Minggu, 07 Juni 2009

save our education

Menuju Masyarakat Mendidik
Tujuan Pendidikan
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Yang berarti dalam keadaan suci dan bersih. Fitrah itulah yang membawa potensi-potensi kebaikan dalam diri setiap insan. Harus dikembangkan demi mendapat kemanfaatan. Sebab, tanpa pengembangan, potensi itu tidak akan berarti dalam kehidupan. Karena, potensi itulah yang mengantarkan manusia menjadi makhluq yang berguna.
Sebagai upaya pengembangan dan penjagaan potensi, manusia memerlukan pendidikan. Dengan pendidikan, potensi-potensi kebaikan dapat berkembang menjadi potensi yang bermanfaat. Sebagai contoh ada manusia yang memiliki kemampuan menggambar, dikembangkan menjadi seorang pelukis, animator, arsitektur, dan sebagainya. Mereka yang berpotensi ngomong dapat dikembangkan menjadi guru, penceramah, konselor, motivator, orator, penyuluh dan lainya. Manusia yang pandai bergerak dapat mengembangkanya menjadi instruktur senam, pelatih silat, atletik, penari, danlainya. Manusia yang memiliki potensi untuk menulis dapat mengembangkanya menjadi penulis handal yang nantinya tulisan-tulisanya dapat bermanfaat bagi orang lain.
Selain potensi di atas, potensi mendasar yang dimiliki setiap manusia adalah potensi baik, senang kepada keteraturan dan kebersamaan. Semakin potensi itu dikembangkan maka dunia akan terpenuhi dengan manusia-manusia berhati mulia, mencintai kedamaian, ketentraman, dan saling tolong menolong. Sehingga, tidak ada lagi manusia-manusia rakus, perusak, menang sendiri, rela mengorbankan apa saja demi mencapai keinginanya.
Di sinilah letak pentingnya pendidikan. Secara mendasar, pendidikan sebagai pengembang serta penjaga potensi yang telah Tuhan anugrahkan kepada setiap insan. Potensi yang dikembangkan akan memudahkan manusia menjalani kehidupan. Seperti tujuan pendidikan Indonesia, yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar adalah, pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan Bangsa. Karena, bangsa yang cerdas akan mengatur negaranya sendiri sesuai dengan kepentingan rakyatnya, tanpa ada intervensi pihak luar.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia itu ibarat tanah yang gembur dan subur. Dan pendidikan ibarat air, pupuk yang ditabur serta pengolah tanah. Dengan demikian tanah yang diolah dengan baik, dapat menghasilkan berbagai macam hasil bumi yang bermanfaat. Tapi, meskipun tanah itu subur dan gembur tapi tidak ada air, pupuk, serta yang mengolah, maka tidak akan menghasilkan. Sehingga, ada dan tidak adanya tanah tidak ada bedanya.
Begitu juga manusia dengan potensinya, ketika dipelihara dengan pendidikan, manusia itu akan berguna bagi diri dan orang lain. Tapi jika potensi dalam diri dibiarkan, tanpa disentuh pendidikan, maka manusia itu tidak akan bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Sehingga, ada dan tidaknya manusia itu, tidak akan berarti apa-apa.
Proses Pendidikan
Tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, menyampaikan tri pusat pendidikan di Indonesia. Keluarga, sekolah dan masyarakat. Maksudnya adalah pendidikan dilaksanakan di tiga tempat pokok tersebut. Keluarga biasa disebut pendidikan informal, sekolah disebut pendidikan formal dan masyarakat disebut pendidikan nonformal.
Dari ketiga pusat lembaga pendidikan tersebut, satu yang menjadi bidikan pembahasan penulis, yaitu pendidikan nonformal di masyarakat. Pada hakekatnya, proses pendidikan adalah proses pembelajaran yang dilakukan orang yang lebih kepada yang kurang. Yang lebih besar kepada yang kecil, lebih paham kepada yang belum, lebih mengetahui kepada yang tidak, lebih memahami kepada yang kurang.Yang mana usaha tersebut dilakukan untuk menjadikan seseorang menjadi lebih baik.
Selain itu, pendidikan adalah sebuah pengalaman yang dapat menambah pengetahuan serta pemahaman seseorang tentang sesuatu. Dilihat dari proses mendapatkan pengalaman hidup, maka proses pendidikan di masyarakat dapat dipandang sebagai proses pendidikan, yang lebih komplek, lebih lengkap serta lebih lama dibandingkan sekolah. Karena, di masyarakat, proses pendidikan secara langsung, di mana seseorang itu masih hidup. Maka, akan terus belajar.
Materi pendidikan di masyarakat adalah setiap kegiatan dan tingkah laku masyarakat itu sendiri. Dari kebiasaan itulah materi pendidikan disampaikan kepada seluruh peserta didik di masyarakat. Apabila dapat meramunya dengan baik, akan menjadi obat yang mujarab. Tapi, jika tidak dapat meramu materinya, ibarat obat yang salah resep. Bukanya menyembuhkan, malah menyakitkan. Jadi, setiap kegiatan atau kebiasaan yang dibentuk dengan sebaik mungkin, akan berpengaruh secara baik bagi seluruh anggota masyarakat di dalamnya.
Masyarakat sadar adalah masyarakat yang mendukung visi misi pendidikan di sekolah. Contoh, seperti yang kita ketahui masa SD hingga SMA bahkan kuliah tidak terlepas dari tugas, ulangan harian dan ujian akhir. Bagaimana masyarakat jangan sampai mengadakan kegiatan seperti Pasar Malam, Panen Raya atau istilah lainya untuk perayaan-perayaan desa, di waktu ujian anak-anak sekolah. Para pelajar di biasakan untuk berlaku sopan di sekolah. Masyarakat juga membiasakan diri berlaku sopan, menghormati yang tua, menyanyangi yang muda, di mana sekolah membiasakan peserta didiknya untuk rajin beribadah. Maka, masyarakat berusaha meramaikan sholat jamaah di masjid-masjid kampung.
Beberapa contoh tersebut, meskipun kelihatan sepele, tapi jika benar-benar dilaksanakan sangat berpengaruh sekali bagi proses pembelajaran generasi muda. Secara tidak langsung, masyarakat telah membantu sekolah dalam membentuk karakter peserta didiknya menjadi insan mulia. Di sekolah mereka menerima teori, di masyarakat mereka mempraktekkan. Hal tersebut merupakan bukti bahwa masyarakat telah menyadari betapa pentingnya peran kebiasaan masyarakat bagi proses pendidikan. Pendidikan sebenarnya adalah pendidikan di masyarakat, langsung dialami bagi setiap insan. Dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat.
Masyarakat Kita Sekarang
Jika berbicara masyarakat Indonesia, prosentasi pemahaman mereka tentang pentingnya peran masyarakat bagi proses pendidikan, masih sangat rendah. Hal tersebut terbukti dengan, sedikitnya perhatian masyarakat terhadap proses pendidikan, dan kurangnya pemahaman jika kebiasaan di suatu masyarakat akan mempengaruhi kualitas peserta didik.
Sering kita temui masyarakat mengadakan kegiatan hiburan di hari-hari efektif sekolah. Menjual barang-barang, tontonan-tontonan dan bacaan khusus dewasa di tempat umum. Sehingga, memudahkan remaja bahkan anak-anak ikut mengkonsumsinya. Yang tampak parah adalah pergaulan remaja saat ini. Sering ditemukan di alun-alun, taman kota, bioskop, dan tempat umum lainya. Remaja bermesraan, tanpa malu-malu. Padahal banyak anak-anak berkeliaran disekitarnya, dari situlah anak-anak yang cenderung meniru. Bahkan mudah sekali mempraktekkanya di usia yang belum waktunya.
Yang lebih parah adalah tontonan. Banyak kita temukan tontonan televisi jauh dari nilai edukasi, mulai dari segi pakaian, cerita, karakter, tingkah laku yang diperankan, sangat bertentangan dengan materi akhlaq yang diterima peserta didik di sekolah. Mereka dibiasakan berpakaian sopan di sekolah, setelah keluar sekolah mereka melihat berbagai model pakaian tren yang jauh dari kesopanan.
Dari fenomena kecil tersebut, wajar apabila proses pendidikan seakan hanya terasa di kelas saja. Bagaimana pelajar dibiasakan untuk berhemat, tidak membeli jika tidak benar-benar membutuhkanya. Tapi apa yang terjadi, baru beberapa meter keluar gerbang sekolah. Langsung disambut gerbang mall besar, lebih megah dan menarik di banding gedung sekolahnya. Peserta didik di latih untuk rajin beribadah, sholat jamaah di sekolah. Tapi setelah di rumah, musholla atau masjid kampung ternyata hanya berpenghuni ketika hari jum’at atau bulan-bulan rhomadhon saja.
Hendaknya, mulai detik ini kita harus memikirkan keadaan masyarakat kita yang perlu pemahaman. Betapa berperanya dan sangat berpengaruhnya kebiasaan-kebiasaan di masyarakat terhadap proses pembelajaran. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab Pak Guru dan Bu Guru di sekolah. Tapi, tanggung jawab kita semua.
