Bukan Janji Tapi Bukti
Tahun 2009 Indonesia kembali mengadakan acara besar, diharapkan acara tersebut mampu membawa Indonesia menjadi negara besar. Itulah Pemilu. Berbagai cara dilakukan partai-partai dan kandidat-kandidat mereka untuk mengambil hati rakyat supaya memilih mereka. Dengan jurus obral janji yang mereka sampaikan kepada rakyat. Sampai-sampai janji-janji yang besar dan terkesan muluk-muluk juga dilontarkan. Ibarat seorang kekasih mengobral janji pada kekasihnya ketika pertama kali bercinta.
Sepertinya janji memang senjata ampuh untuk mengambil hati seseorang. Padahal, yang paling ampuh untuk memikat hati seseorang sebenarnya bukan cuma janji tapi bukti. Sehingga langsung bisa dinikmati. Beberapa janji yang disampaikan ketika kampanye memang. Misalkan saja santunan yang mereka berikan kepada rakyat tidak mampu. Kunjungan ke pelosok-pelosok daerah. Namun sayang, ketika mereka telah terpilih dan menduduki posisi strategis dalam kancah perpolitikan negeri, lupa dengan janji-janji yang telah terlontar.
Seharusnya para elit politik memahami dampak buruk dari janji-janji kosong mereka. Yaitu hilangnya rasa percaya, simpati, respek dan panghargaan masyarakat kepada mereka. Akhirnya banyak diantara masyarakat yang tidak perduli lagi dengan even-even pemilihan umum. Banyak diantara mereka tidak mau ambil pusing kancah perpolitikan. Masyarakat menganggap cuma digunakan batu loncatan untuk kesuksesan pribadi. Hal tersebut terbukti dengan bannyaknya golput di kalangan masyarakat. Apalagi dengan banyaknya pemilihan lain selain pemilu: Pilkada, Pilgub dan pil-pil yang lain.
Sudah pasti setiap calon menggunakan senjata sama, yaitu obral janji tanpa bukti. Janji-janji itulah yang akhirnya merusak kepercayaan masyarakat. Dari berbagai survey sejumlah lembaga nasional, menemukan bahwa umat sudah mulai apatis dan apriori alias tidak perduli terhadap elit penguasa baik yang duduk di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tingkat kepercayaan mereka terhadap institusi partai begitu rendah.” Setelah pemilu 2004 terjadi penurunan hingga 2007,” ungkap pakar politik UGM Pratikno. Menurut Pratikno, hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan Asia Barometer. Hasil survei menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mengalami penurunan dari 8 persen di tahun 2004, menjadi 5,8 persen di tahun 2007 ( Detik.com, 18/12/2007).
Disadur dari buletin AL-ISLAM edisi 40/Tahun XV bahwa angka golput dalam berbagai Pilkada di berbagai daerah rata-rata cukup tinggi. Golput bahkan sering menjadi ” pemenang” Pilkada. Pilkada Jawa Barat, misalnya, hanya diikuti 65% rakyat. Berarti Golput 35%, mengalahkan pasangan pemenang Pilgub Jabar yang 26%. Menurut lembaga survei Indonesia, jumlah golput dalam Pilgub Sumatera Utara sekitar 41%. Dalam Pilgub DKI Jakarta, yang golput 39,2%. Nilai tersebut setara dengan 2,25 juta orang pemilih. Padahal gubernur terpilih Fauzi Bowo hanya dipilih oleh 2 juta pemilih ( 35,1%). Untuk Pilgub Jawa tengah angka golput mendekati 50%. Di tempat lain juga angka golput uga tinggi: Kalsel (40%), Sumbar ( 37%), Jambi ( 34% ) dan Banten 40 %. Jejak pendapat Kompas menggambarkan: 8,5% dari responden menganggap kinerja DPR buruk; 84% mengatakan DPR tidak serius mengawasi kerja pemerintah, 52,5% UU produk DPR tidak memihak kepada rakyat ( Kompas, 10/3/2008).
Dari data tersebut jelas, jika banyak rakyat yang sudah tidak perduli terhadap pesta demokrasi di Indonesia. Kalau difikir apa gunanya jika memenangkan pemilihan jika banyak yang tidak milih artinya, secara tidak langsung menjadi pimpinan yang tidak dikehendaki oleh rakyatnya. Diantara penyebabnya adalah banyaknya janji-janji terlontar tanpa bukti yang terrealisasikan. Jangan jadikan rakyat batu loncatan menuju kesuksesan perseorangan. Elit politik harus segera mengubah strategi untuk memenangkan Pemilu, jangan obral janji tapi obral bukti.
Oleh : Ika Romika Mawaddati
Mahasiswa Tarbiyah
Universitas Muhammadiyah Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar