Rabu, 09 Februari 2011

Menengok Kejayaan ISLAM

Kerajaan Syafawi
PENDAHULUAN
Islam hadir di muka bumi menyelamatkan manusia dari kejahiliyahan, hadirnya membawa kemaslahatan bagi penghuni dunia. Kedatangan Islam ditandai dengan ditusnya Muhammad SAW sebagai utusan Allah penyebar risalah Islamiyah. Sekitar 610 M Nabi Muhammad SAW menerima wahyu al-Qur’an pertama kalinya di Mekkah dan dua tahun kemudian mulai mengajarkannya. [1]
Dalam perjalanannya, Islam mengalami beberapa periode dalam hal pemegang tampuk kepemimpinan. Periode awal dipimpin oleh Rasulullah Muhammad SAW, kemudian para Khulafaur Rosyidin, yang selanjutnya dilanjutkan oleh para sahabat dan tabi’in hingga generasi selanjutnya.
Ditinjau dari sisi sejarah peradaban Islam, banyak terjadi beberapa model periodesasi sejarah Islam diantaranya adalah periodesasi menurut Harun Nasution yang terbagi dalam tiga periode, Periode Klasik (650-1250 M), Periode Pertengahan (1250-1800 M) dan Periode Moderen (1800 M sampai sekarang).
Periode pertama adalah masa Rasulullah SAW hingga jatuhnya pemerintahan Bani Abbas di Bagdad. Periode pertengahan dimulai dari jatuhnya Bani Abbas hingga datangnya pengaruh modernisasi di Eropa ke dalam dunia Islam. Dalam periode ini ditandai dengan masa-masa kemunduran pertama peradaban Islam yang sering disebut masa stagnan, yakni sejak jatuhnya Bani Abbas hingga lahir tiga kerajaan besar; Safawi di Persia, Mughol di India dan Usmani di Turki. Periode terakhir atau periode moderen ditandai dengan masa penjajahan Eropa terhadap dunia Islam. [2]
Berdasarkan periodesasi tersebut, penulis berusaha mendeskripsikan salah satu tiga kerajaan   besar Islam masa periode pertengahan yaitu Kerajaan Safawi di Persia, dengan beberapa sub bahasan yaitu; spesifikasi kebudayaan Islam Persia, perwujudan Negara Syi’i di Persia, prestasi-prestasi yang telah diraih, dan doktrin keimaman serta pengaruhnya terhadap kepemimpinan.





PEMBAHASAN
A.     Kebudayaan Islam Persia[3]
Pada awalnya Persia adalah sebuah tempat di wilayah barat daya Negara Iran yang mengitari teluk Persia dan mencakup daerah pusat kekuasaan terakhir Kekaisaran Persia, Persepolis, dan Pasar Godea. Persia yang kemudian disebut Iran oleh penduduknyaterdiri atas dataran tinggi yang membentang dari tanah rendah Mesopotamia (sekarang Irak) kea rah timur sampai ke dataran di lembah sungai Indus (Pakistan).
1.      Periode pra-Islam
Berabad-abad sebelum Islam lahir, Persia telah dikuasai tiga dinasti kerajaan dengan daerah taklukan yang cukup luas. Dinasti tersebut adalah:
a)      Dinasti Akhamenida (Kerajaan Persia Lama). Cyrus II (549-529 SM), putra Raja Elam (Cambyses I), mendirikan dinasti ini setelah menaklukkan kerajaan media yang dipimpin kakeknya (Astyages).
b)      Dinasti Arsacid (Kerajaan Parthia). Dinasti ini berhasil menguasai wilayah Persia dalam waktu relatif panjang, sekitar 476 tahun. Dinasti ini runtuh saat masa kepemimpinan Raja Artabanus V pada tahun 226 dibunuh oleh pasukan Raja Ardashir dari Kerajaan Persia (Dinasti Sasaniyah).
c)      Dinasti Sasaniyah (Kerajaan Persia). Setelah mengalahkan Artabanus V, Ardasir segera menobatkan dirinya sebagai raja penguasa wilayah yang dulunya dikuasai Dinasti Arsacid.
Setelah Ardasir meninggal tampuk kekuasaan digantikan oleh putranya dan keturunan-keturunan selanjutnya. Hingga akhirnya pada masa raja terakhir yaitu Yazdarij III (raja yang mengakhiri symbol kekuasaan Sasaniyah) kerajaan ini runtuh setelah ditaklukkan paskan Islam yang dipimpin Sa’ad bin Abi Waqqas (sahabat) pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Yazdarij III wafat dalam kesendiriannya di elarian pada masa khalifah Usman bin Affan.[4]



2. Periode Kedatangan Islam
Ketika melakukan invasi ke Persia, Khalifah Umar hingga Usman tidak melakukan berbagai perubahanberarrti kecuali aspek keagamaan dan kebudayaan. Sebelum Islam di Persia lebih banyak mengadopsi kebudayaan hellenisme (Yunani), pada masa Islam kebudayaan tersebut diabsorpsi dengan menambahkan nilai keislaman di dalamnya. Di negeri inilah budaya hellenisme Islam berkembang dengan pesat, misalnya dalam ilu filsafat, yang dampaknya dapat disaksikan sampai sekarang di Negara Iran modern.
Pada masa Khulafaur Rosyidin berakhir, secara berturut-turut wilayah Persia dikuasai oleh Daulah Umayyah (661-750 M) dan Daulah Abbasiyah (749-1258 M). kedua dinasti tersebut menempatkan anggota garnisun dari kalangan suku Arab untuk mengontrol area Persia. Politik arabisasi dilancarkan penguasa Daulah Umayyah sebagai upaya memperkukuh hegemoni politik daulah ini terhadap rakyat Persia yang jauh dari pusat kekuasaan. Sedangkan pada masa Daulah Abbasiyah politik arabisasi tidak diberlakukan lagi, tetapi dengan memindahkan pusat kekuasaan dari Damaskus ke Bagdad.
Akibat tindakan politik tersebut terjadi pergolakan dalam pemerintahan, hingga akhirnya terjadi pemberontakan di beberapa daerah hingga terwujud beberapa dinasti kecil di Persia diantaranya adalah Dinasti Samaniyah (819-1005 M) yang menguasai wilayah utara Persia dan Asia Tengah, pemerintah Samaniyah dikenal karena berhasil membawa Persia menuju kemakmuran dan kedamaian yang ditandai dengan pertumbuhan dunia artistik.
Periode selanjutnya Persia dipegang Dinasti Seljuk (1038-1194). Dinasti ini termotivasi untuk menguasai Persia untuk menumpas sisa-sisa kaum Ghaznawiyah yang melarikan diri ke Persia. Pada saat bersamaan pengaruh kekuasaan Umayyah di Persia melemah, ketika itulah Dinasti Seljuk menancapkan pengaruh kekuasaanya di Persia.
Seiring dengan runtuhnya imperium Islam di semenanjung Arabia dan sekitarnya akibat invansi tentara Mongol pada abad ke 13, Dinasti saljuk pun jatuh ke tangan Mongol. Persia dikuasai Mongol selama kurang lebih 3 abad. Selanjutnya    
 Persia diperintah Dinasti Safawi (1501-1732 M).[5] Dari sekelumit sejarah tersebut (rentetan kepemimpinan di Persia) menjadikan suatu kewajaran jika Persia merupakan daerah yang telah memiliki peradaban cukup maju di bandingkan tempat-tempat lainnya, sehingga peradaban tersebut sangat mempengaruhi perdaban umat manusia di dunia. 