Menuju Masyarakat Mendidik
Masyarakat dapat diartikan sebagai sekumpulan orang yang menempati suatu daerah, memiliki aturan dan nilai-nilai kebudayaan yang sama. Itu sebabnya, dengan banyaknya manusia dengan berbagai macam karakter serta kepribadian yang berbeda, ragam pendidikan yang diterima pun lebih berbeda-beda. Meliputi berbagai bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertian-pengertian, sikap dan minat atau pembentukan kesopanan dan keagamaan.
Saatnya kita tanamkan kesadaran masyarakat mendidik. Menjadikan kebiasaan-kebiasaan di masyarakat sebagai sarana pendidikan bagi generasi bangsa khususnya, dan masyarakat umumnya. Mulai dari yang paling sederhana dan mudah. Misalnya tidak berbicara kasar di sekitar anak-anak, membiasakan antri ketika membeli, meramaikan tempat ibadah di kampung-kampung atau desa, tidak berpacaran di tempat umum, tidak menjual barang-barang khusus dewasa di tempat umum, meramaikan kegiatan-kegiatan kepemudaan di lingkungan masyarakat, berpakaian sopan, dan kebiasaan-kebiasaan baik lainnya.
Dari kebiasaan-kebiasaan tersebut akan lahir norma di masyarakat. Kebiasaan baik akan lahir norma baik. Begitu juga sebaliknya, kebiasaan jelek akan melahirkan kebiasaan jelek pula. Kebiasaan yang telah melekat menjadi norma, tanpa kesepakatan tertulis dengan sendirinya akan menjadi peraturan yang harus dipatuhi. Sehingga, apabila ada yang tidak melakukanya, seakan-akan melakukan pelanggaran.
Sesuatu yang pada dasarnya salah, misalnya pakaian mini dan terbuka. Namun, apabila dipandang masyarakat sebagai sesuatu yang wajar dan biasa saja. Maka, hal tersebut menjadi biasa dan dihalalkan. Begitu juga berduaan di tempat umum, apabila masyarakat sudah menganggap hal itu wajar. Maka, kebiasaan itu juga menjadi hal biasa. Ketika tidak pergi ke masjid waktu adzan terdengar. Bukan sesuatu hal aneh, jika seluruh atau mayoritas masyarakat melakukannya.
Tetapi, sesuatu yang salah, akan tetap salah jika masyarakat tetap memegangnya sebagai sesuatu yang salah. Apabila masyarakat terbiasa sholat jamaah. Apabila, ada orang yang tidak melaksanakanya akan tidak enak, mau tidak mau pergi jamaah. Begitu juga jika masyarakat terbiasa berpakaian sopan dan tertutup. Tiba-tiba ada seseorang berpakaian terbuka. Maka, merasa aneh seperti melakukan kesalahan karena tidak seperti yang lain.
Kebiasaan-kebiasaan itulah proses pembelajaran sebenarnya, mudah dipahami, langsung dilaksanakan. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan. Kuncinya adalah bersatu bekerja sama untuk mewujudkanya. Bersama menciptakan masyarakat sejahtera dengan kebiasaan-kebiasaan mulia, sarana pembelajaran generasi muda. Ladang mempraktekkan ilmu di sekolah. Dengan kata lain, menjadikan pendidikan kita tidak hanya di sekolah tapi membawanya menuju masyarakat. Guru tidak cuma di kelas saja, tapi guru adalah seluruh masyarakat yang berusaha mengalirkan energi kebaikan bagi seluruh masyarakat. Menjadikan masyarakat sebagai pendidik bagi masyarakat sendiri. Menuju masyarakat mendidik, kita ciptakan kesejahteraan kehidupan bermasyarakat.
Ika Romika Mawaddati
FAI/ Tarbiyah
06110023
085259262230

semua sama

Kalah Menang Tetap Menang
Oleh : Ika Romika Mawaddati
Ika85_romik@yahoo.com
Mahasiswa Tarbiyah FAI UMM
Lahirnya manusia ke dunia merupakan hasil kompetisi, dari beribu-ribu sperma yang menyerang sell telur. Dari kompetisi itulah, hanya satu pemenang yang berhak membuahi sel telur. Hingga terlahir manusia-manusia tangguh sebagai pemenang tersebut. Itulah manusia, ditakdirkan untuk mengisi hidupya dalam kompetisi dan berlomba dengan lainya.
Jika melihat proses kejadian manusia, sperma yang kalah kompetisi harus menerima dengan legowo tanpa mengalami depresi. Dengan suka rela, mereka menyerahkan hak sepenuhnya kepada the winner untuk membuahi sel telur. Bayangkan, jika sperma-sperma yang kalah tidak legowo apa yang terjadi. Mungkin the winner tidak akan mampu menghasilkan manusia-manusia tangguh, karena rongrongan sperma-sperma yang kalah. Namun, demi keberhasilan dan kebaikan mereka menerima kekalahan dengan legow, ihklas dan besar hati.
