendidikan Pesantren
Tujuan Pesantren adalah setiap maksud dan cita-cita yang ingin dicapai pesantren, terlepas apakah cita-cita tersebut tertulis atau hanya hanya disampaikan secara lisan. Pesantren  sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki tujuan yang pastinya tidak berbeda jauh dengan lembaga pendidikan Islam lainnya, yaitu membentuk para santrinya menjadi manusia yang berakhlaqul karimah, rajin beribadah, dan berpengetahuan ilmu agama yang mendalam, sehingga mampu bermanfaat bagi agama, masyarakat bangsa dan Negara., dan yang menjadi tujuan akhir adalah menjadi insan yang senantiasa mendapat Ridho dari Allah SWT.
Tujuan tersebut diprediksi sebagai tujuan pokok. Namun, semakin berkembangnya zaman, maka, kebutuhan manusia juga berkembang dan berbeda-beda. Demi menjawab kebutuhan tersebut, pesantren berusaha memberikan pilihan tujuan sesuai kebutuhan mereka. Dari situ muncullah berbagai bentuk pesantren yang memiliki ciri khas, biasanya ditunjukkan dengan goal setting setiap pesantren yang berbeda. Berkembanglah pesantren khusus tahfidz, lebih mengutamakan hafalan Al-Qur’an. Pesantren anak-anak, khusus menerima santri usia Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Dasar, pesantren khusus mempelajari Bahasa Arab dan Inggris, pesantren yang mengutamakan Ulumul Hadist, pesantren yang konsen terhadap Hukum Islam, ada juga pesantren khusus mahasiswa yang lebih kintens terhadap ekonomi Islam dan jenis pesantren lainnya.
Secara sederhana Manfred (1986:158), mengutip pendapat Kamla Bhasin, bahwa secara umum tujuan pesantren mengikuti dalil, bahwa “Pendidikan dalam sebuah pesantren ditujukan untuk menjadi pemimpin yang tidak resmi atau kadang-kadang pemimpin resmi dari masyarakatnya”. Sementara Madjid (dalam Rahardjo, 1985: 15) menyatakan, bahwa tujuan pendidikan pesantren berada sekitar terbentuknya manusia yang memiliki kesadaran setinggi-tingginya akan bimbingan agama Islam, yang bersifat menyeluruh, dan diperlengkapi dengan kemampuan setinggi-tingginya untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup, dalam konteks ruang dan waktu yang ada; Indonesia dan dunia abad sekarang. Pendek kata, berbagai nilai yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, menjadi tujuan pokok bagi pesantren.[6]
D.    Unsur-Unsur Pesantren.
Selain sebagai lembaga pendidikan tertua di Jawa, pesantren di awal kelahiranya juga disebut sebagai jenis pendidikan tradisional. Namun, anggapan tersebut sudah tidak berlaku lagi pada saat ini. Bahkan banyak pesantren yang awalnya merupakan lembaga pendidikan non formal telah mentransformasikan dirinya menjadi lembaga pendidikan formal, tidak jauh beda dengan madrasah atau aliyah umumnya.
Diantara status di atas, ada satu ciri yang hanya dimiliki pesantren, yaitu unsur-unsur yang harus terpenuhi hingga disebut pesantren. Jika unsur tersebut tidak terpenuhi, maka lembaga tersebut tidak berhak disebut pesantren. Berikut unsur-unsur yang harus dipenuhi sebuah lembaga pendidikan jika ingin disebut sebagai pesantren.
1.      Pelaku, terdiri dari kyai, ustad, santri dan pengurus.
2.      Sarana perangkat keras; misalnya masjid, rumah kyai, rumah ustad, pondok gedung sekolah, gedung-gedung lain untuk pendidikan, seperti perpustakaan, aula, kantor pengurus pesantren, kantor organisasi santri, keamanan, koperasi, gedung-gedung keterampilan dan lain-lain.
3.      Sarana perangkat lunak; kurikulum, buku-buku dan sumber belajar lainnya, cara belajar – mengajar (bandongan, sorogan, halaqah dan menghafal), evaluasi belajar-mengajar.[7]
Dari ketiga unsur tersebut, ketika lembaga pendidikan Islam telah memiliki masjid, ada kyai dan santri, sudah memenuhi criteria dasar sebagai pesantren. Keberadaan kyai dalam sebuah pesantren, ibarat jantung bagi manusia. Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter, disebabkan karena kyailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin bahkan juga pemilik tunggal sebuah pesantren. Kyai mengatur irama perkembangan dan kelangsungan kehidupan pesantren dengan keahlian kedalaman ilmu dan ketrampilannya mengatur pesantren yang dipimpinnya. Kyai sebagai tokoh kunci, keputusan dan kata-katanya dipegang teguh oleh seluruh penghuni pesantren.
Masjid sebagai pusat ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah pesantren karena di masjidlah bertumpu seluruh kegiatan di pesantren. Perkembangan selanjutnya, karena semakin bertambahnya santri, maka pelajaran berlangsung di ruang-ruang khusus. Hingga muncullah kelas-kelas sebagaimana terdapat pada madrasah-madrasah.
Santri, sebagai unsur penting lainnya, memiliki peran sebagai penerima sekaligus pelaksana setiap kegiatan di pesantren. Berdasar keadaanya santri dapat dikelompokkan menjadi dua ; Pertama, Santri Mukim, yaitu santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pesantren. Kedua, santri kalong ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren, biasanya mereka tidak menetap di pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti pelajaran di pesantren. [8]
Diawal kelahiranya, dalam menentukan kurikulum, biasanya diserahkan sepenuhnya kepada kyai dan kyai tidak memberikan batasan waktu  kepada para santri untuk mondok.[9] Kurikulum kyai adalah mengikuti kitab yang diajarkan, biasanya disebut dengan kitab kuning,. Maksudnya, santri disebut naik kelas jika telah menyelesaikan pembelajaran di salah satu kitab kuning. Dan bisa melanjutkan ke kitab kuning selanjutnya. Kemudian, bagi santri yang ingin menyelesaikan studinya bisa sesuka hatinya, karena tidak ada batasan ilmu apa yang harus diselesaikan di pesantren. Dengan system pembelajaran seperti itu, santri tidak memerlukan ijasah, sebagai bukti kelulusanya di pesantren. Yang terpenting bagi mereka adalah ilmu dan pembiasaan spiritual yang didapatkan di pesantren.
Santri tinggal di asrama-asrama yang berjejer rapi dekat rumah kyai. Mereka hidup bersama dalam lingkungan tersendiri yang terpisah dengan masyarakat kampung. Biasanya untuk memisahkan, pesantren dikelilingi oleh pagar pembantas. Kyai dan santri hidup bersama dalam sebuah kesederhanaan dan kebersahajaan. Mereka saling bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kadang-kadang, karena lingkungan yang terpisah dari masyarakat kampong, menjadikan pesantren sebagai penjara bagi penghuninya, sebab diantara peraturan pesantren yang juga dibuat oleh kyai, adalah dilarangnya para santri untuk keluar pagar pesantren, kecuali ada kepentingan penting yang mengharuskan keluar dari pagar pesantren. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga santri dari keterpengaruhan kebiasan buruk  masyarakat di luar pesantren. Akibat dari kesendirian itu, masyarakt pesantren seperti kelompok lain yang terasing, memiliki pola hidup yang berbeda , bahkan juga memiliki aturan-aturan yang berbeda pula. Disinilah letak keunikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia.

E.     Peran Pesantren
Secara subtansial, pesantren merupakan institusi keagamaan yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memosisikan dirinya sebagai bagian masyarakat dalam pengertiannya yang transformative. Dalam konteks ini, pendidikan pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan dan kemudian dikembangkan kepada rintisan-rintisan pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.