B.     Kerajaan Syafawi di Persia
      Safawi, kerajaan yang didirikan Syah Ismail (907 H/ 1501 M), dinisbahkan kepada Tarekat Safawiyah yang didirikan Syeh Safiuddin Ishaq (650 H/ 1252 M-735 H/1334 M) di Ardabil PADA 1300-an. Dalam perkembangannya, tarekat Safawiyah cenderung beralih dari lembaga tasawuf menjadi aliran agama yang cenderung kepada gerakan politik dan kekuasaan. Setelah berkuasa selama lebih dari dua abad, Kerajaan Safawi semakin melemah. Wilayah propinsi yang demikian luas menimbulkan proses pelemahan system pertahanan militer. Akhirnya pasukan Afghan menguasai Kerajaan Safawi pada 1722 M. [6]
1.      Pembentukan dan Perkembangan
Syafawi merupakan salah satu tiga kerajaan besar yang hadir setelah dinasti Abbasiyah runtuh. Kekuasaan Syafawi di sebelah barat berbatasan dengan daerah kekuasaan Usmaniyah, menguasai daerah Irak, Iran, Afganistan dan Khurosan dan di Tenggara berbatasan dengan daerah kekuasaan Mughol India.[7] Berbeda dari dua kerajaan Islam lainnya (Usmani dan Mughol), kerajaan syafawi menyatakan syiah sebagai mazhab negaranya. Karena itu kerajaan ini dapat di anggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya Negara Iran.[8]
Kerajaan Syafawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini dinisbahkan kepada tarekat Safawiyah yang didirikan Syeh Safiuddin Ishaq[9] (650 H/1252 M-735 H/1335 M). Tujuan tarekat ini adalah memerangi orang-orang yang ingkar dan kelompok ahli bid’ah. Karena itu, tarekat bersikap fanatik dan menentang kelompok selain Syi’ah. Itu sebabnya gerakan ini merasa perlu memasuki wilayah politik.[10]  Kepemimpinan tarekatnya dilanjutkan oleh anak cucu beliau hingga sampai pada masa keturunanya yaitu Imam Junaid (1447-1460 M) tarekat yang lebih bersifat ukhrawi menjadi aliran yang mempunyai kecenderungan kepada politik dan kekuasaan.
Sepeninggal Junaid, pimpinan tarekat Safawiyah digantikan oleh anaknya yang bernama Haidar. Haidar mengawini putri Uzun Hasan dan melahirkan anak bernama Isma’il. Kekuatan Safawiyah mulai bangkit kembali dalam kepemimpinannya, hingga berhasil menaklukkan Tibriz, pusat kekuasaan Ak-Koyunlu. Di kota ini Isma’il memproklamirkan berdirinya kerajaan safawiyah dan menobatkan diri sebagai raja pertamanya.(1501-1524 M)
Dilihat dari asal usulnya, Safawi dipimpin oleh dua kekuatan. Pertama, kepemimpinan agama (tarekat) sebagai perintisnya. Kedua, kepemimpinan kerajaan dan bercorak formal, yaitu sejak kepemimpinan Ismail bin Haidar  hingga Abbas III (1732-1736 M ). Ismail berhasil mengawali perluasan wilayah kekuasaannya yang meliputi Persia dan wilayah subur “Bulan Sabit” bahkan sampai daerah Turki Usmani.
Setelah Ismail meninggal tampuk kekuasaan digantikan oleh beberapa sultan yang berjumlah sembilan orang  Tahmasp I, Ismail II, Muhammad Khudabanda, Abbas I, Safi Mirza, Abbas II, Sulaiman, Husaen, Tahmasp II. Jadi seluruh sultan berjumlah 11 orang.
Masa kekuasaan sultan kelima yaitu Abbas I (1588-1628 M) , tercatat sebagai puncak kejayaan Kerajaan Syafawi. Secara politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya.[11]

2. Doktrin Keimaman dan Pengaruhnya
Awal munculnya kerajaan Safawi merupakan kegiatan tarekat yang pada akhirnya karena semakin berkembang pesat, merasa perlu memasuki dunia politik demi menjaga dan melebarkan eksistensi tarekat tersebut hingga akhirnya menjadi sebuah kerajaan yang besar.
Dari kenyataan tersebut dapat dipahami jika munculnya Syafawi pada dasarnya karena keyakinan keberagamaan yang terorganisir hingga mampu berkembang menjadi sebuah ideologi suatu kerajaan. Latar belakang tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap pola pemerintahan raja-raja yang memimpinnya. Diantara pengaruh yang tampak adalah pada masa Imam Junaed yang mengerahkan para pengikut tarekat untuk menentang Negara tetangga yang beragama Kristen, selain itu Junaed juga menggunakan alasan jihad untuk melawan orang Georgia di Kaukasus yang masuk wilayah Syirwanid. Dengan kata lain penguasa Syrwanid menganggap gerakan Junaid sebagai gerakan pencaplokan terhadap wilayahnya. Maka terjadi pertempuran antara kedua belah pihak dan Junaid terbunuh dalam pertempuran tersebut pada 865 H/1461 M.[12] Dengan doktri keagamaan Junaid mampu mengerahkan pengikutnya untuk mengikuti keinginannya sebagai pemimpin.
Selain pengerahan pasukan dalam berperang, Junaid juga berhasil menanamkan kefanatikan terhadap tarekat kepada para pengikutnya. Keberhasilan tersebut dapat dilihat ketika Junaid telah meninggal para pengikutnya yang sangat ekstrim menganggap Junaid sebagai “Tuhan”. Bahkan, menurut salah satu versi, semasa kepemimpinan karismatiknya ia telah dianggap sebagai penjelmaan “Tuhan”.
Setelah Junaid meninggal, anaknya pun mewarisi strateginya dalam memimpin. Haidar putra Junaid memanfaatkan pola kepemimpinan karismatik ayahnya, yang telah dianggap sebagai sebagai “Tuhan” oleh para pengikutnya yang fanatic dan ekstrem. Atas dasar inilah kemudian Haidar dianggap sebagai “anak Tuhan”. Untuk meneruskan ambisi politik ayahnya, Haidar membentuk semcam kesatuan tentara agama yang dikenal dengan Qizilbasy (si kepala merah,karena memakai topi warna merah).
Setelah Haidar wafat, tampuk kepemimpinan diganti oleh anaknya Ismail I, sejak mengukuhkan dirinya sebagai sebagai raja, ia juga memproklamasikan Syiah Isna Asyariyah (dua belas)sebagai agama Negara. Karena Persia sebelumnya berada di bawah kekuasaan Suni, Ismail harus mendatangkan ulama Syiah dari wilayah yang kuat mempertahankan tradisi Syiah, seperti Irak, Bahrein, Dan terutama Jabal Amil, Libanon. Selain usaha tersebut Ismail juga terus melancarkan penaklukkan ke seluruh Iran dan ke sebelah timur sampai ke Heart maupun Diyarbakr (Turki), serta Bagdad, Irak. Usaha ini didukung sepenuhnya oleh pasukan Qizilbasy yang sangat fanatik dan ekstrem mendukung Ismail.
Mewarisi tradisi ayah dan kakeknya Ismail juga mengklaim dirinya sebagai titisan Tuhan dan wakil imam mahdi melalui keturunan Imam Ketujuh (Musa al-Kazim) dari dua belas imam Syiah Isna Asyariyah. Dengan cara ini, ia dapat menuntut kepatuhan mutlak dari para pendukung dan rakyatnya. Hal itu dilakukan tiada lain untuk memperkukuh kekuasaan barunya, syah Ismail memerlukan dukungan keagamaan dan politik.
Posisi kekuasaanya diletakkan di atas tiga dasar:
a)      Konsep kekuasaan Persia Kuno bahwa raja adalah “Bayangan Tuhan di Bumi”
b)      Tuntutan kepatuhan dari pengikutnya.
c)      Pengakuannya bahwa ia adalah keturunan Imam ketujuh dan wakil imam Mahdi.
Dalam hal ideologi Syiah, Syah Abbas I melanjutkan kebijakan Syah Ismail I, guna lebih memperlancar sosialisasi dan memapankan ajaran Syiah beliau mendirikan lembaga pendidikan Syiah (sekolah teologi). Ini menunjukkan adanya perubahan besar dalam proses pengembangan lembaga dan system pendidikan Syiah pada permulaan abad ke-17di Iran terutama di ibukota Isfahan.[13]
3. Kemajuan di Bidang Filsafat dan Seni
Selama perjalananya menguasai Persia, kerajaan Syafawi telah mencapai kemajuan dalam peradabanya, di bidang tasawuf misalnya, kemajuan utama sepanjang sejarah kerajaan tersebut dimulai pada masa Syah Abbas I. kemajuan di bidang tasawuf (Tasawuf Filsafat)ditandai dengan berkembangnya filsafat ketuhanan (al-Hikmah al-Ilahiyyah), yang kemudian terkenal dengan sebutan filsafat “pencerahan” (Isyraqi) atau aliran Isfahan. Alairan ini didirikan oleh Muhammad Baqir Astarabadi, yang dikenal dengan Mir Damad (w. 1631 M) adapun tokoh besarnya adalah Sadruddin Muhammad bin Ibrahim Syirazi, dikenal dengan Mulla Sandra (w. 1640 M). nama lain pendukung aliran Isfahan ini termasuk Abu al-Qasim Astarabadi, yang dikenal dengan Mir Findiriski (w. 1640 M), dan Mulla Rajab Ali Tabrizi (w. 1669 M).[14]
Dibanding dengan Turki Usmani, Safawi lebih unggul dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya filsafat. Para Filosuf dari ilmuwan yang terkenal di masa itu adalah Baha’uddin Al-Syairazi, ahli berbagai macam ilmu; Sadr al-Din al-Syairazi, seorang filosuf yang menulis Al-Hikmah al-Muta’aliyah; Muhammad Baqir Astarabaqi (pendiri aliran Isfahan) ahli berbagai pengetahuan termasuk peneliti kehidupan lebah-lebah.
Selain pendidikan (khususnya filsafat ) yang berkembang pada saat itu (kepemimpinan Syah Abbas I) unsur seni sangat ditonjolkan pada arsitektur bangunan-bangunannya, misalnya adalah dua masjid yang sangat indah;  yaitu masjid Syah dibangun pada 1611 M. dan masjid Syekh Luth Allah dibangun pada 1603 M. unsure seni juga ditampakkan pada kerajinan 6tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian, tenunan, mode, tembikar, dan lainnya. Bizad seorang pelukis kenamaan, pernah didatangkan ke Tabriz pada maa sultan Tahmasp pada 1522 M. [15]. Selain itu ada juga Riza-I Abbari (w.1635 M) , yang menghasilkan miniatur-miniatur impian dan berkilauan. Isfahan berubah menjadi kota taman, istana dan lapangan terbuka yang luas dengan banyak masjid dan madrasah.[16]












KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dijelaskan dapat dipertegas bahwa Persia merupakan daerah yang telah berkebudayaan tinggi sebelum Islam datang, sehingga ketika Islam telah masuk ke daerah tersebut bisa dengan mudah memoles kebudayaan yang ada dengan nilai-nilai keislaman. Dari kebudayaan tinggi tersebut, Persia telah mempengaruhi kebudayaan dan peradaban umat manusia di muka bumi.
Sebagai kerajaan yag berkesempatan berkuasa di Persia Syafawi termasuk salah satu dari tiga  kerajaan besar pada masa itu. Kebudayaan Persia kuno sedikit banyak juga mempengaruhi pola pemerintahan Syafawi hal tersebut tampak pada masa kepemimpinan Ismail yang mengklaim dirinya sebagai titisan “Tuhan” hingga menuntut ketaatan mutlak kepada pengikutnya. Dan sejak tahun pertama kekuasaanya, Ismail telah membentuk suatu jabatan yang disebut vakil-i nafs-i nafis-humayun yaitu jabatan wakil Syah, baik sebagai pemimpin politik (padishah), maupun sebagai pemimpin spiritual.
      sejak diresmikannya kerajaan Syafawi oleh Ismail I dan berakhirnya pada masa Abbas III maka kekuasaan kerajaan Syafawi diperkirakan sekitar dua abad (1501-1722 M) dengan 12 sultan yang memimpinnya dapat dibagi menjadi tiga fase perkembangan struktur :
1.      Periode peralihan, ketika terjadi banyak perubahan dan penyesuaian struktur administrasi pemerintahan (1501 M-1588 M)
2.      Syah Abbas I melakukan penataan kembali system administrasi Safawi  (1588 M – 1629 M )
3.      Fase kemunduran yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan Syafawi (1629M- 1722 M ) 
Kemunduran Kerajaan Syafawiyah pada awalnya ditandai oleh ketidakcakapan para penguasanya untuk mengendalikan system pemerintahan. Selain itu, sejumlah raja pasca Syah Abbas I hamper tidak memiliki perhatian terhadap persoalan social kemasyarakatan dan kenegaraan. Hingga akhirnya pada tahun 1722 M kerajaan Syafawi yang telah berkuasa selama 222 tahun (1501-1722), jatuh ke tangan pasukan Afgan dengan kekuatan militer 20.000 prajurit.[17]


DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, Karen, 2003. Islam a Short History; Sepintas Sejarah Islam, Terj,.Ira Puspito Rini. Yogyakarta: Ikon Teralitera.

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam/ Editor Taufik Abdullah …[et al]. 2002. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.

Ensiklopedi Islam / editor bahasa, Nina MArmando…[et al]. 2005. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Nurhakim, Moh, 2004. Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press.

Sunanto, Musyrifah, 2003. Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media.

Yatim, Badri, 1998, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.


    [1] Karen Amstrong, Islam: a short history, sepintas sejarah Islam, terj. Ira Puspito Rini (Jogjakarta: Ikon Teralitera, 2003), hal. Xi.
    [2] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UMM Press, 2004), hal. 5-6
   [3]. Istilah “Persia” muncul ketika bangsa Arya (ras Indo-Eropa) menetap setelah menyerbu Iran sekitar 2000 SM. Mereka berasal dari oase di timur dan utara laut Kaspia. Pada 549 SM Cyrus Agung mendirikan Kekaisaran Persia. Pada 641 M, Persia jatuh ke tangan Islam. Setelah itu muncul dinasti kecil seperti Samaniyah, Ghaznawiyah, dan Saljuk .Lihat Ensiklopedi Islam / editor bahasa, Nina M Armando [et al…]. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005. hal. 294   
   [4]  Ibid, hal. 294-295
   [5] Ibid
   [6] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam / Editor Taufiq Abdullah..[et al.]. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) hal, 263.
   [7] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta; Prenada Media, 2003) hal, 243
   [8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998) hal, 138
   [9] Syeh Safiuddin selain sebagai guru tarekat (mursyid), juga pedagang dan politisi, namun beliau tidak terlalu tertarik kepada dunia perpolitikan, dan lebih tertarik untuk mengislamkan orang Mongol, penganut agama Budha. Ia sendiri adalah seorang Sunni. Popularitasnya tidak terbatas hanya di wilayah Ardabil barat laut Iran. Jaringan para murid dan wakilnya (khalifah) terbentang dari wilayah Oxus sampai teluk Persia, dan wilayah kaukasus sampai Mesir. Lihat Ensiklopedi Tematis Dunia Islam / Editor Taufiq Abdullah..

       [10]  Moh. Nurhakim, Op Cit,. hal. 141
   [11] Badri Yatim, Op Cit,. Hal. 143
   [12] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Op Cit. hal. 264
   [13]  Ibid,. hal. 268
   [14] Ibid,. hal. 269
   [15] Moh. Nurhakim, Op Cit,. hal 144
   [16] Karen Amstrong, Op Cit,. hal. 141.
   [17] Baca Ensiklopedi Tematis Dunia Islam.

Belajar Dari Sang Penyair SEJATI

Muhammad Iqbal
Sang Penyair Pencetus Pakistan

PENDAHULUAN

Islam patut bangga memiliki tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia di dunia. Seperti Ibnu Sina bapak kedokteran, Al-Ghozali seorang filsuf terkemuka sekaligus bapak pendidikan, Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi, bapak penemu angka ‘nol’, Jabir Ibn Hayyan Al-Kufi, perintis kimia moderen, Ibnu Majid, navigator penemu kompas moderen dan masih banyak lagi tokoh yang sangat berpengaruh di muka bumi. Lebih-lebih Muhammad Rasulullah SAW, seorang pemimpin bijaksana, pedagang handal, panglima pemberani, manusia berakhlaqul karimah sebagai teladan yang paling sempurna bagi umat manusia.
Diantara tokoh-tokoh terkemuka tersebut, ada seorang penyair yang filosof sekaligus politisi ulung dan diakui sebagai salah seorang reformis (mujaddid) Islam abad 20. gagasan-gagasannya yang cemerlang tak pelak lagi membawa angin pencerahan bagi umat Islam yang sedang mengalami penjajahan di berbagai pelosok dunia, bahkan memberikan kontribusi yang tidak kecil artinya bagi kelahiran sebiah Negara yang kita kenal dengan Pakistan. Tokoh terkemuka adalah Muhammad Iqbal sang penyair dari Timur.
Untuk mengenal lebih dekat tentang Muhammad Iqbal, telah ditulis dalam makalah ini mengenai sejarah hidupnya, kondisi sosial yang mempengaruhi karnyanya, metode pemikiran tentang Islam, pengaruhnya bagi perkembangan pemikiran Islam dan beberapa hal lainnya mengenai Muhammad Iqbal. Penulis berharap, makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan tentang salah satu tokoh Islam yang telah berjuang demi kesejahteraan umat manusia. Semoga mampu menjadi secerah sinar inspirasi dan motivasi bagi generasi Islam dalam mensyiarkan cahaya Ilahi di masa selanjutnya.








PEMBAHASAN
A. Tentang Iqbal
Muhammad Iqbal dilahirkan pada 22 Februari 1867 bertepatan bulan Dzulhijjah 1289 H di Sialkot, kota tua di perbatasan antara Punjab Barat dengan Kashmir India. Berasal dari keluarga menengah keturunan Brahmana Kashmir yang telah memeluk Islam kira-kira setengah abad sebelum Iqbal lahir.
Kakek Iqbal, Muhammad Rafiq, bermigrasi dari kediaman nenek moyangnya di Khasmir untuk bermukim di Sialkot. Ayahnya, Syeih Noor Muhammad, adalah seorang sufi dan sangat mementingkan nilai-nilai kerohanian. sedang ibunya, Imam Bibi, juga dikenal sebagai muslimah yang salehah. Di bawah pimpinan spiritual ayahnya, dan pengawasan gurunya yang terkenal, Maulana Mir Hasan, perkembangan pertama kerohanian dan pikiran Iqbal telah berlangung.
Sejak lahir Iqbal telah menunjukkan sebagai anak yang luar biasa, menjadi mahasiswa cerdas dan mulai menulis sajak sejak sekolah. Ketika itu Iqbal mengirimkan karyanya kepada seorang yang terkenal menguasai sastra Urdu yang bernama Dagh (1831-1905) untuk dikoreksi. Dagh bersedia melakukan hal tersenbut, namun beberapa bulan berlalu Dagh memberitahukan Iqbal bahwa sajak-sajaknya tak memerlukan perbaikan lagi.
B. Perkenalan dengan Filsafat
Pada 1895, Iqbal telah menyelesaikan pendidikannya di Murray College Sialkot. Kemudian pindah ke Lahore untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Lahore, merupakan salah satu kota pusat pengetahuan, seni dan kebudayaan India. Di kota ini juga dibentuk berbagai perhimpunan sastra yang sering mengadakan symposium sastra, dan Iqbal embacakan sajak-sajaknya. Dalam waktu yang singkat Iqbal membangun reputasinya dan menjadi bintang di dunia sastra hingga beberapa sajaknya diterima oleh berbagai jurnal dan mendapatkan resensi. Nampaknya dari kota inilah Iqbal mulai dikenal sebagai penyair yang berbakat dan professional.
Pada 1897 Iqbal menyelesaikan program BA dan dilanjutkan ke program MA dalam bidang filsafat. Selama menyelesaikan pendidikannya di Lahore, Iqbal bertemu dengan Sir Thomas Arnold, pengajar Filsafat di sekolahnya yang kemudian mengenalkannya pada kesusastraan dan pemikiran Barat.
Sir Thomas mendorong Iqbal untuk melanjutkan studinya ke Inggris, maka pada 1905, berangkatlah Iqbal ke Cambridge University untuk mendalami filsafat. Di sana ia dibimbing oleh RA Nicholson, seorang spesialis sufisme dan John ME Taggart, seorang neo-Hegelian. Pada masa inilah, hari-hari yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan pemikirannya, Iqbal seringkali mengunjungi perpustakaan Cambridge, London dan Berli. Ia mengadakan diskusi-diskusi dengan para pemikir dan sarjana Eropa. Ia belajar filsafat di bawah bimbingan John ME Taggart. Dua tahun kemudian Iqbal pindah ke Munich, Jerman dan di sanalah Iqbal menyabet gelar PhD dalam studi Tasawuf dengan mengajukan disertasi berjudul ‘The Development of Methaphysics in Persia’ (Perkembangan Metafisika di Persia).
Setelah mendapat gelar tersebut, Iqbal ke London dan muali belajar keadvokatan sambil mengajar bahasa dan sastra Arab di Universitas London. Tahun 1908, ia kembali ke Lahore dan mengajar di Government College pada mata kuliah filsafat dan sastra Inggris sambil menggeluti profesi pengacara.
Menetap 3 tahun di Eropa memberi kesempatan kepada Iqbal untuk mempelajari serta mengamati pengetahuan dan peradaban Barat secara dekat. Dari hasil pengamatan ini, Iqbal menyimpulkan jika peradaban Barat yang kala itu menjadi peradaban yang dikagumi masyarakat dunia, kususnya orang Timur, merupakan peradaban yang terbelenggu dalam ketelanjangan. Hingga akhirnya dari yang mulanya mengagumi peradaban Barat, menjadi pengritik.
Masa tinggalnya di Eropa dan kunjungannya ke Spanyol dan SIsilia, memberi kesadaran bagi Iqbal tentang kejayaan Islam pada masa lampau dan menggugah kesadarannya terhadap kesuraman dan kegelapan yang dialami dunia muslim. Kesadaran itu juga telah menyalakan hasrat di dadanya untuk memberi semangat baru kepada kaum Muslim. Setelah sekembalinya dari Eropa, ia mengungkapkan hasratnya yang menyala ini dalam puisi yang kini sangat terkenal, yang ditujukan kepada Sir Abdul Kadir.
C.Perkenalan dengan Politik
Terjunya Iqbal di dunia Politik, dimulai ketika ia mulai ambil bagian dalam kehidupan politik di negerinya. Ia terpilih menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab di tahun 1927 dan pada tahun 1930 dipilih sebagai presiden tahunan dari liga Muslimin. Selama periode inilah ia menguraikan rencananya untuk pemecahan masalah-masalah Anak Benua India. Ia menjadi pendukung gagasan tentang sebuah Negara Islam di wilayah Timur Laut India, dan sejak saat itu pendukung-pendukung Pakistan menganggapnya sebagai pemimpin mereka.
Walaupun mengecap pendidikan di Barat, negeri asal kapitalisme dan imperialisme saat itu, Iqbal tidak mengambil mentah-mentah faham dari Barat. Kapitalisme dan imperialisme Barat tidak disetujuinya karena telah banyak dipengaruhi materialisme dan lari dari agama. Iqbal justru bersikap simpatik pada sosialisme, karena melihat ada segi-segi persamaan antara faham tersebut dengan Islam.
Sedangkan di bidang politik, setelah menjadi presiden Liga Muslim, Iqbal menjadi semakin aktif dan bersemangat memperjuangkan nasib bangsanya untuk merdeka dari imperialis Inggris. Awalnya Iqbal adalah pendukung kemerdekaan India dan menyokong bersatunya umat Hindu dan umat Islam dalam satu Negara, tetapi kemudian ia mengubah pandanganya. Konsep nasionalisme India yang mencakup umat Hindu dan umat Islam sebenarnya bagus, menurut dia, namun lebih jauh dalam pandanganya hal itu hanya utopia belaka karena keduannya bagaikan minyak dan air yang sulit untuk disatukan, Iqbal mencurigai adanya konsep Hinduisme di belakang nasionalisme India tersebut. India memiliki dua komunitas agama besar yang masing-masing kuantitasnya cukup signifikan, maka jika mengacu pelaksanaan demokrasi, realitas tersebut haruslah diperhatikan.
Tuntutat umat Islam untuk memperoleh kemerdekaan dan Negara terpisah dari India menurutnya wajar dan perlu. Konsep pembentukan Negara Islam ini pun dituangkan dalam rapat tahunan Liga Muslim pada tahun 1930, Iqbal menyatakan “saya ingin melihat Punjab, daerah perbatasan utara Sindhi dan Bulukhistan menjadi satu Negara” dari sanalah garis perjuangan umat Islam India ditancapkan.
Dalam pembentukan Negara Pakistan ini, pembaharu-pembaharu Muslim di India sebelumnya, memegang peranan yang cukup penting dalam mewujudkan terbentuknya sebuah Negara yang diidam-idamkan oleh komunitas Muslim India tersebut. Sebutlah nama Sayyid Ahmad Khan dengan ide agar umat Islam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, kemudian ada Sayyid Amir Ali dengan ide agar umat Islam tidak menolak modernisme, Iqbal dengan konsep dinamikanya, semuanya dalam tataran ide dan langkah nyata untuk membantu upaya-upaya Muhammad Ali Jinnah, Bapak Pakistan, dalam mewujudkan sebuah Negara Pakistan yang kita kenal saat ini.
Dalam bidang pembaharuan Islam, Iqbal berpendapat bahwa kemunduran umat Islam, selama 500 tahun terakhirdisebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Dengan alas an untuk mempersatukan umat, sebagian ulama membuat syariat menjadi alat untuk membuat umat menjadi junub, dengan cara menutup pintu ijtihad, seolah-olah qaul ulama terdahulu adalah sesuatu yang sacral dan tak boleh diperdebatkan. Padahal menurut Iqbal hukum tidak statis, tetapi dapat berkembang sesuai perkembangan zaman.
Ijtihad tidak boleh tertutup, kebebasan menggunakan rasio dan berpikir harus dikembangkan. Secara prinsip, lanjutnya Islam mengajarkan dinamisme, al-Qur’an selalu menganjurkan pemakaian akal serta ayat atau tanda kekuasaan yang terdapat dalam alam raya. Orang yang tidak peduli dengan tanda-tanda itu akan ‘butek’ (buta tekhnologi) dan ketinggalan. Islam mengajarkan dinamisme untuk maju dan berkembang. Islam pun mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Satu hal yang prinsipil adalah ijtihad. Iqbal dalam syair-syairnya mendorong umat Islam agar selalu bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak dan hukum hidup adalah berkreasi, maka Iqbal dengan semangat tinggi mengajak umat Islam agar bangkit dari ‘tidurnya’ dan berkreasi, menciptakan tatanan dunia baru. Bahkan, begitu tingginya Iqbal menghargai gerak sampai-sampai ia menyatakan bahwa seorang kafir yang aktif dan gesit lebih baik daripada seorang Muslim yang suka tidur.
D. Mengenal Pemikiran Iqbal
Mengenai pemikirannya, secara umum Iqbal merupakan penyair yang filosof dalam artian karya-karya puisi bukanlah puisi biasa tanpa terkandung maksud dan tujuan. Tetapi bakat Iqbal dalam menuangkan pemikirannya tidak hanya masalah politik atau seni tapi juga masalah lain. Diantaranya adalah pandangan Iqbal tentang Tuhan, seperti penjelasan berikut:
1. Tuhan Bagi Iqbal
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Pemikiran Iqbal tentang Tuhan dapat diperiodesasikan secara sederhana ke dalam tiga periode;
a.1901-1908 : Masa Kelahiran
Iqbal menyakini Tuhan sebagai keindahan abadi, yang ada tanpa tergantung pada dan mendahului segala sesuatu, dan karena itu menampakkan diri dalam semuanya itu. (28)pada dasarnya pemikiran itu bersifat Platonis, bahwasanya Plato juga menganggap tuhan sebagai keindahan abadi, sebagai alam universal yang mendahului segala sesuatu dan terwujud pada kesemuannya itu sebagai bentuk.
b.1908-1920 : Masa Pertumbuhan
Kunci untuk memahami masa ini adalah perubahan sikap Iqbal ke arah perbedaan yang ia tarik antara keindahan sebagaimana tampak pada segala sesuatu, di satu pihak, dan cinta kepada keindahan pada pihak lainnya. Sikap tersebut bermula dari kesangsian yang memunculkan semacam pesimisme, yang menyelinap ke dalam dirinya, tentang sifat kekal dari keindahan dan efisiensinya serta kausalitas-akhirnya.
Tuhan menyatakan dirinya bukan dalam dunia terindera melainkan dalam pribadi terbatas; dank arena itu usaha mendekatkan diri kepadaNya hanya dimungkinkan lewat pribadi. Dengan demikian, mencari Tuhan bersifat kondisional terhadap pencarian diri sendiri. Demikian pula, tuhan tidak bias diperoleh dengan meminta-minta dan memohon semata, karena hal seperti itu menunjukkan kelemahan dan ketidak berdayaan. Mendekati Tuhan haruslah konsisten dengan ketinggian martabat pribadi.manusia harus mencari dengan kekuatan dan kemauannya sendiri.
c.1920-1938 : Masa Kedewasaan
Di tahun ini Iqbal mengumpulkan unsur-unsur dari sintesisnya dan kini menghimpunya dalam suatu sistem yang menyeluruh. Tuhan adalah “hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual – dalam arti suatu individu dan suatu ego.Ia dianggap sebagai ego karena, seperti pribadi manusia, Dia adalah“. Suatu prinsip kesatuan yang mengorganisasi, suatu paduan yang terikat satu sama lain yang berpangkal pada fitrah kehidupan organisme-Nya untuk suatu tujuan konstruktif”. Tepatnya, Dia bukanlah ego melainkan Ego mutlak. Dia bersifat mutlak karena Dia meliputi segalanya, dan tidak ada sesuatupun di luar Dia.
Mengenai konsep Wahdah al-Wujud Iqbal memiliki perspektif bahwapengidentifikasian keinginan pribadi dengan kehendak Tuhan melalui cara penyempurnaan diri, bukan penafian diri. Kehendak manusia pada posisi demikian menjadi otonom, tetapi tetap dalam koridor bimbingan Ilahi. Iqbal tidak serta merta mengakui kedaulatan postulat milik Descartes, cogito ergo sum, karena eksistensi manusia tidak ada hanya dengan melakukan kegiatan berpikir untuk mengeksiskan diri. Intelektualisme yang hanya mendewakan rasionalitas tidak akan eksis tanpa ada aktivisme yang berdimensi praktis.
2.Keindahan dan Seni Bagi Iqbal
Selain pemikirannya tntang Tuhan, Pandangan membuat Negara Islam di Pakistan, Iqbal juga memiliki rumus tersendiri mengenai keindahan dan seni. Menurut Iqbal dengan mengikuti tradisi Neo-Platonis, Iqbal menganggap keindahan sebagai abadi, dan sebagai sebab yang efisien dan final dari segala macam cinta, setiap hasrat, dan semua gerak.
Dalam masa pertama dan kedua pemikiran Iqbal, ia menganggap keindahan menciptakan cinta. Namun pada masa berikutnya, yang berlangsung dari tahun 1920 hingga akhir hidupnya, proses penciptaan yang terjadi adalah sebaliknya. Sekarang, kehendak akan kekuasaan atau tenaga – ego menjadi pencipta keindahan. Esensi dari hakikat bukan lagi keindahan, tetapi cinta atau kemauan sang ego. Tuhan, Ego Tertinggi. Dia adalah pencipta alam semesta. Manusia juga adalah ego merdeka, dan seperti Dia, pencipta segala sesuatu. Tuhan membuat alam, tetapi manusialah, sebagai wakil Tuhan, yang membuatnya indah. Dengan kemampuannya ini, manusia dapat menghadapi penciptannya dengan kebanggaan.
Iqbal memandang kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni, sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia.
Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang Maha Hidup mencipta dan menggerakan semesta. Selain itu, hidup manusia pada dasarnya tidaklah terpaksa melainkan sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadikannya bermakna. Karena itu, dalam pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata.
Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal tersebut disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan “hal baru” bagi kehidupan.
Konsep-konsep seni dan keindahan Iqbal tersebut hampir sama dengan teori seni Benedetto Croce (1866-1952 M), seorang pemikir Italia yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya, seni adalah kegiatan kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika dan logika.
Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman1. Dengan pernyataan seperti ini, teori Croce berarti terdiri atas empat hal, (1) bahwa seni adalah kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam pertimbangan etis, (2) bahwa kegiatan seni berbeda dengan kegiatan intelek. Seni lebih merupakan ekspresi diri atas pengalaman individu (intuitif) dan menghasilkan pengetahuan langsung dalam bentuk individualitas kongkrit, sedang intelek lebih merupakan kegiatan analitis dan menghasilkan pengetahuan reflektif. (3) bahwa kegiatan seni ditentukan oleh perkembangan kepribadian seniman, (4) bahwa apresiasi adalah penghidupan kembali pengalaman-pengalaman seniman di dalam diri penanggap.
Pandangan seni Iqbal tidak berbeda dengan teori Croce tersebut, kecuali pada bagian pertama. Iqbal menolak keras kebebasan seni dan keterlepasaannya dari etika. Iqbal justru menempatkan seni dibawah kendali moral, sehingga tidak ada yang bisa disebut seni betatapun ekspresifnya kepribadian sang seniman kecuali jika mampu menimbulkan nilai-nilai yang cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan dan aspirasi baru bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat. Dengan demikian, gagasan seni Iqbal tidak hanya ekspresional tetapi sekaligus juga fungsional.
3. Karya Iqbal
Menjelang kembali dari Eropa, Iqbal menulis sajak-sajaknya yang membuka pintu baru bagi pemikiran dunia Islam Syikwa dan Jawab-i-Syikwa (keluhan dan jawaban terhadap keluhan) yang menjadi saksi tentang perubahan yang terjadi dalam dirinya. Ia merumuskan risalahnya yang pertama kali dalam Asrar-i-Khudi dan Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia Pribadi dan Misteri Peniadaan Diri) yang masing-masing diterbitkan dalam tahun 1915 dan 1918., yang ditulis dalam bahasa Persi.
Asrar-i-Khudi, yang memberi gambaran tentang tema pusat dari filsafat Iqbal, karya tersebut membuat seorang Profesor R.A. Nicholson sangat terkagum-kagum karena kekuatan yang dimiliki sajak tersebut, sehingga ia menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris dan diterbitkan tahun 1920.
Rumus-i-Bekhudi membicarakan subyek yang serupa. Sajak tersebut merupakan himbauan untuk peningkatan individual yang ditujukan pada kebangunan kembali semua orang dalam suatu masyarakat Islam yang sejati. Dalam Bang-i-Dara (Panggilan Lonceng), sebuah kumpulan sajak dalam bahasa Urdu, ditemukan keseimbangan yang penuh antara penyair dan filosof. Pada 1923 muncul Payam-i-Masyriq (Risalah dari Timur) yang ditulis sebagai pasangan “Divan”nya Goethe, dan merupakan sebuah kumpulan sajak dalam Bahasa Persi. Ia memperlihatkan kecakapan tingkat tinggi dan penguasaan yang sempurna dalam bahasa. Karya-karya Iqbal yang telah disebutkan merupakan sekelumit dari karyannya yang dapat ditulis dalam makalah ini. Dan masih banyak lagi karya Iqbal yang telah menjadi kekayaan berharga dalam khazanah keilmuan Islam.