Setelah lahir di dunia, manusia dituntut untuk terus berkompetisi, misalkan dalam hal pendidikan. Dimana, untuk mendapatkan sekolah impian, mereka harus berkompetisi dengan lainya. Pendidik pun harus berkompetisi dengan lainya jika ingin menjadi pegawai negeri. Bahkan, menjadi penjaga sekolah, juga harus berlomba.Tidak hanya itu, untuk mencari pasangan hidup, juga harus berkompetisi..
Sehingga, jika mau berfikir tiada keberhasilan tanpa kompetisi. Itulah manusia, Makhluq yang digariskan untuk berkompetisi. Tiada hidup tanpa kompetisi. Akhir-akhir ini, yang marak adalah kompetisi menjadi pemimpin negeri, mulai anggota dewan hingga pimpinan tertinggi. . Berbagai cara dan media, digunakan untuk meraih kemenangan tersebut. Beribu-ribu bahkan berjuta-juta rupiah, dikeluarkan untuk memenangkan kompetisi tersebut.
Melihat fenomena tersebut, dapat diambil pelajaran betapa rakyat Indonesia mulai mau bersungguh-sungguh dalam kompetisi. Tanpa kesungguhan, tidak akan ada keberhasilan. Namun, dari semua kompetisi yang terjadi, paling mendasar dan wajib dipahami adalah hakekat dari kompetisi tersebut. Kompetisi merupakan penyeleksian untuk mendapatkan yang terbaik, pantas dan mampu menempati posisi yang sesuai. Sehingga, menjadi suatu kewajaran. Jika, dalam kompetisi ada yang kalah dan menang demi, mendapatkan yang terbaik dan terpantas.
Itulah sebabnya mengapa setiap kompetitor hendaknya menyadari, menyiapkan diri, sejak dini untuk menerima setiap keadaan dengan legowo. Entah kalah atau menang tetap legowo. Bagi yang menang jangan terlalu senang hingga lupa daratan. Bagi yang kalah, jangan terlalu merana hingga hendak meninggalkan dunia. Dalam berkompetisi, hendaklah menjadi ajang dalam belajar membesarkan jiwa dan memperkaya hati. Jika menang, bagimana menahan diri dari kesombongan, kesenangan berlebihan serta tetap rendah hati. Sedangkan bagi yang kalah, bagaimana mengajarkan jiwa tetap tabah, serta menumbuhkan semangat, optmis untuk berusaha menjadi yang terbaik.
Terpentig dari semua adalah, bagaimana mengajari jiwa untuk lapang dada, tenang dan tabah dalam setiap keadaan. Dan manyakini bahwa yang terjadi adalah yang terbaik yang digariskan Tuhan. Dengan begitu, semakin sering mengikuti kompetisi, manusia menjadi semakin kaya jiwa dan dewasa. Bagaimana menjadikan diri sebagai pemenang dalam setiap keadaan. Kalah dan menang tetap menang.
Melihat fenomena saat ini, masih banyak manusia yang salah memahami kompetisi. Mayoritas menganggap bahwa kemenangan dalam kompetisi adalah yang juara pertama. Apabila kalah, habislah dunia. Sehingga, tidak jarang kita menemukan kompetitor depresi berat, stress bahkan gila karena kalah.
Mulai detik ini, mari kita rubah main side kita tentang kompetisi. Jangan menganggap dunia kiamat ketika kalah. Harus ditanamkan kalah bukan akhir segalanya. Tanamkan bahwa kalah saat ini, merupakan langkah menuju kemenangan berikutnya. Jadikan kompetisi sebagai sarana melatih, memperkaya jiwa dan hati.
Pesan sederhana bagi pelajar yang berkompetisi dalm Ujian Nasional, jadikan Ujian sebagai sarana menguji kemampuan dan hasil belajar selama tiga tahun bagi SMP dan SMA atau enam tahun bagi SD, ujian bukanlah segala-galanya tiada guna lulus ujian jika dengan cara yang tidak sewajarnya. Gagal itu lumrah, yang tidak lumrah apabila gagal dan merasa paling bodoh sedunia. Berhasil itu hebat, tapi paling hebat jika gagal, lalu bangkit menyongsong kemenangan selanjutnya. Jadilah pemenang dalam setiap kesempatan. Menang bukan yang juara, menang adalah yang kaya jiwanya legowo menerima keadaan. Itulah pemenang sebenarnya.