Pada awal berdirinya, pengabdian pesantren terhadap masyarakat, sesuai zamannya, berbentuk sangat sederhana dan bisa dibilang sangat alami. Pengabdian tersebut diwujudkan misalnya dengan pelayanan keagamaan kepada masyarakat, menyediakan wadah bagi sosialisasi anak-anak, dan sebagai tempat bagi para remaja yang dating dari berbagai daerah yang sangat jauh untuk menjalani semacam “ritus peralihan” dari fase remaja ke fase selanjutnya. Dalam bentuk seperti itu, pesantren terlibat aktif dalam pengkajian keagamaan dan pola-pola sejenis yang dikembangkan di masyarakat luas.
Pengabdian masyarakat yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dianut pesantren. Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam komunitas santri (lebih tepatnya lagi, dunia pesantren) adalah : seluruh kehidupan ini diyakini sebagai ibadah. Maksudnya, kehidupan duniawi disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai Ilahi yang telah mereka peluk sebagai sumber nilai tertinggi. Dari nilai pokok ini berkembang nilai-nilai luhur yang lainnya, seperti nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian. Nilai-nilai merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat, yang tahap berikutnya dikembangkan sebagai nilai yang perlu menjadi anutan masyarakat luas.[10]
F.      Tantangan Pesantren
Pesantren yang pada tahap awal berdirinya merupakan lembaga sederhana dengan berbagai nilai keikhlasan, kesederhanaan, pengabdian dan kesahajaan dalam setiap gerak langkahnya. Namun, seiring perkembangan zaman, berkembang pula berbgai persoalan ruwet dalam tubuh pesantren. Hal tersebut berakar dari masuknya pesantren dalam sistem pendidikan modern telah melahirkan problem cukup ruwet yang berdampak langsung atau tidak atas pengabdian yang selama ini telah dikembangkan.
Penerimaan pesantren terhadap pendidikan moderen dalam bentuk sekolah telah memberi peluang bagi ikut campurnya negara ke dalam dunia pesantren. Dominasi Negara yang begitu kuat membuat nilai-nilai pesantren selama ini mengalami pemudaran. Pendidikan yang pesantren yang berorientasi nilai mengalami perubahan menjadi pendidikan Negara dengan capaian yang bersifat formalistic. Akibatnya, selain ketergantungan pesantren kepada Negara menjadi tidak terelakkan, hal itu juga membuat pendidikan pesantren mulai berorientasi pada ijazah. Cita-cita baik bagi santri maupun pesantren untuk mengabdi kepada masyarakat sebagai pendidik agama dan pengembnagan kewiraswastaan mulai hilang, berganti dengan cita-cita misalnya menjadi pegawai. Dengan demikian upaya pesantren untuk memberdayakan masyarakat sebagai masyarakat mandiri menjadi terantuk ke dalam kesia-siaan.
Selanjutnya adalah fenomena yang berkembang belakangan ini adalah menunjukkan bahwa pesantren belum bisa sepenuhnya membumikan nilai-nilai akhlaq, sebagai bagian intrinsic keberagamaan masyarakt. Hal itu dapat dilacak dari merebaknya kekerasan dan kejahatan lain yang sebagainya melibatkan masyarakat yang memiliki “hubungan” dengan pesantren. Padahal sejatinya, pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pesantren merupakan upaya pengembangan masyarakat agar mereka menjadi masyarakat yang berkeadaban, mandiri, dan sejahtera, sesuai nilai dan ajaran Islam yang menjadi anutan pesantren.[11]   
Tantangan pesantren makin lama makin komplek seiring perkembangan zaman yang juga memunculkan berbagai persoalan komplek dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Tantangan ini menyebabkan terjadinya pergeseran nilai yang menyangkut pondok pesantren, baik nilai sumber belajar maupun nilai yang berkaitan dengan proses pengelolaan pendidikan (manajemen).
Terdapat beberapa indikator pergeseran nilai yang dialami pondok pesantren, diantaranya seperti dikemukakan oleh Dr. Mastuhu ;
1.      Kyai bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Dengan semakin beraneka ragam sumber belajar baru, maka semakin tinggi dinamika komunikasi antara system pendidikan pondok pesantren dengan system lain. Santri dapat belajar dari banyak sumber. Namun kondisi objektif ini tidak segera menggeser kedudukan kyai sebagai tokoh kunci yang menentukan corak pondok pesantren.
2.      Dewasa ini hampir seluruh pesantren menyelenggarakan jenis pendidikan formal, yaitu madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi. Jenis pendidikan pesantren sendiri sebagai jenis pendidikan non-formal tradisional yang hanya mempelajari kitab-kitab klasik merupakan bagian yang sangat kecil, sekitar satu sampai dua persen dari seluruh kegiatan pendidikan pesantren.
3.      Seiring dengan pergeseran pola tersebut, maka kebanyakan santri saat ini membutuhkan ijazah dan penguasaan bidang keahlian-ketrampilan yang jelas agar dapat mengantarkannya untuk menguasai dan memasuki lapangan kehidupan baru. Dalam kehidupan modern, kita tidak cukup hanya dengan berbekal moral yang baik, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian (skill) atau ketrampilan yang relevan dan dan sinergis dengan kebutuhan dunia kerja.[12]
4.      Sehubungan dengan hal tersebut, maka di kalangan santri terdapat kecenderungan yang semakin kuat untuk mempelajari sains dan tekhnologi pada lembaga-lembaga pendidikan formal, untuk memperoleh keahlian dan atau ketrampilan yang dimaksud, tetapi mereka juga ingin tetap belajar di pesantren untuk mendalami agama. Apabila telah keluar dari pesantren sering mencari ijazah persamaan pada lembaga pendidikan formal.
5.      Belajar dengan biaya, sudah memasuki dunia pesantren. Santri dipungut biaya pendidikan dan living cost setiap bulan atau tri-wulan, sehingga hamper semua santri mendapatkan kiriman uang dari orang tuannya.
6.      Sejak awal tahun 1920-an, dengan telah dikenalnya model madrasah dengan system kelas dengan diajarkannya ilmu pengetahuan umum ke dalam pesantren, maka sejak itu sebenarnya pesantren telah memasuki system pendidikanumum, dan akhirnya secara resmi telah menjadi model pendidikanalternatif di masa mendatang.[13]
Dari beberapa indikator pergeseran nilai pesantren, maka pesantren dengan teologi yang dianutnya hingga kini, ditantang untuk menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. Pesantren harus mampu mencari solusi yang benar-benar mencerahkan, sehingga pada satu sisi,dapat menumbuhkembangkan kaum santri yang memiliki wawasan luas yang tidak gamang menghadapi modernitas dan sekaligus tidak kehilangan identitas dan jati dirinya, dan pada sisi lain dapat mengantarkan masyarakat menjadi komunitas yang menyadari tentang persoalan yang dihadapi dan mampu mengatasi dengan penuh kemandirian dan keadaban.
G.    Dimensi Kualitas Pesantren.
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang dianggap tradisional dan pinggiran. Seiring perputaran waktu, berusaha menghapus “status” tersebut dengan berbagai upaya dan daya. Karena, begitu menggebunya keinginan tersebut, terkadang pesantren melupakan identitas “keunikan” sebagai pesantren. Hingga melahirkan lingkaran problem yang tersambung tanpa ada ujung penyelesaianya. Itu sebabnya, bagi pesantren yang menginginkan perubahan diri, hendaknya tetap menjaga cirri khasnya sebagai lembaga yang bersahaja dengan keikhlasan.