KESIMPULAN
Umat Islam India patut bersyukur karena memiliki tokoh hebat yang telah memberikan pencerahan dalam membangun semangat berjuang menuju kemerdekaan dari belenggu keterpurukan dan kemerosotan Islam multi dimensi. Muhammad Iqbal sang penyair, penulis prosa, filosof, ahli bahasa, ahli hukum, politisi, guru dan berbagai kecakapan lain yang dimiliki telah mewariskan semangat perjuangan menuju pembebasan dari belenggu penjajahan bangsa lain. Dialah yang memimpikan Pakista dan pada 1930 menguraikan skema suatu Negara Islam di anak benua itu dalam pidato pembukaan sidang Liga Muslim seluruh India di Allahabad.n (yang akhirnya dapat terbentuk Negara Pakistan pada 1947 setelah beliau meninggal dunia) itulah warisan terbesar yang telah dititipkan Iqbal kepada kaum Muslim. Pandanganya mengenai pendidikan telah diuraikan oleh K.G. Saiyidain dalam karyanya “Filsafat Pendidikan Iqbal”
Pemikiran Iqbal yang cemerlang tidaklah terlepas dari didikan kedua orang tuanya yang telah menanamkan kekritisan dan kedisiplinan sejak kecil, serta guru-gurunya yang telah membimbing dan mendorongnya untuk terus berkarya dan juga teman-teman diskusinya yang telah membuka wawasan berpikirnya. Iqbal telah menempatkan kita pada jalan yang benar kearah pencapaian kehidupan dan pemikiran yang paling tinggi. Ia telah mengantarkan kita melewati jalan panjang dengan tuntunanya. Kemudian ia meninggalkan kita dengan berkata: Jangan berhenti; teruslah berjalan. Engkau mencapai tingkat demi tingkatan. Jangan berhenti di antara salah satu tingkatan itu ambillah selalu yang paling akhir. Teruslah mendaki dan mendaki hingga ke ketinggian yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Tidak ada batas bagi prestasimu, asalkan engkau tetap gigih
Iqbal, Filosof penyair itu wafat pada tahun 1938 M, tetapi semangat dan pengaruhnya masih membekas di dada generasi-generasi penerusnya. Sebelum wafat, ia sempat bersyair di hadapan sahabat-sahabat setianya. “Ku katakan pada mu bahwa seorang Mukmin, jika maut datang senyumnya kan merekah di bibir”.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Terj Tim Pustaka Firdaus (1987) Jakarta:Pustaka Firdaus