Perubahan dan pembaharuan bagi pesantren, tampaknya sebagai kewajiban yang haarus dilakukan, jika tetap menginginkan penerimaan yang menyenangkan dari masyarakat. Sebagai salah satu bentuk penjual jasa pendidikan yang melibatkan tingkat interaksi tinggi antara penyedia dan pemakai jasa, terdapat lima dimensi pokok yang menentukan kualitas pesantren:
1.      Keandalan (Reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera atau tepat waktu-akurat-memuaskan. Contohnya adalah penawaran masa sekolah yang sesuai dengan kebutuhan berupa ketrampilan, profesi, dan dunia kerja. Pesantren yang laku di masyarakat sekarang ini, misalnya harus menampilkan satu keandalannya dengan menyebut program unggulannya dengan setiap hari memakai bahasa Arab ataupun Inggris.
2.      Daya tanggap (Responsiveness), yaitu kemauan/kesediaan para staf untuk membantu para santri untuk mendapatkan  pelayanan dengan tanggap.
3.      Jaminan (Assurance) terhadap kemampuan pengajar, mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, respek terhadap santri, dan sifat yang dapat dipercaya yang dimiliki para pengajar maupun staf.
4.      Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan santri. Misalnya para ustadz harus mengenal nama santri, atau para ustadz harus bisa dihubungi santri kapan saja.
5.      Bakti langsung (Tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan, ustadz, sarana ibadah, tersedianya tempat penjualan barang-barang kebutuhan santri.[14]
Berdasar keterangan tersebut, diharapkan bagi para pengelola pesantren yang mendambakan pesantren yang dikelolannya berkualitas hendaknya mampu memenuhi kelima dimensi kualitas pesantren.  Selanjutnya untuk melihat karakteristik pengelolaan pesantren serta usaha-usaha yang telah dilakukan dalam beberapa pesantren terhadap pembaharuan system pendidikan dan pengelolaannya dapat dibandingkan antara dulu, sekarang dan kecenderungan mendatang, yang antara lain dapat dideskripsikan sebagai berikut: (Mastuhu, 1994: 154-157 )
No
Hal
Tradisional
Sekarang dan Mendatang
1.
Status
-Uzlah
-Milik pribadi
-Sub system pendidikan nasional.
- Milik Institusi/yayasan
2.
Jenis Pendidikan
Pesantren non formal (PNF
-Pesantre (PNF)
-Madrasah
-Sekolah Umum (PF)
-Sekolah Tinggi (PF)
3.
Sifat
-Bebas waktu, tempat, bebas biaya &syarat
-Masih berlaku bagi PNF dan tidak berlaku untuk PF
4.
Tujuan
-Agama
-Memahami dan mengamalkan secara tekstual
-Agama (Duniawi)
-Memahami dan mengamalkannya sesuai dengan tempat dan zamannya
5.
Bahasa Pengantar
-Daerah
-Arab
-Indonesia
-Daerah
-Arab
-Inggris
6.
Kepemimpinan
-Karismatik
-Rasional
7.
Corak Kehidupan
-Fikih-Sufistik
-Orientasi Ukhrawi
-Sakral
-Manusia sebagai objek (fatalistic)
-Fikih-Sufistik+Ilmu
-Ukhrawi + Duniawi
Sakral + Profan
-Manusia objek + Subjek (Vitalistik)
8.
Perpustakaan, dokumentasi dan alat pendidikan
-Tidak ada
-Manual
-Ada
-Manual, Elektronika
Komputer, dst.
9.
Air
-“Dua kullah”
-Kran/ledeng
10.
Asrama
-Hidup bersama menerima, memiliki ilmu dan mengamalkannya
-Hidup bersama
-Dialog
-Menjadikan ilmu sebagai sarana pengembangan diri
11.
Pengurus
-Mengabdi Kyai
-Yayasan
-Bertanggungjawab pada unit kerjanya
-Memberikan masukan/pertimbangan Kyai

 Berdasar  tabel di atas, dapat dipahami jika pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki butir-butir positif dan negatif. Untuk menghasilkan lembaga pendidikan yang benar-benar mampu mencapai harapan yang dicita-citakan hendaknya tetap menjaga butir-butir positif dan meninggalkan butir-butir negatif untuk disempurnakan menjadi lebih baik:
1.      Butir-butir positif yang perlu dikembangkan dalam system pendidikan Islam / pesantren:
  1. Pandangan pesantren bahwa manusia dilahirkan menurut fitrahnya masing-masing. Tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan daya positif dan mencegah daya negative.
  2. Pandangan bahwa tugas pendidikan sebagai bentuk ibadah. Oleh karena itu dalam melaksanakan proses pendidikan seyogyanya dengan ikhlas dan mengharap ridho Allah.
  3. Hubungan yang baik antara guru dan murid.
  4. Pesantren sebagai tempat mencari ilmu, bukan mencari ijazah.
  5. Metode belajar halaqoh dan sorogan (disesuaikan zaman)
  6. Nilai pendidikan dengan system asrama; bahwa sebagai manusia harus bisa hidup bersosialisasi, tolong menolong, saling menghargai hak setiap orang dan menyadari kewajiban yang harus dilakukan.
  7. Pandangan hidup jangka panjang dan menyeluruh; bagi orang beriman dia akan optimis menjalani hidup, tabah, sabar tidak putus asa, jika tertimpa musibah, sabar dan berusaha serta tawakal.
2.      Butir-butir negatif yang tidak perlu dikembangkan:
a.        Pandangan bahwa ilmu adalah hal yang sudah mapan dan dapat diperoleh melalui berkah Kyai.
b.        Pandangan tidak kritis yang menyatakan bahwa apa-apa yang diajarkan Kyai dan kitab-kitab agama yang diterima sebagai kebenaran yang tidak perlu lagi dipertanyakan.
c.        Pandangan bahwa kehidupan ukhrawi paling penting, sedang duniawi tidak penting.
d.        Metode belajar menghafal dan pemikiran tradisional yang diterapkan untuk semua ilmu.
e.        Kepatuhan mutlak kepada guru dan pada kehidupan kolektif (asrama), sehingga dapat menghambat perkembangan individualitas (jati diri) dan menghambat timbulnya pemikiran kritis.
f.          Pandangan hidup fatalistis yang menyerahkan nasib kepada realita kehidupan keduniawian sehari-hari.
3.                Butir-butir positif-negatif system pesantren yang perlu dikembangkan:
  1. Sistem asrama. Untuk mencegah ekses-ekses negatif, maka system “asrama masa depan” harus mampu berfungsi sebagai forum dialog, mengasah ketrampilan bermasyarakat, berkepribadian dengan pembiasaan akhlaq mulia serta mengasah karakter positif setiap peserta didik.
  2. Metode halaqoh, metode ini mengarah pada menghafal, yaitu mengarah untuk menanyakan dari segi “apanya’ dan untuk “memiliki” ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadanya. Hal tersebut perlu dirubah dan ditingkatkan menjadi menanyakan ilmu dari segi “mengapa” dan “bagaimana”. Intinya menjadikan model halaqoh menjadi lebih kreatif dan inovativ.
  3. Jenis kepemimpinan. Kepemimpinan karismatik (agama) perlu dilengkapi atau dikembangkan dengan kepemimpinan rasional (ilmu), agar lebih mampu menghadapi tantangan zaman.[15]
KESIMPULAN
Menurut goresan sejarah, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Dipelopori oleh salah satu  walisongo (abad XV-XVI), yaitu  Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik Jawa Timur). Di awal terbentuknya pesantren, pendidikan dikelola secara konvensional dengan Kyai sebagai titik sentra utama, masjid   sebagai pusat lembaga dan proses pembelajaran dilaksanakan dengan system asrama (pondok). Karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya, pesantren sering disebut sebagai lembaga pendidikan yang “unik”.