Luce, Miss-Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj Djohan Effendi (1981) Jakarta: Pustaka Kencana
Pemikiran Pembaharuan Muhammad Iqbal,diakses dari www.lfaliqi's Blog, com,diakses 9 Januari 2011
RA Gunadi, penyuting, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol (2002) Jakarta : Republika
Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil.(1993) Jakarta: Mizan.

Asalnya UIN...

Periodesasi Pertumbuhan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia (PTAI)

Oleh: Ika Romika Mawaddati
NIM. 201010290211017
Keinginan umat Islam untuk mendirikan perguruan tinggi telah terbersit sejak Belanda bercokol di tanah air. Namun keinginan tersebut masih dalam bentuk rancangan dan tahapan agitasi. Hingga akhirnya keinginan tersebut terwujud dengan banyaknya PTAI di Indonesia yang telah berkembang hingga saat ini. Bagi umat Islam kehadiran lembaga pendidikan tinggi sangat penting guna menjaga eksistensi Islam di Indonesia sebagai agama Rahmatan lil Alamin. Bagaimana perjalanan munculnya PTAI hingga berkembang sampai sekarang? Berikut penjelasan singkat PTAI di Indonesia.
Perjalanan PTAI Indonesia dapat diperiodesasikan dalam tiga periode:
1. Periode Perintisan (Pra Kemerdekaan ; 1930 – 1948 )
2. Periode Pertumbuhan (Pasca Kemerdekaan ; 1948 – 1957 )
3. Periode Perkembangan (Munculnya IAIN, STAIN dan UIN ; 1957 – sekarang )
Berikut penjelasan singkat mengenai ketiga periode tersebut:
1. Periode Perintisan (Pra Kemerdekaan ; 1930 – 1948 )
Pada periode ini, PTAI masih dalam bentuk wacana dan keinginan yang membuncah di kalangan tokoh muslim, wacana yang masih berbentuk hasutan mulai berkembang sejak 1930-an. Wacana ini semakin matang ketika Muhammadiyah dalam muktamar 1936 di Jakarta memutuskan mendirkan universitas Islam. Hanya, keseriusan ini baru sampai tahap agitasi. Pada 1938 Satiman Wirjosudjoyo dalam Pedoman Masyarakat No. 15 tahun IV melontarkan gagasan akan pentingnya lembaga pendidikan tinggi Islam.
Tepat tanggal 8 Juli 1945 bersamaan dengan peringatan Isra’Mi’raj Nabi Muhammad SAW 1364 H. Dengan bantuan Jepang, didirikanlah Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, di bawah pimpinan A. Kahar Muzakkir. STI adalah realisasi kerja dari Yayasan / Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam pimpinan Moh. Hatta dan M. Natsir. STI bertujuan untuk mengeluarkan alim ulama yang intelektual.
STI ternyata tidak bertahan lama di Jakarta, karena pada Desember 1945, sekutu di bawah pimpinan Jenderal Cristianson, menutup STI sementara waktu. Baru pada 10 April 1946 dibuka kembali dan dipindahkan ke Yogyakarta seiring berpindahnya ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Untuk perbaikan STI maka, pada November 1947 dibentuk panitia perbaikan STI untuk dikonversi menjadi universitas. Tepat pada 10 Maret 1948, STI berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan empat fakultas; Agama, Hukum, Pendidikan dan Ekonomi.
2. Periode Pertumbuhan (Pasca Kemerdekaan ; 1950 – 1957 )
Disebut periode pertumbuhan, karena setelah UII hadir di Yogyakarta, muncullah sekolah tinggi Islam lainnya. Sekolah tinggi yang berikutnya adalah Pertungguan Tinggi Islam Indonesia (PTII) di Solo tanggal 22 Januari 1950 yang dipelopori Moh. Adnan, Imam Ghozali dan Tirtodiningrat. Namun, satu tahun kemudian, pada 20 Februari 1951 PTII di Solo bergabung dengan UII Yogyakarta.
Dengan bergabungnya PTII dengan UII maka, di Yogyakarta ada dua universitas; UII dikelola kelompok Islam dan UGM oleh kelompok nasionalis. Sebagai bentuk penghargaan atas dua universitas tersebut, pemerintah menawarkan pe-negeri-an UII dan UGM. UGM menyambut baik tawaran itu dan menjadi negeri di bawah kementrian PP&K. Sedangkan, UII menerima dengan syarat harus di bawah kementrian agama. Akibatnya, hanya Fakultas Agama UII yang bisa dinegerikan. Hingga akhirnya Fakultas Agama menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) dengan PPN no.34 tahun 1950, dan resmi dibuka pada 26 September 1951.
Setelah PTAIN berdiri di Jogyakarta 1951, enam tahun kemudian berdiri pula Akademi Dinas Agama Islam (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan penetapan Menteri Agama no.1 tahun 1957 di Jakarta.Dari dua perguruan tinggi Islam inilah Institut Agama Islam (IAIN) lahir dan menjadi titik tolak perkembangan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia pada tahun-tahun berikutnya.
3. Periode Perkembangan (Munculnya IAIN, STAIN dan UIN ; 1957 – sekarang )
IAIN yang muncul atas bergabungnya PTAIN dan ADIA tahun 1957 merupakan wujud dari cita-cita kaum Muslimin sejak Belanda menjajah Indonesia dan menjadi awal berkembangnya sekolah tinggi Islam lainnya. Kemunculan pertama diawali di Aceh, pada akhir September 1959 Gubernur Aceh Hasjmy dan Menteri PP&K Dr. Prijono dan Menteri Agama Kyai Wahib Wahab melakukan perundingan untuk mendirikan Fakultas Agama Islam Negeri di Kampus Darussalam. Dengan proses yang berliku akhirnya Fakultas Agama Islam Negeri di Aceh berubah menjadi IAIN Aceh dan baru diresmikan tahun 1962.
Pada 9 Mei 1960 dikeluarkan peraturan Presiden no.11 tahun 1960 tentang pembentukan IAIN, hingga akhirnya IAIN yang terbentuk atas gabungan PTAIN di Jogyakarta dan ADIA di Jakarta baru diresmikan pada 24 Agustus 1960, di mana PTAIN Yogyakarta memiliki dua fakultas (Ushuluddin dan Syari’ah) sebagai induk. Sementara ADIA juga dua fakultas (Tarbiyah dan Adab) sebagi cabangnya.
Dari IAIN Yogyakarta inilah akhirnya berkembang cepat fakultas-fakultas cabang di kota-kota besar nusantara. Begitu pesatnya perkembangan tersebut, hingga akhirnya pemerintah mengeluarkan regulasi pembentukan IAIN mandiri. Pada 1963, dikeluarkan peraturan presiden yang memungkinkan didirikannya suatu IAIN yang terpisah dari pusat. Maka ADIA yang semula menjadi cabang IAIN Yogyakarta terlepas dari induknya dan menjadi IAIN kedua setelah Yogyakarta.
Bertepatan dengan lustrum pertamanya., menteri agama mengeluarkan keputusan no 26 tahun 1965 yang menyatakan bahwa terhitung sejak 1 Juli 1965, nama IAIN Yogyakarta dilengkapi dengan nama salah satu walisongo yaitu Sunan Kalijaga, dan IAIN Jakarta dengan Syarif Hidayatullah. Kini, terdapat 14 buah IAIN yang tersebar di berbagai pelosok tanah Air, termasuj IAIN terakhir di Sumatera Utara yang diresmikan Menteri Agama Mukti Ali tahun 1973.
Setelah IAIN berkembang cukup pesat, maka tahun 1997, Keputusan Presiden no. 11 tahun 1997 tentang pendirian Sekolah Tinggi Islam Negeri (STAIN), yang melepaskan fakultas-fakultas cabang IAIN menjadi 33 perguruan tinggi mandiri dan terlepas dari 14 induk IAIN yang ada. Dengan berlakunya keputusan tersebut, maka semua fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi di luar IAIN induk diintegrasikan ke dalam lembaga pendidikan baru yaitu STAIN. Hingga akhirnya sampai saat telah terbentuk sekitar 33 STAIN di Indonesia.
Seiring perkembangan zaman, maka kebutuhan akan manusia-manusia cerdas juga semakin bertambah. Berdsarkan hal tersebut, IAIN / STAIN sebagi lahan pembetukan manusia cerdas yang berakhlaqul karimah berusaha memenuhi kebutuhan tersebut dengan terus berusaha memperbaiki kualitas pendidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan wacana konsep pengembangan IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Hingga akhirnya IAIN Jakarta telah merancang pengembanganya menjadi UIN yang telah dirancang sejak tahun 1990-an. Dan sekarang kita telah tahu bahwa IAIN Jakarta berubah menjadi UIN Syarif Hidayatullah kemudian IAIN Malang menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim.

Sumber Reverensi:
Khozin, (2006), Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Edisi Revisi), Malang: UMM Press.