Seiring perkembangan zaman, pesantren mengalami banyak perubahan. Sehingga, banyak bermunculan jenis-jenis dan bentuk-bentuk pesantren yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, tujuan dari setiap pesantren adalah sama, yaitu berusaha mengejewantahkan syariat Allah melalui pendidikan, sehingga terbentuklah lulusan-lulusan pesantren yang berakhlaq mulia, bermanfaat dan diridhoi Allah. Pendek kata, hadirnya pesantren sebagai sarana untuk tercapainya Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin.
Tak dapat dipungkiri hadirnya pesantren (dengan berbagai warna di dalamnya), yang diyakini sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Jawa dianggap telah memberikan sumbangan penting dan krusial dalam proses transmisi ilmu-ilmu Islam, reproduksi ulama, pemeliharan ilmu dan tradisi Islam, bahkan pembentukan dan ekspansi masyarakat muslim santri.
Demikian besar pengaruh pesantren begi pengembangan kehidupan keberagamaan bagi masyarakat, maka perlu penanganan serius dan professional. Pesantren dengan teologi yang dianutnya hingga kini, ditantang untuk menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. Pesantren harus mampu mencari solusi yang benar-benar mencerahkan sehingga, pada satu sisi, dapat menumbuhkembangkan kaum santri memiliki wawasan luas yang tidak gamang menghadapi modernitas dan sekaligus tidak kehilangan identitas dan jati dirinya, dan  pada sisi lain dapat mengantarkan masyarakat menjadi komunitas yang menyadari tentang persoalan yang dihadapi dan mampu mengatasi dengan penuh kemandirian dan keadaban.[16]

  • Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UMM
Program Studi Pendidikan Agama Islam

DAFTAR PUSTAKA
A,LA, Abd. (2006). Pembaruan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Fadjar, Malik. (1998). Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta: LP3NI.
Halim, Suhartini et al. (2005). Manajemen Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Khozin. (2006). Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indoneisa: Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi (rev. ed.). Malang: UMM Press.

Malik. (Ed). (2005). Pemberdayaan Pesantren: Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Marno, Triyo Supriyatno. (2008). Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam. Bandung:Refika Aditama.

Mas’ud, Abdurrahman. (2004). Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS.

Yasmin. (2005). Modernisasi Pesantren : Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Quantum Teaching.





  [1] Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta:2005), hal. 62.
  [2]Dalam penelitiannya, Clifford Geertz berpendapat , kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Santri arti sempit adalh murid di pesantren. Arti luas, santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke masjid dan berbagai aktifitas lainnya. Lihat Clifford Geertz , Abangan Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Dikutip dari Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren (Yogyakarta:2004),hal. 61.  
    [3] Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia:Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi (rev. ed.;Malang: 2006), hal. 97-98.
    [4] Abdurrahman Mas’ud. Intelektual Pesantren:Perhelatan Agama dan Tradisi (Yogyakarta:2004),hal. 54.
   [5] Khozin, Op. Cit., hal. 101.

  [6] Ibid.,hal. 103.
  [7] Jamaludin Malik, ed. Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan (Yogyakarta: 2005), hal. 3-4.
  [8] Yasmadi. Op. Cit.,  hal. 66
  [9] Istilah bagi para santri yang studi di pesantren.
   [10] Abd A’la. Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: 2006), hal. 2-4.
   [11] Ibid., hal.6.
   [12] Malik Fadjar. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. (Jakarta:1998), hal. 126-127.
   [13] Marno dan Triyo Supriyanto. Manajemen dan Kepemimpinan Perndidikan Islam. (Bandung:2008), hal.  65.
  [14] Parasuraman, Zeithaml & Berry, 1985:41-50 dalam A.Halim, Rr.Suhartini dkk. Manajemen Pesantren (Yogyakarta:2005),hal. 32-33.
  [15] Marno dan Triyo Supriyanto. Op, Cit,.hal.68-69.

  [16] Abd A’la. Op,Cit,.hal. 8-9